KOPERASI MEMBANGUN PARADIGMA BARU
Oleh: N.A. Winu Wardana
salah sebuah keniscayaan. Keniscayaan tentang paradoksa nasib pelaku-pelaku konomi yang terpinggirkan –Koperasi dan Usaha Kecil Menengah. Alangkah kelewat sangat ironis! Bahkan cenderung tragis! Cenderung mengenaskan! Betapa tidak?
Di masa lalu , di era otoriterianisme-etatis, era otokratisme-teknotaris, era demokrasi komando, di mana demokrasi berada dibawah satu garis komando (one line command of democracy) bukan saja telah mewarnai-tetapi lebih dari itu telah mengkooptasi hampir seluruh aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, termasuk aspek kehidupan berpolitik serta aspek kehidupan berusaha di bidang ekonomi. Itukah yang melatarbelakangi terjadinya gonjang -ganjing di negeri tercinta ini? Krisis ekonomi moneter. Krisis politik. Krisis moral. Krisis kemanusiaan. Dan krisis kebangsaan. Yang keseluruhannya itu secara komulatif memperpuruk negeri ini?
Memang, praktek-praktek kooptasi atas kehidupan berpolitik yang pada hakekatnya sebagai semacam pemasungan politik, pemasungan demokrasi, pemasungan atas hak-hak rakyat dibidang politik, sehingga pada dasa warsa 70-an dikenal adanya masa mengambang (floating mass) itu sesungguhnyalah hanya dirasakan sebagai meresahkan bagi kalangan masyarakat tertentu, kalangan lapisan elite, sekurang-kurangnya kalangan masyarakat yang lapisan menengah keatas, khususnya bagi kalangan politisi ataupun kalangan insan-insan partisan (dan tentunya juga kalangan intelektual yang merindukan terciptanya iklim perpolitikan ditanah air yang sehat, kondusif, sejuk, namun tetap demokratis -kental dengan nilai-nilai moral dan etika).
Akan tetapi, kooptasi di sektor ekonomi -yang menghadirkan praktek-praktek oligopoli, monopoli dan monopsoni, terlebih dengan jaringan konglomerasi yang nepotis itu, praktis rakyat atau wong cilik yang lapisan masyarakat terbawahlah yang paling merasakan dampak buruknya, yang paling menderita karenanya -yang secara ekstrem dapat dimaknai sebagai tumbal. Tumbal dari kooptasi tersebut. Tumbal dari kebijakan pembangunan ekonomi yang mengacu kepada laju percepatan pertumbuhan, namun yang hampir sama sekali tanpa diimbangi dengan upaya pemerataan pertumbuhan. Kebijakan mana yang secara transparan tak urung teramat menguntungkan usaha-usaha swasta yang besar, lantaran ditunjang dan ditopang dengan kemudahan-kemudahan yang menggiurkan dari pemerintah. Fasilitas kredit yang dikucurkan Bank Pemerintah misalnya, termasuk dalam rangka merangsang dan menggalakkan kalangan pemodal domestik guna menanamkan modalnya di dalam negeri atau agar mengakses realisasi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN)-dengan pengalokasian pinjaman dari Bank Pemerintah berikut dispensasinya berupa grace periode dan tax holiday masing -masing selama lima tahun. Yang berarti -sejak didirikan atau mulai beroperasinya perusahaan bersangkutan sampai selama lima tahun, tidak diperhitungkan suku bunga pinjamannya, dan selama itupun tidak dipungut pajak.
Padahal di sektor Usaha Kecil –Menengah dan koperasi yang selama ini, sekurang-kurangnya dalam kurun waktu tiga dasa warsa terakhir -alangkah kelewat sulitnya untuk memperoleh kredit kelayakan usaha dari Bank Pemerintah, sekalipun dalam bentuk kredit komersial dengan suku bunga 18% hingga 20%. Apalagi untuk mendapatkan akses fasilitas kredit dengan dispensasi sedemikian menggiurkan sebagai yang dikucurkan kepada kalangan usaha besar tersebut. Sungguh seperti bumi dan langit perbedaannya. Perbedaan perhatian dan perlakuan dari pemerintah terhadap kedua golongan pelaku ekonomi dimaksud. Golongan pelaku ekonomi kelas kakap dan golongan pelaku ekonom kelas teri. Usaha besar -terus ditunjang dan ditopang hingga semakin besar. Usaha kecil menengah koperasi cukup dielus –elus dan dininabobokan, atau semacam dibonzaikan yang cenderung dipasung, hingga semakin kecil? Tidakkah hal itu bisa disebut sebagai diskriminatif? malahan terlalu diskriminatif? Yang tak urung yang lebih cenderung merupakan pemingggiran UKM dan Koperasi dari akses-akses ekonomi yang menjanjikan ?.
Menurut ilmu ekonomi -pada dasarnya manusia itu memanglah binatang ekonomi. Dan usaha swasta yang besar tak ubahnya sebagai binatang ekonomi raksasa. Sementara itu UKM dan Koperasi tidak lebih dari ekonomi binatang kecil atau malahan lebih kecil lagi, sekadar gurem barangkali (bandingkan aset mereka sebelum krismon di penghujung tahun 1996 :aset Usaha Swasta meliputi Rp.226,00 triliyun, dan BUMN beraset Rp.267,00 triliyun) sedangkan aset Koperasi hanya Rp.8,00 triliyun. Teori tentang kebinatangan manusia dibidang ekonomi ini kontekstual dengan sebuah ironi yang secara vulgar mengekstremisasi manusia sebagai homo homini lopus alias manusia sebagai srigala bagi yang lain, atau manusia sebagai jenis mahluk yang bernaluri srigala. Serakah. Rakus. Sadis. Ingin berkuasa sendiri. Mahluk lain dianggap sebagai mangsanya. Bahkan terhadap mahluk jenisnya sendiri yang berada diluar komunitasnya pun mesti dianggap sebagai lawan atau pesaingnya yang harus disingkirkan atau dilumatkan. Malahan sangat sesuai pula dengan historia anthropologi jenetiknya Darwin yang berteori bahwa nenek moyang manusia adalah Kera (jenis gorilla) dengan sifat dan wataknya khas pula. Serakah. Rakus. Mau menang sendiri. Mau kuasa sendiri, meski dengan cara-cara yang licik. Bukankah pada jamaknya usaha-usaha besar juga memiliki naluri serupa ? naluri ingin menguasai sebanyak-banyaknya segmen ekonomi sekaligus untuk menguasai seluas-luasnya jaringan ekonomi ? naluri untuk merengkuh segala peluang bisnis ? dan naluri untuk memangsa -semua yang bisa dimangsanya ? To be or not to be ?
Sekurang-kurangnya -fenomena-fenomena faktual di lapangan telah memperlihatkan kecenderungan demikian.
disunting dari http://www.smecda.com/deputi7/file_Infokop/Edisi%2022/paradigma_.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar