PENDAHULUAN
Sejarah kelahiran dan berkembangnya koperasi di negara maju (barat) dan negara berkembang memang sangat diametral. Di Barat, koperasi lahir sebagai gerakan untuk melawan ketidakadilan pasar, oleh karena itu tumbuh dan berkembang dalam suasana persaingan pasar. Bahkan dengan kekuatannya itu koperasi meraih posisi tawar dan kedudukan penting dalam konstelasi kebijakan ekonomi termasuk dalam perundingan internasional. Di negara berkembang, koperasi dihadirkan dalam kerangka membangun institusi yang dapat menjadi mitra negara dalam menggerakkan pembangunan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Selama orde baru hingga era reformasi, Koperasi Unit Desa (KUD) mengalami pergeseran peranan yaitu sebagai pelaksana program pemerintah dalam mendukung stok pangan nasional yang didukung sektor pembiayaan yang kuat dari pemerintah, menjadi badan usaha yang menghimpun kelompok tani agar berkembang menjadi penopang stok pangan nasional, dengan pembiayaan yang terbatas. Padahal, disisi lain, pembangunan pertanian sebagai sentra pembangunan nasional implementasinya masih berada dalam tataran paradoks dan mempunyai permasalahan yang kompleks, sehingga diperlukan suatu bentuk revitalisasi di dalamnya. Revitalisasi pertanian bukan dimaksudkan membangun pertanian at all cost dengan cara-cara yang top-down sentralistik; bukan pula orientasi proyek untuk menggalang dana; tetapi revitalisasi adalah menggalang komitmen dan kerjasama seluruh stakeholder dan mengubah paradigma pola pikir masyarakat melihat pertanian tidak hanya urusan bercocok tanam yang sekedar hanya menghasilkan komoditas untuk dikonsumsi. Pertanian mempunyai multi-fungsi yang belum mendapat apresiasi yang memadai dari masyarakat. Pertanian merupakan way of life dan sumber kehidupan sebagian besar masyarakat kita. Pertanian merupakan pemasok sandang, pangan, dan pakan untuk kehidupan penduduk desa dan kota; juga sebagai pemelihara atau konservasi alam yang berkelanjutan dan keindahan lingkungan untuk dinikmati (wisata-agro), sebagai penghasil biofarmaka dan penghasil energi seperti bio-diesel.
Berdasarkan isi yang terdapat RPPK tentang Revitalisasi Pertanian tahun 2005-2025 menyatakan bahwa posisi pertanian dalam kehidupan di masa depan, bukan hanya diharapkan dapat menjadi penghasil pangan dan bahan baku industri saja, namun juga berkontribusi dalam pembangunan daerah dan pedesaan, penyangga dalam masa krisis, penghubung sosial ekonomi antar masyarakat dari berbagai pulau dan daerah, kelestarian sumberdaya lingkungan, sosial budaya masyarakat dan dalam kesempatan kerja, PDB dan devisa. Arah revitalisasi pertanian tersebut ditetapkan, dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan nasional. Di Indonesia, ketahanan pangannya masih dikatakan rendah, hal ini dapat kita lihat dari data-data World Bank (2006), yang menyatakan bahwa 30 % rumah tangga menyatakan bahwa konsumsinya masih dibawah konsumsi sesuai standar kecukupan gizi internasional, lebih dari ¼ anak usia dibawah 5 tahun memiliki berat badan dibawah standar, dan 8 % dinyatakan sangat buruk yang disebabkan oleh kurangnya suplai bahan pangan. Rata-rata konsumsi pangan per kapita di Indonesia ditunjukkan sebagai berikut: a). Beras = 133 kg (tertinggi di dunia), b). Jagung = 5,93 kg, c). Ikan = 12,5 kg (rata-rata di dunia = 16 kg), d). Ayam = 3,8 kg, e).Daging = 7,10 kg, f). Telur = 52 butir, g). Susu = 6,50 kg, h). Ketela Pohon = 9,93 kg, i). Buah-buahan = 40,06 kg, j). Gula = 15, 6 kg (rata-rata dunia = 25,1 kg), k). Kedelai = 6,01 kg (rata-rata dunia = 7 kg), l) Sayur-sayuran = 37,94 kg (rekomendasi FAO = 65,75 kg).
Ketahanan pangan nasional ini sangat ditunjang oleh adanya kedaulatan pangan dan keamanan pangan. Indonesia merupakan salah satu negara yang sangat besar ketergantungan pangannya dengan negara lain (Food Trap). Hal ini bisa kita amati dengan meningkatnya jumlah impor beras dan gula. Di sisi lain, penduduk Indonesia mengalami peningkatan dan produktivitas serta lahan pertanian berkurang karena menurunnya minat petani untuk berproduksi, karena ongkos produksi yang naik sebesar 10-20 % saat ini. Dalam operasionalisasinya, cita-cita tersebut membutuhkan sinergi dengan kebijakan non-pertanian, khususnya kebijakan ekonomi. Koperasi produsen terutama koperasi pertanian memang merupakan koperasi yang paling sangat terkena pengaruh perdagangan bebas dan berbagai liberalisasi. Koperasi pertanian di seluruh belahan dunia ini memang selama ini menikmati proteksi dan berbagai bentuk subsidi serta dukungan pemerintah. Dengan diadakannya pengaturan mengenai subsidi, tarif, dan akses pasar, maka produksi barang yang dihasilkan oleh anggota koperasi tidak lagi dapat menikmati perlindungan seperti semula, dan harus dibuka untuk pasaran impor dari negara lain yang lebih efisien.
Secara internal, selama periode 2000 – 2003, koperasi (termasuk di dalamnya KUD), masih memiliki berbagai kendala untuk pengembangannya sebagai badan usaha, yaitu: (1) rendahnya partisipasi anggota yang ditunjukkan dengan rendahnya nilai perputaran koperasi per anggota yang kurang dari Rp.100.000,00 per bulan dan rendahnya simpanan anggota yang kurang dari Rp.345.225,00, (2) efisiensi usaha yang relatif rendah yang ditunjukkan dengan tingkat perputaran aktiva yang kurang dari 1,3 kali per tahun, (3) rendahnya tingkat profitabilitas koperasi, (4) citra masyarakat terhadap koperasi yang menganggap sebagai badan usaha kecil dan terbatas, serta bergantung pada program pemerintah, dan (5) kompetensi SDM koperasi yang relatif rendah, serta (6) kurang optimalnya koperasi mewujudkan skala usaha yang ekonomis akibat belum optimalnya kerjasama antar koperasi dan kerjasama koperasi dengan badan usaha lainnya. Hal-hal di atas perlu memperoleh perhatian dalam pembangunan usaha koperasi pada masa mendatang. Dari kendala-kendala tersebut dapat kita ketahui bahwa Koperasi Unit Desa memerlukan revitalisasi dalam mendukung ketahanan pangan nasional yang ditopang oleh revitalisasi pertanian. Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam karya tulis ini adalah: Bagaimana upaya revitalisasi Koperasi Unit Desa (KUD) dalam rangka mendukung ketahanan pangan nasional?.
LANDASAN TEORI
Tujuan dibentuknya Koperasi Unit Desa (KUD) dalam Hendroyogi (2004) adalah: 1) menjamin terlaksananya program peningkatan produksi pertanian, khususnya produksi pangan secara efektif dan efisien, dan 2) memberikan kepastian bagi petani produsen khususnya, serta masyarakat desa pada umumnya, bahwa mereka mempunyai tanggung jawab untuk ikut serta meningkatkan produksi sendiri, dan secara nyata memetik dan menikmati hasilnya guna meningkatkan taraf hidup kesejahteraannya. Sedangkan menurut kamus istilah di dalam www.depkop.go.id, revitalisasi dapat diartikan sebagai suatu proses pengaktifan suatu lembaga yang ditekankan pada fungsi internal agar lebih efektif dan efisien dalam mencapai misi yang ditetapkan dengan melibatkan dan menggerakkan peran serta masyarakat dalam upaya optimalisasi peningkatan kualitas SDM melalui pendidikan dan pelatihan.
Ketahanan pangan mempunyai peran strategis dalam pembangunan nasional, minimal dalam tiga hal. Pertama, akses terhadap pangan dan gizi yang merupakan hak yang paling asasi bagi manusia. Kedua adalah pangan memiliki peranan penting dalam pembentukan sumberdaya manusia yang berkualitas. Ketiga, ketahanan pangan merupakan salah satu pilar utama dalam menopang ketahanan ekonomi dan ketahanan nasional yang berkelanjutan. Untuk memenuhi hal tersebut diperlukan ketersediaan pangan yang cukup setiap waktu, aman, bermutu, bergizi, dan beragam dengan harga yang terjangkau oleh daya beli masyarakat (UU No.7/1996 tentang Pangan), yang dutamakan berasal dari kemampuan sektor pertanian domestik dalam menyediakan bahan makanan yang dibutuhkan oleh masyarakat (PP No.68/2002 tentang Ketahanan Pangan). Ketahanan pangan dihasilkan oleh suatu sistem pangan yang terdiri atas tiga subsistem, yaitu : (a) ketersediaan pangan dalam jumlah dan jenis yang cukup untuk seluruh penduduk, (b) distribusi pangan yang lancar dan merata, dan (c) konsumsi pangan setiap individu yang memenuhi kecukupan gizi dan kaidah kesehatan. Inti permasalahan dalam mewujudkan kemandirian pangan terkait dengan adanya pertumbuhan permintaan pangan yang lebih cepat dari penyediaannya. Permintaan pangan meningkat sejalan dengan pertumbuhan penduduk, pertumbuhan ekonomi, daya beli masyarakat, dan perubahan selera. Apabila persoalan ini tidak dapat diatasi, maka kebutuhan akan impor pangan akan membesar, yang apabila berlanjut dapat mengakibatkan ketergantungan pada pangan impor yang tinggi sehingga membahayakan kedaulatan negara.
PEMBAHASAN
Adapun langkah-langkah dalam revitalisasi Koperasi Unit Desa dalam menunjang ketahanan pangan adalah:
1) Melakukan repositioning image KUD di dalam pemahaman masyarakat pedesaan (khususnya para petani), bahwa KUD adalah satu-satunya wadah perekonomian dari, oleh dan untuk mereka (dengan menjadi anggota KUD) yang dapat membantu meningkatkan kesejahteraan hidup. Sehingga masyarakat desa dapat lebih bersemangat dalam membangun KUD di daerahnya masing-masing. Image tersebut juga dapat dibangun dengan mewujudkan KUD dengan manajemen yang baik, misalnya pemerintah melalui Depkop dapat menyelenggarakan pelatihan-pelatihan yang melibatkan pakar-pakar koperasi.
2) KUD dilibatkan secara aktif dalam kegiatan revitalisasi pertanian (baik dalam penyuluhan bercocok tanam yang efektif dan produktif, tentang transfer teknologi, dan sebagainya) sehingga KUD dapat secara cepat memenuhi kebutuhan yang dapat menunjang aktivitas produksi tersebut. Di sisi lain pemerintah dalam menyediakan sarana pertanian atau media yang menunjang pengembangan pertanian juga dapat bekerja sama dengan KUD dalam penjualannya.
3) Dari sisi pembiayaan kegiatan pertanian, dengan membuat Sistem Kredit Pertanian (Farm Credit System) untuk Kredit Usaha Tani (KUT) yang jelas dan transparan mekanismenya dengan menghilangkan peran pihak-pihak yang berniat mencari keuntungan (Data yang dihimpun Bank Indonesia menyebutkan tunggakan kredit pada bank BNI, Bank Danamon, dan BRI, hingga posisi Oktober 2005, tercatat masih sebesar Rp5,718 triliun padahal yang selama ini disalurkan hanya sebesar 10 miliar kepada petani). Di Indonesia, sistem kredit pertanian, perlu dilakukan pengawasan yang ketat, baik dari saluran pemerintah, bank, hingga ke Koperasi Unit Desa sebagai executing agent. Salah satu usulan yang dapat dijadikan pertimbangan digambarkan dalam bagan berikut ini (di lampiran gambar):
Keterangan:
* Ø Perum Sarana Pengembangan Usaha (dahulu Lembaga Jaminan Kredit Koperasi): tugasnya memberikan jaminan kepada bank atas kredit yang diminta oleh koperasi dan berpartisipasi dalam permodalan koperasi. Perum ini menjadi pemberi jaminan atas kredit yang dikucurkan bank kepada koperasi. Besarnya jaminan yang bisa diberikan tergantung pada risk probability, untuk modal kerja bisa diberikan 100 % sedangkan untuk konsinyasi karena resikonya rendah bisa 15 %. Dalam perkembangannya, perum ini perlu untuk dioptimalisasi peranannya.
* Ø Komite Jasa Audit: Komite Jasa Audit ini berada di dalam jajaran Badan Pemeriksa yang semuanya adalah anggota KUD. Komite ini terlebih dahulu dilatih oleh Koperasi Jasa Audit yaitu koperasi yang melayani jasa berupa jasa auditing koperasi, jasa bimbingan dan Konsultasi serta Jasa Pendidikan dan Latihan yang akan menyebarluaskan gagasan organisasi audit koperasi dalam gerakan koperasi dalam bentuk akuntabilisasi keuangan koperasi, misalnya dengan penerapan perhitungan kinerja keuangan dengan ukuran likuiditas, solvabilitas, unqualified opinion (layak tanpa catatan) dalam laporan keuangan. Komite audit akan menyajikan laporan yang akan menjadi sumber informasi yang terpercaya untuk perbankan.
4) Dalam menunjang kegiatan KUD yang dapat mengoptimalkan kegiatan produksi, distribusi dan konsumsi pertanian beorientasi nasional, maka pemerintah dapat ’membagi’ INKUD dengan membuat konsep jangka panjang dengan bentuk Regional Agricultural Input Supply and Marketing Cooperatives. Di Amerika Serikat, koperasi ini terdiri dari CENEX (Farmers Union Central Exchange Inc.), Land O’Lakes dan Farm Land Industries. CENEX adalah koperasi pemasok yang melayani KUD-KUD lokal yang menjual bahan bakar, minyak pelumas, makanan ternak, bibit dan menjual jasa seperti jasa pengukuran kesuburan lahan pertanian milik anggota, kebutuhan berbagai jenis pupuk untuk tanah pertanian anggota dan melaksanakan pemupukannya. Sedangkan Land O’Lakes disini adalah koperasi yang serupa dengan jenis usaha pemasaran Koperasi Distribusi Indonesia, dimana akan memasarkan hasil-hasil pertanian, seperti susu, ternak, ayam, kedelai, dan sebagainya dari koperasi-koperasi lokal. Namun, Land O’Lakes disini mempunyai jenis usaha produksi juga, yaitu dengan memroses kembali hasil-hasil pertanian tersebut dalam bentuk packaged foods yang akan dipasarkan di supermarket, grosir dan rumah-rumah makan, yang nantinya akan lebih menjangkau masyarakat yang membutuhkan makanan pangan. Keuntungan bersih dari jenis-jenis usaha tersebut akan dibagikan kembali kepada anggota proporsional sesuai dengan transaksi yang dilakukan dengan Land O’Lakes. Sedangkan Farm Land Industries adalah koperasi yang melayani penyediaan sarana pertanian. Usulan ini diharapkan dapat membuat kinerja INKUD menjadi lebih praktis dalam mendukung kegiatan KUD.
5) Pemerintah melalui Depkop dapat melakukan pembinaan bagi petani (yang sekaligus pemilik lahan) untuk melakukan manajemen resiko gagal panen, dengan memperkenalkan petani ke dalam bisnis komoditas berjangka.
KESIMPULAN DAN SARAN
Revitalisasi KUD untuk meningkatkan ketahanan pangan nasional itu bentuknya dapat berupa revitalisasi secara lembaga internal KUD, pembinaan SDM dengan pelatihan dari pemerintah dan peningkatan pembiayaan KUD oleh pemerintah. Saran yang dapat diajukan kepada pemerintah pusat untuk mendukung sektor pembiayaan koperasi adalah: 1) Karena adanya kebijakan baru yang menyatakan bahwa pembiayaan KUT tidak lagi menggunakan BLBI, maka pemerintah desa diharapkan lebih proaktif dalam menggandeng Bank-bank, misalnya BRI unit desa. Karena terdapat sebuah kontradiksi yang banyak terjadi di pedesaan yaitu di satu sisi pembiayaan sektor pertanian mengalami kesulitan, di sisi lain BRI Unit Desa melalui Simpedes dan Simaskot berhasil mengumpulkan tabungan Rp 21 triliun. Namun, dari dana sebesar itu yang disalurkan kembali dalam bentuk kredit hanya Rp 11 triliun. Berdasarkan penelitian Prof. Dr. Mubyarto di Lamongan, Jawa Timur menyimpulkan suatu hipotesa bahwa ratio PDRB sektor keuangan bank dengan non bank 1 : 50. Dana yang beredar pada lembaga keuangan non bank lima puluh kali lebih besar dibandingkan yang beredar pada lembaga keuangan bank. 2) KUD bekerjasama dengan Departemen Pertanian dan BUMN pupuk terus memperluas program seleksi Koperasi Penyalur Pupuk Bersubsidi, bukan hanya ke 10 propinsi. Koperasi yang sudah memenuhi syarat kelembagaan dan kesediaan membayar pupuk secara kontan selanjutnya diminta menyerahkan rencana definitif kebutuhan kelompok (RDKK) ke Deptan atau dinas terkait setempat. Alokasi kebutuhan tersebut kemudian disahkan Deptan untuk diserahkan ke BUMN pupuk agar koperasi terkait dapat memperoleh fasilitas penyaluran pupuk secara langsung dengan harga sesuai ketentuan harga eceran tertinggi. Adi Sasono mengatakan penyaluran pupuk secara tertutup itu diinisiasi kembali agar peredaran pupuk bersubsidi lancar sehingga harga komoditas dapat terkendali menyusul spekulasi distributor disinyalir menyebabkan kelangkaan dan fluktuasi harga di tingkat petani.
SUMBER
Oleh: Ika Diyah Candra
Minggu, Januari 02, 2011
Krisis Global dan Revitalisasi Koperasi
Krisis ekonomi global membawa dampak terhadap perekonomian nasional. Bahkan diberitakan, di sejumlah daerah sektor usaha mikro kecil dan menengah mengalami penurunan omzet ekspor akibat gejolak keuangan dunia.
Jika tidak diwaspadai, hal itu akan menggulung potensi ekonomi nasional, khususnya ekonomi rakyat.
Di tengah kekalutan perekonomian nasional, koperasi tetap diharapkan sebagai sokoguru perekonomian rakyat. Paradigma lama bahwa koperasi merupakan usaha kecil marjinal dan terpinggirkan saatnya diubah. Koperasi harus menjadi entity business yang mempunyai muatan sosial. Selain itu, harus mempunyai doktrin, yaitu ideologi koperasi. Koperasi harus menjadi centre of gravity ekonomi nasional yang berpangkal pada kedaulatan ekonomi rakyat.
Meningkatkan kekuatan koperasi diharapkan dapat menjadi mitra bagi kekuatan ekonomi lebih besar. Beberapa industri kecil yang tergabung dalam koperasi jika disatukan akan menjadi kekuatan untuk menunjang industri besar dan maju. Contoh, kegiatan kemitraan produsen KIA dan Hyundai di Korea tak lepas dari peran berbagai koperasi pembuat suku cadang dan komponen otomotif. Jadi, ketergantungan antara industri besar dan koperasi adalah hubungan kemitraan yang baik dan saling menunjang.
Intinya, meningkatkan ekonomi rakyat melalui koperasi adalah meningkatkan potensi industri kecil agar dapat menjadi mitra serasi industri besar yang berpengalaman. Pola inilah yang menjadi centre of gravity bagi perekonomian rakyat.
Namun, guna memperkuat kelembagaan dan meningkatkan kapasitas layanan, koperasi di Indonesia menghadapi tantangan. Maka, organisasi formal koperasi perlu mendapat dukungan, terutama dari pemerintah.
Terkait hal itu, program dan kegiatan penguatan kelembagaan koperasi perlu dilanjutkan dengan menekankan aspek kebutuhan nyata gerakan koperasi, seperti kegiatan pengembangan kesadaran berkoperasi bagi anggota dan masyarakat, implementasi prinsip koperasi pada berbagai sektor ekonomi, pengembangan kinerja bisnis melalui kerja sama antarkoperasi, serta antara koperasi dan badan usaha lain. Hal ini mendesak sebab kondisi eksternal dan lingkungan strategis yang berkembang begitu cepat belum mampu diimbangi secara optimal oleh gerakan koperasi.
Peran pemerintah
Liberalisasi dan privatisasi ekonomi merupakan inti ekonomi global. Dalam menghadapi ekonomi global, tak ada yang lebih fundamental kecuali upaya untuk mendorong berjalannya tata ekonomi yang menggunakan mekanisme pasar berkeadilan sebagai alat mendistribusikan sumber daya ekonomi secara efisien kepada masyarakat guna mencapai tingkat kemakmuran ekonomi yang tinggi.
Secara konsepsional, pasar yang dapat berjalan secara sempurna merupakan cara paling ideal untuk mencapai berbagai tujuan normatif, yaitu kemakmuran rakyat sebagaimana dicita-citakan. Meski demikian, pasar yang sempurna (perfect competition) jarang ditemukan. Yang terjadi justru ketidaksempurnaan pasar (imperfect competition). Akibatnya, konsentrasi ekonomi ada pada kelompok usaha besar, seperti akses terhadap teknologi, permodalan, informasi, dan SDM bermutu. Kondisi ini menyebabkan mekanisme pasar tidak berjalan sempurna, cenderung merugikan rakyat banyak.
Usaha besar terus menikmati berbagai kesempatan luks yang bersumber dari ketidaksempurnaan pasar maupun yang berasal dari aneka keunggulan dalam aspek penguasaan modal, teknologi, dan profesionalisme SDM. Karena itu, diperlukan koreksi terhadap berbagai kondisi agar mekanisme pasar dapat berjalan sempurna. Hal ini juga merupakan tujuan utama reformasi ekonomi. Pemerintah dalam hal ini wajib mengoreksi timbulnya berbagai ketidaksempurnaan pasar.
Koreksi yang dilakukan pemerintah bertujuan mendorong dan melindungi agar mekanisme pasar dapat berjalan secara sempurna dan sehat.
Langkahnya, melakukan koreksi terhadap bangunan struktur pasar tidak sempurna, seperti monopoli, monopsoni, oligopoli, oligopsoni, dan konsentrasi ekonomi di tangan sekelompok/segelintir pelaku ekonomi tertentu. Instrumennya antara lain peraturan perundang-undangan tentang persaingan sehat, kemitraan, atau bentuk lain, seperti penghapusan perlindungan dan subsidi bagi usaha besar, termasuk juga pembatasan lingkup usaha. Dengan demikian, perkembangan pasar yang tak sempurna dapat dibatasi sehingga tidak mengarah pada bentuk pasar distortif dan merugikan kepentingan rakyat banyak.
Kemudian, struktur pasar yang terkonsentrasi boleh jadi merupakan hasil proses sejarah yang tidak dapat dihindarkan. Karena itu, keberadaannya tidak dapat dihilangkan begitu saja. Dalam hal demikian, perlu dicari langkah alternatif guna menetralisasi sisi negatifnya. Bahkan perlu digali sisi positif yang menguntungkan kepentingan rakyat.
Akhirnya, yang harus dilakukan adalah membentuk aliansi strategis-taktis antara pelaku ekonomi; koperasi, swasta, dan BUMN agar cita-cita kesejahteraan masyarakat dan negara tercapai. Tanpa aliansi yang kuat, cita-cita itu bagai pungguk merindukan bulan. (Kompas)
Bambang W Soeharto (Kandidat Doktor Ilmu Politik UGM; Ketua Umum Induk Koperasi Pedagang Pasar
SUMBER : http://indonesian.irib.ir
Jika tidak diwaspadai, hal itu akan menggulung potensi ekonomi nasional, khususnya ekonomi rakyat.
Di tengah kekalutan perekonomian nasional, koperasi tetap diharapkan sebagai sokoguru perekonomian rakyat. Paradigma lama bahwa koperasi merupakan usaha kecil marjinal dan terpinggirkan saatnya diubah. Koperasi harus menjadi entity business yang mempunyai muatan sosial. Selain itu, harus mempunyai doktrin, yaitu ideologi koperasi. Koperasi harus menjadi centre of gravity ekonomi nasional yang berpangkal pada kedaulatan ekonomi rakyat.
Meningkatkan kekuatan koperasi diharapkan dapat menjadi mitra bagi kekuatan ekonomi lebih besar. Beberapa industri kecil yang tergabung dalam koperasi jika disatukan akan menjadi kekuatan untuk menunjang industri besar dan maju. Contoh, kegiatan kemitraan produsen KIA dan Hyundai di Korea tak lepas dari peran berbagai koperasi pembuat suku cadang dan komponen otomotif. Jadi, ketergantungan antara industri besar dan koperasi adalah hubungan kemitraan yang baik dan saling menunjang.
Intinya, meningkatkan ekonomi rakyat melalui koperasi adalah meningkatkan potensi industri kecil agar dapat menjadi mitra serasi industri besar yang berpengalaman. Pola inilah yang menjadi centre of gravity bagi perekonomian rakyat.
Namun, guna memperkuat kelembagaan dan meningkatkan kapasitas layanan, koperasi di Indonesia menghadapi tantangan. Maka, organisasi formal koperasi perlu mendapat dukungan, terutama dari pemerintah.
Terkait hal itu, program dan kegiatan penguatan kelembagaan koperasi perlu dilanjutkan dengan menekankan aspek kebutuhan nyata gerakan koperasi, seperti kegiatan pengembangan kesadaran berkoperasi bagi anggota dan masyarakat, implementasi prinsip koperasi pada berbagai sektor ekonomi, pengembangan kinerja bisnis melalui kerja sama antarkoperasi, serta antara koperasi dan badan usaha lain. Hal ini mendesak sebab kondisi eksternal dan lingkungan strategis yang berkembang begitu cepat belum mampu diimbangi secara optimal oleh gerakan koperasi.
Peran pemerintah
Liberalisasi dan privatisasi ekonomi merupakan inti ekonomi global. Dalam menghadapi ekonomi global, tak ada yang lebih fundamental kecuali upaya untuk mendorong berjalannya tata ekonomi yang menggunakan mekanisme pasar berkeadilan sebagai alat mendistribusikan sumber daya ekonomi secara efisien kepada masyarakat guna mencapai tingkat kemakmuran ekonomi yang tinggi.
Secara konsepsional, pasar yang dapat berjalan secara sempurna merupakan cara paling ideal untuk mencapai berbagai tujuan normatif, yaitu kemakmuran rakyat sebagaimana dicita-citakan. Meski demikian, pasar yang sempurna (perfect competition) jarang ditemukan. Yang terjadi justru ketidaksempurnaan pasar (imperfect competition). Akibatnya, konsentrasi ekonomi ada pada kelompok usaha besar, seperti akses terhadap teknologi, permodalan, informasi, dan SDM bermutu. Kondisi ini menyebabkan mekanisme pasar tidak berjalan sempurna, cenderung merugikan rakyat banyak.
Usaha besar terus menikmati berbagai kesempatan luks yang bersumber dari ketidaksempurnaan pasar maupun yang berasal dari aneka keunggulan dalam aspek penguasaan modal, teknologi, dan profesionalisme SDM. Karena itu, diperlukan koreksi terhadap berbagai kondisi agar mekanisme pasar dapat berjalan sempurna. Hal ini juga merupakan tujuan utama reformasi ekonomi. Pemerintah dalam hal ini wajib mengoreksi timbulnya berbagai ketidaksempurnaan pasar.
Koreksi yang dilakukan pemerintah bertujuan mendorong dan melindungi agar mekanisme pasar dapat berjalan secara sempurna dan sehat.
Langkahnya, melakukan koreksi terhadap bangunan struktur pasar tidak sempurna, seperti monopoli, monopsoni, oligopoli, oligopsoni, dan konsentrasi ekonomi di tangan sekelompok/segelintir pelaku ekonomi tertentu. Instrumennya antara lain peraturan perundang-undangan tentang persaingan sehat, kemitraan, atau bentuk lain, seperti penghapusan perlindungan dan subsidi bagi usaha besar, termasuk juga pembatasan lingkup usaha. Dengan demikian, perkembangan pasar yang tak sempurna dapat dibatasi sehingga tidak mengarah pada bentuk pasar distortif dan merugikan kepentingan rakyat banyak.
Kemudian, struktur pasar yang terkonsentrasi boleh jadi merupakan hasil proses sejarah yang tidak dapat dihindarkan. Karena itu, keberadaannya tidak dapat dihilangkan begitu saja. Dalam hal demikian, perlu dicari langkah alternatif guna menetralisasi sisi negatifnya. Bahkan perlu digali sisi positif yang menguntungkan kepentingan rakyat.
Akhirnya, yang harus dilakukan adalah membentuk aliansi strategis-taktis antara pelaku ekonomi; koperasi, swasta, dan BUMN agar cita-cita kesejahteraan masyarakat dan negara tercapai. Tanpa aliansi yang kuat, cita-cita itu bagai pungguk merindukan bulan. (Kompas)
Bambang W Soeharto (Kandidat Doktor Ilmu Politik UGM; Ketua Umum Induk Koperasi Pedagang Pasar
SUMBER : http://indonesian.irib.ir
KOPERASI INDONESIA: POTRET DAN TANTANGAN
I. Latar Belakang
1. Sejarah kelahiran dan berkembangnya koperasi di negara maju (barat) dan negara berkembang memang sangat diametral. Di barat koperasi lahir sebagai gerakan untuk melawan ketidakadilan pasar, oleh karena itu tumbuh dan berkembang dalam suasana persaingan pasar. Bahkan dengan kekuatannya itu koperasi meraih posisi tawar dan kedudukan penting dalam konstelasi kebijakan ekonomi termasuk dalam perundingan internasional. Peraturan perundangan yang mengatur koperasi tumbuh kemudian sebagai tuntutan masyarakat koperasi dalam rangka melindungi dirinya.
2. Di negara berkembang koperasi dirasa perlu dihadirkan dalam kerangka membangun institusi yang dapat menjadi mitra negara dalam menggerakkan pembangunan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu kesadaran antara kesamaan dan kemuliaan tujuan negara dan gerakan koperasi dalam memperjuangkan peningkatan kesejahteraan masyarakat ditonjolkan di negara berkembang, baik oleh pemerintah kolonial maupun pemerintahan bangsa sendiri setelah kemerdekaan, berbagai peraturan perundangan yang mengatur koperasi dilahirkan dengan maksud mempercepat pengenalan koperasi dan memberikan arah bagi pengembangan koperasi serta dukungan/perlindungan yang diperlukan.
3. Pengalaman di tanah air kita lebih unik karena koperasi yang pernah lahir dan telah tumbuh secara alami di jaman penjajahan, kemudian setelah kemerdekaan diperbaharui dan diberikan kedudukan yang sangat tinggi dalam penjelasan undang-undang dasar. Dan atas dasar itulah kemudian melahirkan berbagai penafsiran bagaimana harus mengembangkan koperasi. Paling tidak dengan dasar yang kuat tersebut sejarah perkembangan koperasi di Indonesia telah mencatat tiga pola pengembangan koperasi. Secara khusus pemerintah memerankan fungsi “regulatory” dan “development” secara sekaligus (Shankar 2002). Ciri utama perkembangan koperasi di Indonesia adalah dengan pola penitipan kepada program yaitu : (i) Program pembangunan secara sektoral; (ii) Lembaga-lembaga pemerintah; dan (iii) Perusahaan baik milik negara maupun swasta. Sebagai akibatnya prakarsa masyarakat luas kurang berkembang dan kalau ada tidak diberikan tempat semestinya.
4. Selama ini “koperasi” dikembangkan dengan dukungan pemerintah dengan basis sektor-sektor primer yang memberikan lapangan kerja terbesar bagi penduduk Indonesia. KUD sebagai koperasi program yang didukung dengan program pembangunan untuk membangun KUD. Di sisi lain pemerintah memanfaatkan KUD untuk mendukung program pembangunan seperti yang selama PJP I, menjadi ciri yang menonjol dalam politik pembangunan koperasi. Bahkan koperasi secara eksplisit ditugasi melanjutkan program yang kurang berhasil ditangani langsung oleh pemerintah, seperti penyaluran kredit BIMAS menjadi KUT, pola pengadaan bea pemerintah, TRI dan lain-lain sampai pada penciptaan monopoli baru (cengkeh).
II. Potret Koperasi Indonesia
5. Sampai dengan bulan November 2001, jumlah koperasi di seluruh Indonesia tercatat sebanyak 103.000 unit lebih, dengan jumlah keanggota ada sebanyak 26.000.000 orang. Jumlah itu jika dibanding dengan jumlah koperasi per-Desember 1998 mengalami peningkatan sebanyak dua kali lipat. Jumlah koperasi aktif, juga mengalami perkembangan yang cukup menggembirakan. Jumlah koperasi aktif per-November 2001, sebanyak 96.180 unit (88,14 persen). Corak koperasi Indonesia adalah koperasi dengan skala sangat kecil.
6. Secara historis pengembangan koperasi di Indonesia yang telah digerakan melalui dukungan kuat program pemerintah yang telah dijalankan dalam waktu lama, dan tidak mudah ke luar dari kungkungan pengalaman tersebut. Jika semula ketergantungan terhadap captive market program menjadi sumber pertumbuhan, maka pergeseran ke arah peran swasta menjadi tantangan baru bagi lahirnya pesaing-pesaing usaha terutama KUD.
7. Jika melihat posisi koperasi pada hari ini sebenarnya masih cukup besar harapan kita kepada koperasi. Memasuki tahun 2000 posisi koperasi Indonesia pada dasarnya justru didominasi oleh koperasi kredit yang menguasai antara 55-60 persen dari keseluruhan aset koperasi dan dilihat dari populasi koperasi yang terkait dengan program pemerintah hanya sekitar 25% dari populasi koperasi atau sekitar 35% dari populasi koperasi aktif. Pada akhir-akhir ini posisi koperasi dalam pasar Perkreditan mikro menempati tempat kedua setelah BRI-unit desa dengan pangsa sekitar 31%. Dengan demikian walaupun program pemerintah cukup gencar dan menimbulkan distorsi pada pertumbuhan kemandirian koperasi, tetapi hanya menyentuh sebagian dari populasi koperasi yang ada. Sehingga pada dasarnya masih besar elemen untuk tumbuhnya kemandirian koperasi.
8. Mengenai jumlah koperasi yang meningkat dua kali lipat dalam waktu 3 tahun 1998 –2001, pada dasarnya tumbuh sebagai tanggapan terhadap dibukanya secara luas pendirian koperasi dengan pencabutan Inpres 4/1984 dan lahirnya Inpres 18/1998. Sehingga orang bebas mendirikan koperasi pada basis pengembangan dan pada saat ini sudah lebih dari 35 basis pengorganisasian koperasi. Kesulitannya pengorganisasian koperasi tidak lagi taat pada penjenisan koperasi sesuai prinsip dasar pendirian koperasi atau insentif terhadap koperasi. Keadaan ini menimbulkan kesulitan pada pengembangan aliansi bisnis maupun pengembangan usaha koperasi kearah penyatuan vertical maupun horizontal.
9. Struktur organisasi koperasi Indonesia mirip organisasi pemerintah/lembaga kemasyarakatan yang terstruktur dari primer sampai tingkat nasional. Hal ini telah menunjukkan kurang efektif nya peran organisasi sekunder dalam membantu koperasi primer. Tidak jarang menjadi instrumen eksploitasi sumberdaya dari daerah pengumpulan. Fenomena ini dimasa datang harus diubah karena adanya perubahan orientasi bisnis yang berkembang dengan globalisasi.
III. Kemanfaatan Koperasi
10. Secara teoritis sumber kekuatan koperasi sebagai badan usaha dalam konteks kehidupan perekonomian , dapat dilihat dari kemampuan untuk menciptakan kekuatan monopoli dengan derajat monopoli tertentu . Tetapi ini adalah kekuatan semu dan justru dapat menimbulkan kerugian bagi anggota masyarakat di luar koperasi. Sumber kekuatan lain adalah kemampuan memanfaatkan berbagai potensi external economies yang timbul di sekitar kegiatan ekonomi para anggotanya. Dan kehematan tersebut hanya dapat dinikmati secara bersama-sama, termasuk dalam hal menghindarkan diri dari adanya external diseconomies itu.
11. Kehematan-kehematan yang dapat menjadi sumber kekuatan koperasi memang tidak terbatas pada nilai ekonomis nya semata. Kekuatan itu juga dapat bersumber dari faktor non-ekonomis yang menjadi faktor berpengaruh secara tidak langsung terhadap kegiatan ekonomi anggota masyarakat dan badan usaha koperasi . Sehingga manfaat atau keuntungan koperasi pada dasarnya selalu terkait dengan dua jenis manfaat, yaitu yang nyata (tangible) dan yang tidak nyata (intangible). Kemanfaatan koperasi ini juga selalu berkaitan dengan keuntungan yang bersifat ekonomi dan sosial. Karena koperasi selain memberikan kemanfaatan ekonomi juga mempunyai perhatian dan kepedulian terhadap aspek sosial seperti pendidikan, suasana sosial kemasyarakatan, lingkungan hidup, dan lain-lain. Pembahasan ini difokuskan kepada manfaat yang mendasari digunakannya mekanisme koperasi .
12. Dalam hal ini koperasi mempunyai kekuatan yang lain karena koperasi dapat memberikan kemungkinan pengenalan teknologi baru melalui kehematan dengan mendapatkan informasi yang langsung dan tersedia bagi setiap anggota yang memerlukannya. Kesemuanya itu dilihat dalam kerangka peranan koperasi secara otonom bagi setiap individu anggotanya yang telah memutuskan menjadi anggota koperasi. Dengan demikian sepanjang koperasi dapat menghasilkan kemanfaatan tersebut bagi anggotanya maka akan mendorong orang untuk berkoperasi karena dinilai bermanfaat.
13. Dalam konteks yang lebih besar koperasi dapat dilihat sebagai wahana koreksi oleh masyarakat pelaku ekonomi, baik produsen maupun konsumen, dalam memecahkan kegagalan pasar dan mengatasi inefisiensi karena ketidaksempurnaan pasar. Secara teoritis koperasi akan tetap hadir jika terjadi kegagalan pasar. Jika pasar berkembang semakin kompetitif secara alamiah koperasi akan menghadapi persaingan dari dalam. Karena segala insentif ekonomi yang selama ini didapat tidak lagi bisa dimanfaatkan. Sehingga sumber kekuatan untuk tetap mempertahankan hadirnya koperasi terletak pada kemampuan untuk mewujudkan keuntungan tidak langsung atau intangible benefit yang disebutkan di muka.
14. Dalam kerangka yang lebih makro suatu perekonomian merupakan suatu bangunan yang terdiri dari berbagai pelaku yang dikenal dengan kelompok produsen dan kelompok konsumen. Di dalam suatu negara berkembang organisasi ekonomi dari masing-masing pelaku tadi menjadi semakin kompleks. Karena selain pemerintah dan swasta (perusahaan swasta) sebenarnya masih ada dua kelompok lain yaitu koperasi dan sektor rumah tangga. Kelompok yang disebut terakhir, perlu mendapatkan pencermatan tersendiri, karena mungkin ia dapat berada di dalam koperasi, atau menjadi suatu unit usaha sendiri, atau merupakan pendukung usaha swasta yang ada. Inilah yang sebenarnya perlu kita lihat dalam kerangka yang lebih luas.
15. Secara konseptual dan empiris, mekanisme koperasi memang diperlukan dan tetap diperlukan oleh suatu perekonomian yang menganut sistem pasar. Besarnya peran tersebut akan sangat tergantung dari tingkat pendapatan masyarakat, tingkat pengetahuan dan kesadaran masyarakat serta struktur pasar dari berbagai kegiatan ekonomi dan sumber daya alam dari suatu negara. Contoh klasik dari pentingnya kondisi pasar yang kompatibel dengan kehadiran koperasi adalah pengalaman koperasi susu dimana-mana di dunia ini selalu menjadi contoh sukses (kasus bilateral monopoli). Padahal sukses ini tidak selalu dapat diikuti oleh jenis kegiatan produksi pertanian lainnya. Koperasi sebagai mekanisme kerjasama ekonomi juga tidak mengungkung dalam sistemnya sendiri yang terbatas pada sistem dan struktur koperasi, tetapi dalam interaksi dapat meminjam mekanisme bisnis yang lazim dipakai oleh badan usaha non-koperasi. Termasuk dalam hal ini pembentukan usaha yang berbentuk non koperasi untuk mempertahankan kemampuan pelayanan dan menegakkan mekanisme koperasi yang dimiliki.
IV. Posisi Koperasi dalam Perdagangan Bebas
16. Esensi perdagangan bebas yang sedang diciptakan oleh banyak negara yang ingin lebih maju ekonominya adalah menghilangkan sebanyak mungkin hambatan perdagangan internasional. Melihat arah tersebut maka untuk melihat dampaknya terhadap perkembangan koperasi di tanah air dengan cara mengelompokkan koperasi ke dalam ketiga kelompok atas dasar jenis koperasi. Pengelompokan itu meliputi pembedaan atas dasar: (i) koperasi produsen atau koperasi yang bergerak di bidang produksi, (ii) koperasi konsumen atau koperasi konsumsi, dan (iii) koperasi kredit dan jasa keuangan. Dengan cara ini akan lebih mudah mengenali keuntungan yang bakal timbul dari adanya perdagangan bebas para anggota koperasi dan anggota koperasinya sendiri.
17. Koperasi produsen terutama koperasi pertanian memang merupakan koperasi yang paling sangat terkena pengaruh perdagangan bebas dan berbagai liberalisasi. Koperasi pertanian di seluruh belahan dunia ini memang selama ini menikmati proteksi dan berbagai bentuk subsidi serta dukungan pemerintah. Dengan diadakannya pengaturan mengenai subsidi, tarif, dan akses pasar, maka produksi barang yang dihasilkan oleh anggota koperasi tidak lagi dapat menikmati perlindungan seperti semula, dan harus dibuka untuk pasaran impor dari negara lain yang lebih efisien.
18. Untuk koperasi-koperasi yang menangani komoditi sebagai pengganti impor atau ditutup dari persaingan impor jelas hal ini akan merupakan pukulan berat dan akan menurunkan perannya di dalam percaturan pasar kecuali ada rasionalisasi produksi. Sementara untuk koperasi yang menghasilkan barang pertanian untuk ekspor seperti minyak sawit, kopi, dan rempah serta produksi pertanian dan perikanan maupun peternakan lainnya, jelas perdagangan bebas merupakan peluang emas. Karena berbagai kebebasan tersebut berarti membuka peluang pasar yang baru. Dengan demikian akan memperluas pasar yang pada gilirannya akan merupakan peluang untuk peningkatan produksi dan usaha bagi koperasi yang bersangkutan. Dalam konteks ini koperasi yang menangani produksi pertanian, yang selama ini mendapat kemudahan dan perlindungan pemerintah melalui proteksi harga dan pasar akan menghadapi masa-masa sulit. Karena itu koperasi produksi harus merubah strategi kegiatannya. Bahkan mungkin harus mereorganisasi kembali supaya kompatibel dengan tantangan yang dihadapi. Untuk koperasi produksi di luar pertanian memang cukup sulit untuk dilihat arah pengaruh dari liberalisasi perdagangan terhadapnya. Karena segala sesuatunya akan sangat tergantung di posisi segmen mana kegiatan koperasi dibedakan dari para anggotanya. Industri kecil misalnya sebenarnya pada saat ini relatif berhadapan dengan pasar yang lebih terbuka. Artinya mereka terbiasa dengan persaingan dengan dunia luar untuk memenuhi pemintaan ekspor maupun berhadapan dengan barang pengganti yang diimpor. Namun cara-cara koperasi juga dapat dikerjakan oleh perusahaan bukan koperasi.
19. Secara umum koperasi di dunia akan menikmati manfaat besar dari adanya perdagangan bebas, karena pada dasarnya perdagangan bebas itu akan selalu membawa pada persaingan yang lebih baik dan membawa pada tingkat keseimbangan harga yang wajar serta efisien. Peniadaan hambatan perdagangan akan memperlancar arus perdagangan dan terbukanya pilihan barang dari seluruh pelosok penjuru dunia secara bebas. Dengan demikian konsumen akan menikmati kebebasan untuk memenuhi hasrat konsumsinya secara optimal . Meluasnya konsumsi masyarakat dunia akan mendorong meluas dan meningkatnya usaha koperasi yang bergerak di bidang konsumsi. Selain itu dengan peniadaan hambatan perdagangan oleh pemerintah melalui peniadaan non torif barier dan penurunan tarif akan menyerahkan mekanisme seleksi sepenuhnya kepada masyarakat. Koperasi sebenarnya menjadi wahana masyarakat untuk melindungi diri dari kemungkinan kerugian yang timbul akibat perdagangan bebas .
20. Kegiatan koperasi kredit, baik secara teoritis maupun empiris, terbukti mempunyai kemampuan untuk membangun segmentasi pasar yang kuat sebagai akibat struktur pasar keuangan yang sangat tidak sempurna, terutama jika menyangkut masalah informasi. Bagi koperasi kredit keterbukaan perdagangan dan aliran modal yang keluar masuk akan merupakan kehadiran pesaing baru terhadap pasar keuangan, namun tetap tidak dapat menjangkau para anggota koperasi. Apabila koperasi kredit mempunyai jaringan yang luas dan menutup usahanya hanya untuk pelayanan anggota saja, maka segmentasi ini akan sulit untuk ditembus pesaing baru. Bagi koperasi-koperasi kredit di negara berkembang, adanya globalisasi ekonomi dunia akan merupakan peluang untuk mengadakan kerjasama dengan koperasi kredit di negara maju dalam membangun sistem perkreditan melalui koperasi. Koperasi kredit atau simpan pinjam di masa mendatang akan menjadi pilar kekuatan sekitar koperasi yang perlu diikuti oleh dukungan lainnya seperti sistem pengawasan dan jaminan.
V. Koperasi Dalam Era Otonomi Daerah
21. Implementasi undang-undang otonomi daerah, akan memberikan dampak positif bagi koperasi dalam hal alokasi sumber daya alam dan pelayanan pembinaan lainnya. Namun koperasi akan semakin menghadapi masalah yang lebih intensif dengan pemerintah daerah dalam bentuk penempatan lokasi investasi dan skala kegiatan koperasi . Karena azas efisiensi akan mendesak koperasi untuk membangun jaringan yang luas dan mungkin melampaui batas daerah otonom. Peranan advokasi oleh gerakan koperasi untuk memberikan orientasi kepada pemerintah di daerah semakin penting. Dengan demikian peranan pemerintah di tingkat propinsi yang diserahi tugas untuk pengembangan koperasi harus mampu menjalankan fungsi intermediasi semacam ini. Mungkin juga dalam hal lain yang berkaitan dengan pemanfaatan infrastruktur daerah yang semula menjadi kewenangan pusat.
22. Peranan pengembangan sistem lembaga keuangan koperasi di tingkat Kabupaten / Kota sebagai daerah otonomi menjadi sangat penting. Lembaga keuangan koperasi yang kokoh di daerah otonom akan dapat menjangkau lapisan bawah dari ekonomi rakyat. Disamping itu juga akan mampu berperan menahan arus keluar sumber keuangan daerah. Berbagai studi menunjukan bahwa lembaga keuangan yang berbasis daerah akan lebih mampu menahan arus kapital keluar.
23. Dukungan yang diperlukan bagi koperasi untuk menghadapi berbagai rasionalisasi adalah keberadaan lembaga jaminan kredit bagi koperasi dan usaha kecil di daerah. Dengan demikian kehadiran lembaga jaminan akan menjadi elemen terpenting untuk percepatan perkembangan koperasi di daerah. Lembaga jaminan kredit yang dapat dikembangkan Pemerintah Daerah akan dapat mendesentralisasi pengembangan ekonomi rakyat dan dalam jangka panjang akan menumbuhkan kemandirian daerah untuk mengarahkan aliran uang di masing-masing daerah. Dalam jangka menengah koperasi juga perlu memikirkan asuransi bagi para penabung.
24. Potensi koperasi pada saat ini sudah mampu untuk memulai gerakan koperasi yang otonom, namun fokus bisnis koperasi harus diarahkan pada ciri universalitas kebutuhan yang tinggi seperti jasa keuangan, pelayanan infrastruktur serta pembelian bersama. Dengan otonomi selain peluang untuk memanfaatkan potensi setempat juga terdapat potensi benturan yang harus diselesaikan di tingkat daerah. Dalam hal ini konsolidasi potensi keuangan, pengembangan jaringan informasi serta pengembangan pusat inovasi dan teknologi merupakan kebutuhan pendukung untuk kuatnya kehadiran koperasi. Pemerintah di daerah dapat mendorong pengembangan lembaga penjamin kredit di daerah.
Oleh: Dr. Noer Soetrisno -- Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKM, Kantor Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia
1. Sejarah kelahiran dan berkembangnya koperasi di negara maju (barat) dan negara berkembang memang sangat diametral. Di barat koperasi lahir sebagai gerakan untuk melawan ketidakadilan pasar, oleh karena itu tumbuh dan berkembang dalam suasana persaingan pasar. Bahkan dengan kekuatannya itu koperasi meraih posisi tawar dan kedudukan penting dalam konstelasi kebijakan ekonomi termasuk dalam perundingan internasional. Peraturan perundangan yang mengatur koperasi tumbuh kemudian sebagai tuntutan masyarakat koperasi dalam rangka melindungi dirinya.
2. Di negara berkembang koperasi dirasa perlu dihadirkan dalam kerangka membangun institusi yang dapat menjadi mitra negara dalam menggerakkan pembangunan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu kesadaran antara kesamaan dan kemuliaan tujuan negara dan gerakan koperasi dalam memperjuangkan peningkatan kesejahteraan masyarakat ditonjolkan di negara berkembang, baik oleh pemerintah kolonial maupun pemerintahan bangsa sendiri setelah kemerdekaan, berbagai peraturan perundangan yang mengatur koperasi dilahirkan dengan maksud mempercepat pengenalan koperasi dan memberikan arah bagi pengembangan koperasi serta dukungan/perlindungan yang diperlukan.
3. Pengalaman di tanah air kita lebih unik karena koperasi yang pernah lahir dan telah tumbuh secara alami di jaman penjajahan, kemudian setelah kemerdekaan diperbaharui dan diberikan kedudukan yang sangat tinggi dalam penjelasan undang-undang dasar. Dan atas dasar itulah kemudian melahirkan berbagai penafsiran bagaimana harus mengembangkan koperasi. Paling tidak dengan dasar yang kuat tersebut sejarah perkembangan koperasi di Indonesia telah mencatat tiga pola pengembangan koperasi. Secara khusus pemerintah memerankan fungsi “regulatory” dan “development” secara sekaligus (Shankar 2002). Ciri utama perkembangan koperasi di Indonesia adalah dengan pola penitipan kepada program yaitu : (i) Program pembangunan secara sektoral; (ii) Lembaga-lembaga pemerintah; dan (iii) Perusahaan baik milik negara maupun swasta. Sebagai akibatnya prakarsa masyarakat luas kurang berkembang dan kalau ada tidak diberikan tempat semestinya.
4. Selama ini “koperasi” dikembangkan dengan dukungan pemerintah dengan basis sektor-sektor primer yang memberikan lapangan kerja terbesar bagi penduduk Indonesia. KUD sebagai koperasi program yang didukung dengan program pembangunan untuk membangun KUD. Di sisi lain pemerintah memanfaatkan KUD untuk mendukung program pembangunan seperti yang selama PJP I, menjadi ciri yang menonjol dalam politik pembangunan koperasi. Bahkan koperasi secara eksplisit ditugasi melanjutkan program yang kurang berhasil ditangani langsung oleh pemerintah, seperti penyaluran kredit BIMAS menjadi KUT, pola pengadaan bea pemerintah, TRI dan lain-lain sampai pada penciptaan monopoli baru (cengkeh).
II. Potret Koperasi Indonesia
5. Sampai dengan bulan November 2001, jumlah koperasi di seluruh Indonesia tercatat sebanyak 103.000 unit lebih, dengan jumlah keanggota ada sebanyak 26.000.000 orang. Jumlah itu jika dibanding dengan jumlah koperasi per-Desember 1998 mengalami peningkatan sebanyak dua kali lipat. Jumlah koperasi aktif, juga mengalami perkembangan yang cukup menggembirakan. Jumlah koperasi aktif per-November 2001, sebanyak 96.180 unit (88,14 persen). Corak koperasi Indonesia adalah koperasi dengan skala sangat kecil.
6. Secara historis pengembangan koperasi di Indonesia yang telah digerakan melalui dukungan kuat program pemerintah yang telah dijalankan dalam waktu lama, dan tidak mudah ke luar dari kungkungan pengalaman tersebut. Jika semula ketergantungan terhadap captive market program menjadi sumber pertumbuhan, maka pergeseran ke arah peran swasta menjadi tantangan baru bagi lahirnya pesaing-pesaing usaha terutama KUD.
7. Jika melihat posisi koperasi pada hari ini sebenarnya masih cukup besar harapan kita kepada koperasi. Memasuki tahun 2000 posisi koperasi Indonesia pada dasarnya justru didominasi oleh koperasi kredit yang menguasai antara 55-60 persen dari keseluruhan aset koperasi dan dilihat dari populasi koperasi yang terkait dengan program pemerintah hanya sekitar 25% dari populasi koperasi atau sekitar 35% dari populasi koperasi aktif. Pada akhir-akhir ini posisi koperasi dalam pasar Perkreditan mikro menempati tempat kedua setelah BRI-unit desa dengan pangsa sekitar 31%. Dengan demikian walaupun program pemerintah cukup gencar dan menimbulkan distorsi pada pertumbuhan kemandirian koperasi, tetapi hanya menyentuh sebagian dari populasi koperasi yang ada. Sehingga pada dasarnya masih besar elemen untuk tumbuhnya kemandirian koperasi.
8. Mengenai jumlah koperasi yang meningkat dua kali lipat dalam waktu 3 tahun 1998 –2001, pada dasarnya tumbuh sebagai tanggapan terhadap dibukanya secara luas pendirian koperasi dengan pencabutan Inpres 4/1984 dan lahirnya Inpres 18/1998. Sehingga orang bebas mendirikan koperasi pada basis pengembangan dan pada saat ini sudah lebih dari 35 basis pengorganisasian koperasi. Kesulitannya pengorganisasian koperasi tidak lagi taat pada penjenisan koperasi sesuai prinsip dasar pendirian koperasi atau insentif terhadap koperasi. Keadaan ini menimbulkan kesulitan pada pengembangan aliansi bisnis maupun pengembangan usaha koperasi kearah penyatuan vertical maupun horizontal.
9. Struktur organisasi koperasi Indonesia mirip organisasi pemerintah/lembaga kemasyarakatan yang terstruktur dari primer sampai tingkat nasional. Hal ini telah menunjukkan kurang efektif nya peran organisasi sekunder dalam membantu koperasi primer. Tidak jarang menjadi instrumen eksploitasi sumberdaya dari daerah pengumpulan. Fenomena ini dimasa datang harus diubah karena adanya perubahan orientasi bisnis yang berkembang dengan globalisasi.
III. Kemanfaatan Koperasi
10. Secara teoritis sumber kekuatan koperasi sebagai badan usaha dalam konteks kehidupan perekonomian , dapat dilihat dari kemampuan untuk menciptakan kekuatan monopoli dengan derajat monopoli tertentu . Tetapi ini adalah kekuatan semu dan justru dapat menimbulkan kerugian bagi anggota masyarakat di luar koperasi. Sumber kekuatan lain adalah kemampuan memanfaatkan berbagai potensi external economies yang timbul di sekitar kegiatan ekonomi para anggotanya. Dan kehematan tersebut hanya dapat dinikmati secara bersama-sama, termasuk dalam hal menghindarkan diri dari adanya external diseconomies itu.
11. Kehematan-kehematan yang dapat menjadi sumber kekuatan koperasi memang tidak terbatas pada nilai ekonomis nya semata. Kekuatan itu juga dapat bersumber dari faktor non-ekonomis yang menjadi faktor berpengaruh secara tidak langsung terhadap kegiatan ekonomi anggota masyarakat dan badan usaha koperasi . Sehingga manfaat atau keuntungan koperasi pada dasarnya selalu terkait dengan dua jenis manfaat, yaitu yang nyata (tangible) dan yang tidak nyata (intangible). Kemanfaatan koperasi ini juga selalu berkaitan dengan keuntungan yang bersifat ekonomi dan sosial. Karena koperasi selain memberikan kemanfaatan ekonomi juga mempunyai perhatian dan kepedulian terhadap aspek sosial seperti pendidikan, suasana sosial kemasyarakatan, lingkungan hidup, dan lain-lain. Pembahasan ini difokuskan kepada manfaat yang mendasari digunakannya mekanisme koperasi .
12. Dalam hal ini koperasi mempunyai kekuatan yang lain karena koperasi dapat memberikan kemungkinan pengenalan teknologi baru melalui kehematan dengan mendapatkan informasi yang langsung dan tersedia bagi setiap anggota yang memerlukannya. Kesemuanya itu dilihat dalam kerangka peranan koperasi secara otonom bagi setiap individu anggotanya yang telah memutuskan menjadi anggota koperasi. Dengan demikian sepanjang koperasi dapat menghasilkan kemanfaatan tersebut bagi anggotanya maka akan mendorong orang untuk berkoperasi karena dinilai bermanfaat.
13. Dalam konteks yang lebih besar koperasi dapat dilihat sebagai wahana koreksi oleh masyarakat pelaku ekonomi, baik produsen maupun konsumen, dalam memecahkan kegagalan pasar dan mengatasi inefisiensi karena ketidaksempurnaan pasar. Secara teoritis koperasi akan tetap hadir jika terjadi kegagalan pasar. Jika pasar berkembang semakin kompetitif secara alamiah koperasi akan menghadapi persaingan dari dalam. Karena segala insentif ekonomi yang selama ini didapat tidak lagi bisa dimanfaatkan. Sehingga sumber kekuatan untuk tetap mempertahankan hadirnya koperasi terletak pada kemampuan untuk mewujudkan keuntungan tidak langsung atau intangible benefit yang disebutkan di muka.
14. Dalam kerangka yang lebih makro suatu perekonomian merupakan suatu bangunan yang terdiri dari berbagai pelaku yang dikenal dengan kelompok produsen dan kelompok konsumen. Di dalam suatu negara berkembang organisasi ekonomi dari masing-masing pelaku tadi menjadi semakin kompleks. Karena selain pemerintah dan swasta (perusahaan swasta) sebenarnya masih ada dua kelompok lain yaitu koperasi dan sektor rumah tangga. Kelompok yang disebut terakhir, perlu mendapatkan pencermatan tersendiri, karena mungkin ia dapat berada di dalam koperasi, atau menjadi suatu unit usaha sendiri, atau merupakan pendukung usaha swasta yang ada. Inilah yang sebenarnya perlu kita lihat dalam kerangka yang lebih luas.
15. Secara konseptual dan empiris, mekanisme koperasi memang diperlukan dan tetap diperlukan oleh suatu perekonomian yang menganut sistem pasar. Besarnya peran tersebut akan sangat tergantung dari tingkat pendapatan masyarakat, tingkat pengetahuan dan kesadaran masyarakat serta struktur pasar dari berbagai kegiatan ekonomi dan sumber daya alam dari suatu negara. Contoh klasik dari pentingnya kondisi pasar yang kompatibel dengan kehadiran koperasi adalah pengalaman koperasi susu dimana-mana di dunia ini selalu menjadi contoh sukses (kasus bilateral monopoli). Padahal sukses ini tidak selalu dapat diikuti oleh jenis kegiatan produksi pertanian lainnya. Koperasi sebagai mekanisme kerjasama ekonomi juga tidak mengungkung dalam sistemnya sendiri yang terbatas pada sistem dan struktur koperasi, tetapi dalam interaksi dapat meminjam mekanisme bisnis yang lazim dipakai oleh badan usaha non-koperasi. Termasuk dalam hal ini pembentukan usaha yang berbentuk non koperasi untuk mempertahankan kemampuan pelayanan dan menegakkan mekanisme koperasi yang dimiliki.
IV. Posisi Koperasi dalam Perdagangan Bebas
16. Esensi perdagangan bebas yang sedang diciptakan oleh banyak negara yang ingin lebih maju ekonominya adalah menghilangkan sebanyak mungkin hambatan perdagangan internasional. Melihat arah tersebut maka untuk melihat dampaknya terhadap perkembangan koperasi di tanah air dengan cara mengelompokkan koperasi ke dalam ketiga kelompok atas dasar jenis koperasi. Pengelompokan itu meliputi pembedaan atas dasar: (i) koperasi produsen atau koperasi yang bergerak di bidang produksi, (ii) koperasi konsumen atau koperasi konsumsi, dan (iii) koperasi kredit dan jasa keuangan. Dengan cara ini akan lebih mudah mengenali keuntungan yang bakal timbul dari adanya perdagangan bebas para anggota koperasi dan anggota koperasinya sendiri.
17. Koperasi produsen terutama koperasi pertanian memang merupakan koperasi yang paling sangat terkena pengaruh perdagangan bebas dan berbagai liberalisasi. Koperasi pertanian di seluruh belahan dunia ini memang selama ini menikmati proteksi dan berbagai bentuk subsidi serta dukungan pemerintah. Dengan diadakannya pengaturan mengenai subsidi, tarif, dan akses pasar, maka produksi barang yang dihasilkan oleh anggota koperasi tidak lagi dapat menikmati perlindungan seperti semula, dan harus dibuka untuk pasaran impor dari negara lain yang lebih efisien.
18. Untuk koperasi-koperasi yang menangani komoditi sebagai pengganti impor atau ditutup dari persaingan impor jelas hal ini akan merupakan pukulan berat dan akan menurunkan perannya di dalam percaturan pasar kecuali ada rasionalisasi produksi. Sementara untuk koperasi yang menghasilkan barang pertanian untuk ekspor seperti minyak sawit, kopi, dan rempah serta produksi pertanian dan perikanan maupun peternakan lainnya, jelas perdagangan bebas merupakan peluang emas. Karena berbagai kebebasan tersebut berarti membuka peluang pasar yang baru. Dengan demikian akan memperluas pasar yang pada gilirannya akan merupakan peluang untuk peningkatan produksi dan usaha bagi koperasi yang bersangkutan. Dalam konteks ini koperasi yang menangani produksi pertanian, yang selama ini mendapat kemudahan dan perlindungan pemerintah melalui proteksi harga dan pasar akan menghadapi masa-masa sulit. Karena itu koperasi produksi harus merubah strategi kegiatannya. Bahkan mungkin harus mereorganisasi kembali supaya kompatibel dengan tantangan yang dihadapi. Untuk koperasi produksi di luar pertanian memang cukup sulit untuk dilihat arah pengaruh dari liberalisasi perdagangan terhadapnya. Karena segala sesuatunya akan sangat tergantung di posisi segmen mana kegiatan koperasi dibedakan dari para anggotanya. Industri kecil misalnya sebenarnya pada saat ini relatif berhadapan dengan pasar yang lebih terbuka. Artinya mereka terbiasa dengan persaingan dengan dunia luar untuk memenuhi pemintaan ekspor maupun berhadapan dengan barang pengganti yang diimpor. Namun cara-cara koperasi juga dapat dikerjakan oleh perusahaan bukan koperasi.
19. Secara umum koperasi di dunia akan menikmati manfaat besar dari adanya perdagangan bebas, karena pada dasarnya perdagangan bebas itu akan selalu membawa pada persaingan yang lebih baik dan membawa pada tingkat keseimbangan harga yang wajar serta efisien. Peniadaan hambatan perdagangan akan memperlancar arus perdagangan dan terbukanya pilihan barang dari seluruh pelosok penjuru dunia secara bebas. Dengan demikian konsumen akan menikmati kebebasan untuk memenuhi hasrat konsumsinya secara optimal . Meluasnya konsumsi masyarakat dunia akan mendorong meluas dan meningkatnya usaha koperasi yang bergerak di bidang konsumsi. Selain itu dengan peniadaan hambatan perdagangan oleh pemerintah melalui peniadaan non torif barier dan penurunan tarif akan menyerahkan mekanisme seleksi sepenuhnya kepada masyarakat. Koperasi sebenarnya menjadi wahana masyarakat untuk melindungi diri dari kemungkinan kerugian yang timbul akibat perdagangan bebas .
20. Kegiatan koperasi kredit, baik secara teoritis maupun empiris, terbukti mempunyai kemampuan untuk membangun segmentasi pasar yang kuat sebagai akibat struktur pasar keuangan yang sangat tidak sempurna, terutama jika menyangkut masalah informasi. Bagi koperasi kredit keterbukaan perdagangan dan aliran modal yang keluar masuk akan merupakan kehadiran pesaing baru terhadap pasar keuangan, namun tetap tidak dapat menjangkau para anggota koperasi. Apabila koperasi kredit mempunyai jaringan yang luas dan menutup usahanya hanya untuk pelayanan anggota saja, maka segmentasi ini akan sulit untuk ditembus pesaing baru. Bagi koperasi-koperasi kredit di negara berkembang, adanya globalisasi ekonomi dunia akan merupakan peluang untuk mengadakan kerjasama dengan koperasi kredit di negara maju dalam membangun sistem perkreditan melalui koperasi. Koperasi kredit atau simpan pinjam di masa mendatang akan menjadi pilar kekuatan sekitar koperasi yang perlu diikuti oleh dukungan lainnya seperti sistem pengawasan dan jaminan.
V. Koperasi Dalam Era Otonomi Daerah
21. Implementasi undang-undang otonomi daerah, akan memberikan dampak positif bagi koperasi dalam hal alokasi sumber daya alam dan pelayanan pembinaan lainnya. Namun koperasi akan semakin menghadapi masalah yang lebih intensif dengan pemerintah daerah dalam bentuk penempatan lokasi investasi dan skala kegiatan koperasi . Karena azas efisiensi akan mendesak koperasi untuk membangun jaringan yang luas dan mungkin melampaui batas daerah otonom. Peranan advokasi oleh gerakan koperasi untuk memberikan orientasi kepada pemerintah di daerah semakin penting. Dengan demikian peranan pemerintah di tingkat propinsi yang diserahi tugas untuk pengembangan koperasi harus mampu menjalankan fungsi intermediasi semacam ini. Mungkin juga dalam hal lain yang berkaitan dengan pemanfaatan infrastruktur daerah yang semula menjadi kewenangan pusat.
22. Peranan pengembangan sistem lembaga keuangan koperasi di tingkat Kabupaten / Kota sebagai daerah otonomi menjadi sangat penting. Lembaga keuangan koperasi yang kokoh di daerah otonom akan dapat menjangkau lapisan bawah dari ekonomi rakyat. Disamping itu juga akan mampu berperan menahan arus keluar sumber keuangan daerah. Berbagai studi menunjukan bahwa lembaga keuangan yang berbasis daerah akan lebih mampu menahan arus kapital keluar.
23. Dukungan yang diperlukan bagi koperasi untuk menghadapi berbagai rasionalisasi adalah keberadaan lembaga jaminan kredit bagi koperasi dan usaha kecil di daerah. Dengan demikian kehadiran lembaga jaminan akan menjadi elemen terpenting untuk percepatan perkembangan koperasi di daerah. Lembaga jaminan kredit yang dapat dikembangkan Pemerintah Daerah akan dapat mendesentralisasi pengembangan ekonomi rakyat dan dalam jangka panjang akan menumbuhkan kemandirian daerah untuk mengarahkan aliran uang di masing-masing daerah. Dalam jangka menengah koperasi juga perlu memikirkan asuransi bagi para penabung.
24. Potensi koperasi pada saat ini sudah mampu untuk memulai gerakan koperasi yang otonom, namun fokus bisnis koperasi harus diarahkan pada ciri universalitas kebutuhan yang tinggi seperti jasa keuangan, pelayanan infrastruktur serta pembelian bersama. Dengan otonomi selain peluang untuk memanfaatkan potensi setempat juga terdapat potensi benturan yang harus diselesaikan di tingkat daerah. Dalam hal ini konsolidasi potensi keuangan, pengembangan jaringan informasi serta pengembangan pusat inovasi dan teknologi merupakan kebutuhan pendukung untuk kuatnya kehadiran koperasi. Pemerintah di daerah dapat mendorong pengembangan lembaga penjamin kredit di daerah.
Oleh: Dr. Noer Soetrisno -- Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKM, Kantor Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia
MEMBANGUN KOPERASI BERBASIS ANGGOTA DALAM RANGKA PENGEMBANGAN EKONOMI RAKYAT
Setelah melalui berbagai kebijakan pengembangan koperasi pada masa Orde Baru yang bias pada dominasi peran pemerintah, serta kondisi krisis ekonomi yang melanda Indonesia, timbul pertanyaan bagaimana sebenarnya peran koperasi dalam masyarakat Indonesia, bagaimana prospeknya dan bagaimana strategi pengembangan yang harus dilakukan pada masa yang akan datang. Melihat sifat dan kondisi krisis ekonomi saat ini serta berbagai pemikiran mengenai usaha untuk dapat keluar dari krisis tersebut, maka koperasi dipandang memiliki arti yang strategis pada masa yang akan datang.
a. KONDISI KOPERASI (PERBANDINGAN KUD DAN KOPERASI KREDIT/KOPDIT)
Keberadaan beberapa koperasi telah dirasakan peran dan manfaatnya bagi masyarakat, walaupun derajat dan intensitasnya berbeda. Setidaknya terdapat tiga tingkat bentuk eksistensi koperasi bagi masyarakat (PSP-IPB, 1999) :
Pertama, koperasi dipandang sebagai lembaga yang menjalankan suatu kegiatan usaha tertentu, dan kegiatan usaha tersebut diperlukan oleh masyarakat. Kegiatan usaha dimaksud dapat berupa pelayanan kebutuhan keuangan atau perkreditan, atau kegiatan pemasaran, atau kegiatan lain. Pada tingkatan ini biasanya koperasi penyediakan pelayanan kegiatan usaha yang tidak diberikan oleh lembaga usaha lain atau lembaga usaha lain tidak dapat melaksanakannya akibat adanya hambatan peraturan. Peran koperasi ini juga terjadi jika pelanggan memang tidak memiliki aksesibilitas pada pelayanan dari bentuk lembaga lain. Hal ini dapat dilihat pada peran beberapa Koperasi Kredit dalam menyediaan dana yang relatif mudah bagi anggotanya dibandingkan dengan prosedur yang harus ditempuh untuk memperoleh dana dari bank. Juga dapat dilihat pada beberapa daerah yang dimana aspek geografis menjadi kendala bagi masyarakat untuk menikmati pelayanan dari lembaga selain koperasi yang berada di wilayahnya.
Kedua, koperasi telah menjadi alternatif bagi lembaga usaha lain. Pada kondisi ini masyarakat telah merasakan bahwa manfaat dan peran koperasi lebih baik dibandingkan dengan lembaga lain. Keterlibatan anggota (atau juga bukan anggota) dengan koperasi adalah karena pertimbangan rasional yang melihat koperasi mampu memberikan pelayanan yang lebih baik. Koperasi yang telah berada pada kondisi ini dinilai berada pada ‘tingkat’ yang lebih tinggi dilihat dari perannya bagi masyarakat. Beberapa KUD untuk beberapa kegiatan usaha tertentu diidentifikasikan mampu memberi manfaat dan peran yang memang lebih baik dibandingkan dengan lembaga usaha lain, demikian pula dengan Koperasi Kredit.
Ketiga, koperasi menjadi organisasi yang dimiliki oleh anggotanya. Rasa memilki ini dinilai telah menjadi faktor utama yang menyebabkan koperasi mampu bertahan pada berbagai kondisi sulit, yaitu dengan mengandalkan loyalitas anggota dan kesediaan anggota untuk bersama-sama koperasi menghadapi kesulitan tersebut. Sebagai ilustrasi, saat kondisi perbankan menjadi tidak menentu dengan tingkat bunga yang sangat tinggi, loyalitas anggota Kopdit membuat anggota tersebut tidak memindahkan dana yang ada di koperasi ke bank. Pertimbangannya adalah bahwa keterkaitan dengan Kopdit telah berjalan lama, telah diketahui kemampuannya melayani, merupakan organisasi ‘milik’ anggota, dan ketidak-pastian dari dayatarik bunga bank. Berdasarkan ketiga kondisi diatas, maka wujud peran yang diharapkan sebenarnya adalah agar koperasi dapat menjadi organisasi milik anggota sekaligus mampu menjadi alternatif yang lebih baik dibandingkan dengan lembaga lain.
Namun diantara peran dan manfaat koperasi diatas, ternyata lebih banyak lagi koperasi, terutama KUD, yang tidak mendapatkan apresiasi dari masyarakat karena berbagai faktor. Faktor utamanya adalah ketidak mampuan koperasi menjalankan fungsi sebagai mana yang ‘dijanjikan’, serta banyak melakukan penyimpangan atau kegiatan lain yang mengecewakan masyarakat. Kondisi ini telah menjadi sumber citra buruk koperasi secara keseluruhan.
Pada masa yang akan datang, masyarakat masih membutuhkan layanan usaha koperasi. Alasan utama kebutuhkan tersebut adalah dasar pemikiran ekonomi dalam konsep pendirian koperasi, seperti untuk meningkatkan kekuatan penawaran (bargaining positition), peningkatan skala usaha bersama, pengadaan pelayanan yang selama ini tidak ada, serta pengembangan kegiatan lanjutan (pengolahan, pemasaran, dan sebagainya) dari kegiatan anggota. Alasan lain adalah karena adanya peluang untuk mengembangkan potensi usaha tertentu (yang tidak berkaitan dengan usaha anggota) atau karena memanfaatkan fasilitas yang disediakan pihak lain (pemerintah) yang mensyaratkan kelembagaan koperasi, sebagaimana bentuk praktek pengembangan koperasi yang telah dilakukan selama ini. Namun alasan lain yang sebenarnya juga sangat potensial sebagai sumber perkembangan koperasi, seperti alasan untuk memperjuangkan semangat kerakyatan, demokratisasi, atau alasan sosial politik lain, tampaknya belum menjadi faktor yang dominan.
Alasan kebutuhan awal atas keberadaan koperasi tersebut sangat dipengaruhi oleh pola hubungan koperasi dan anggota serta masyarakat yang didominasi pola hubungan bisnis. Hal ini sangat terlihat dalam pola hubungan koperasi dan anggota di KUD. Akibatnya sering terjadi “koperasi yang tidak berkoperasi” atau dikenal pula sebagai “koperasi pengurus” dan “koperasi investor” karena koperasi dan anggota menjadi entitas yang berbeda, melakukan transaksi satu dengan lainnya, bahkan tidak jarang saling berbeda kepentingan : pengurus dan ‘investor’ disatu pihak, anggota dipihak lainnya.
Dari beberapa perkembangan Kopdit terlihat bahwa pola hubungan koperasi dan anggota yang sesuai dengan prinsip dasar koperasi memang membutuhkan proses. Namun jika kesadaran keanggotaan (yang membedakan seorang anggota dengan yang bukan anggota) telah berhasil ditumbuhkan maka kesadaran tersebut akan menjadi dasar motivasi dimana pola hubungan bisnis dapat berkesinambungan melalui partisipasi yang kemudian berkembang menjadi loyalitas. Pola yang tidak hanya ‘hubungan bisnis’ tersebut kemudian akan menjadi sumber kekuatan koperasi. Hal ini ditunjukkan oleh beberapa Kopdit, dimana jika dalam masa krisis banyak KUD dan lembaga usaha lain gulung tikar beberapa Kopdit justru menunjukkan peningkatan kinerja baik dilihat dari omset, SHU, dan jumlah anggota.
b. FAKTOR FUNDAMENTAL EKSISTENSI DAN PERAN KOPERASI
Berdasarkan pengamatan atas banyak koperasi serta menggali aspirasi berbagai pihak yang terkait dengan perkembangan koperasi, khususnya para partisipan koperasi sendiri, yaitu anggota dan pengurus, maka dapat disintesakan beberapa faktor fundamental yang menjadi dasar eksistensi dan peran koperasi dimasyarakat. Faktor-faktor berikut merupakan faktor pembeda antara koperasi yang tetap eksis dan berkembang dengan koperasi-koperasi yang telah tidak berfungsi bahkan telah tutup.
1. Koperasi akan eksis jika terdapat kebutuhan kolektif untuk memperbaiki ekonomi secara mandiri.
Masyarakat yang sadar akan kebutuhannya untuk memperbaiki diri, meningkatkan kesejahteraanya, atau mengembangkan diri secara mandiri merupakan prasyarat bagi keberdaan koperasi. Kesadaran ini akan menjadi motivasi utama bagi pendirian koperasi ‘dari bawah’ atau secara ‘bottom-up’. Faktor kuncinya adalah kesadaran kolektif dan kemandirian. Dengan demikian masyarakat tersebut harus pula memahami kemampuan yang ada pada diri mereka sendiri sebagai ‘modal’ awal untuk mengembangkan diri. Faktor eksternal dapat diperlakukan sebagai penunjang atau komplemen bagi kemampuan sendiri tersebut.
2. Koperasi akan berkembang jika terdapat kebebasan (independensi) dan otonomi untuk berorganisasi.
Koperasi pada dasarnya merupakan suatu cita-cita yang diwujudkan dalam bentuk prinsip-prinsip dasar. Wujud praktisnya, termasuk struktur organisasinya, sangat ditentukan oleh karakteristik lokal dan anggotanya. Dengan demikian format organisasi tersebut akan mencari bentuk dalam suatu proses perkembangan sedemikian sehingga akhirnya akan diperoleh struktur organisasi, termasuk kegiatan yang akan dilakukannya, yang paling sesuai dengan kebutuhan anggota. Pengalaman pengembangan KUD dengan format yang seragam justru telah menimbulkan ketergantungan yang tinggi terhadap berbagai faktor eksternal, sedangkan KUD yang berhasil bertahan justru adalah KUD yang mampu secara kreatiif dan sesuai dengan kebutuhan anggota dan masyarakat mengembangkan organisasi dan kegiatannya.
3. Keberadaan koperasi akan ditentukan oleh proses pengembangan pemahaman nilai-nilai koperasi.
Faktor pembeda koperasi dengan lembaga usaha lain adalah bahwa dalam koperasi terdapat nilai-nilai dan prinsip yang tidak terdapat atau tidak dikembangkan secara sadar dalam organisasi lain. Oleh sebab itu pemahaman atas nilai-nilaI koperasi : keterbukaan, demokrasi, partisipasi, kemandirian, kerjasama, pendidikan, dan kepedulian pada masyarakat; seharusnya merupakan pilar utama dalam perkembangan suatu koperasi. Pada gilirannya kemudian nilai dan prinsip itulah yang akan menjadi faktor penentu keberhasilan koperasi. Sehingga salah satu faktor fundamental bagi keberadaan koperasi ternyata adalah jika nilai dan prinsip koperasi tersebut dapat dipahami dan diwujudkan dalam kegiatan organisasi. Disadari sepenuhnya bahwa pemahaman nilai-nilai tersebut tidak dapat terjadi dalam “semalam”, tetapi melalui suatu proses pengembangan yang berkesinambungan setahap demi setahap terutama dilakukan melalui pendidikan dan sosialisasi dengan tetap memberikan tempat bagi perkembangan aspirasi lokal yang spesifik menyangkut implementasi bahkan pengayaan (enrichment) dari nilai-nilai koperasi yang universal tersebut. Dengan demikian proses pengembangan pemahaman nilai-nilai koperasi akan menjadi salah satu faktor penentu keberadaan koperasi.
4. Koperasi akan semakin dirasakan peran dan manfaatnya bagi anggota dan masyarakat pada umumnya jika terdapat kesadaran dan kejelasan dalam hal keanggotaan koperasi.
Hal ini secara khusus mengacu pada pemahaman anggota dan masyarakat akan perbedaan hak dan kewajiban serta manfaat yang dapat diperoleh dengan menjadi anggota atau tidak menjadi anggota. Jika terdapat kejelasan atas keanggotaan koperasi dan manfaat yang akan diterima anggta yang tidak dapat diterima oleh non-anggota maka akan terdapat insentif untuk menjadi anggota koperasi. Pada gilirannya hal ini kemudian akan menumbuhkan kesadaran kolektif dan loyalitas anggota kepada organisasinya yang kemudian akan menjadi basis kekuatan koperasi itu sendiri.
5. Koperasi akan eksis jika mampu mengembangkan kegiatan usaha yang :
a. luwes (flexible) sesuai dengan kepentingan anggota,
b. berorientasi pada pemberian pelayanan bagi anggota,
c. berkembang sejalan dengan perkembangan usaha anggota,
d. biaya transaksi antara koperasi dan anggota mampu ditekan lebih kecil dari biaya transaksi non-koperasi, dan
e. mampu mengembangkan modal yang ada didalam kegiatan koperasi dan anggota sendiri.
Kegiatan usaha yang dikembangkan koperasi pada prinsipnya adalah kegiatan yang berkait dengan kepentingan anggota. Salah satu indikator utama keberhasilan kegiatan usaha tersebut adalah jika usaha anggota berkembang sejalan dengan perkembangan usaha koperasi. Oleh sebab itu jenis usaha koperasi tidak dapat diseragamkan untuk setiap koperasi, sebagaimana tidak dapat diseragamkannya pandangan mengenai kondisi masyarakat yang menjadi anggota koperasi.
Biaya transaksi yang ditimbulkan apabila anggota menggunakan koperasi dalam melakukan kegiatan usahanya juga perlu lebih kecil jika dibandingkan dengan tanpa koperasi. Hal ini akan menjadi penentu apakah keberadaan koperasi dan keanggotaan koperasi memang memberikan manfaat bisnis. Jika biaya transaksi tersebut memang dapat menjadi insentif bagi keanggotaan koperasi maka produktivitas modal koperasi akan lebih besar dibandingkan lembaga lain. Langkah selanjutnya yang perlu dikembangkan oleh suatu koperasi adalah agar hasil produktivitas tersebut dapat dipertahankan dalam sistem koperasi. Pengalaman sebelumnya menunjukkan bahwa salah satu faktor yang menyebabkan lemahnya lembaga koperasi adalah karena nilai lebih dari perputaran modal dalam “sistem” koperasi ternyata lebih banyak diterima oleh lembaga-lembaga diluar koperasi dan anggotanya. Hal ini memang merupakan salah satu catatan penting yang harus diperhatikan sebagai akibat dari sistem perbankan yang sentralistik seperti yang dianut saat ini.
Jika koperasi memang telah menyadari pentingnya keterkaitan usaha antara usaha koperasi itu sendiri dengan usaha anggotanya, maka salah satu strategi dasar yang harus dikembangkan oleh koperasi adalah untuk mengembangan kegiatan usaha anggota dan koperasi dalam satu kesatuan pengelolaan. Hal ini akan berimplikasi pada berbagai indikator keberhasilan usaha koperasi, dimana faktor keberhasilan usaha anggota harus menjadi salah satu indikator utama.
6. Keberadaan koperasi akan sangat ditentukan oleh kesesuaian faktor-faktor tersebut dengan karakteristik masyarakat atau anggotanya.
Jika dilihat dari kondisi sosial masyarakat Indonesia saat ini, maka dapat dihipotesakan bahwa koperasi dapat tumbuh, berkembang, dan sekaligus juga berperan dan bermanfaat bagi masyarakat yang tengah berkembang dari suatu tradisional dengan ikatan sosiologis yang kuat melalui hubungan emosional primer ke arah masyarakat yang lebih heterogen dan semakin terlibat dengan sistem pasar dan kapital dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya, atau yang juga dikenal dengan komunitas ‘bazar-ekonomi’. Artinya koperasi tidak diharapkan dapat sangat berkembang pada masyarakat yang masih sangat tradisional, subsisten, dan relatif ‘tertutup’ dari dinamika sistem pasar; atau juga pada komunitas yang telah menajdi sangat individualis, dan berorientasi kapital. Dengan perkataan lain, koperasi tidak diharapkan dapat berkembang optimal disemua bentuk komunitas.
Sebagai bagian dari identifikasi berbagai faktor fundamental tersebut maka perlu disadari bahwa pemenuhan faktor-faktor tersebut memang dapat bersifat ‘trade-off’ dengan pertimbangan kinerja jangka pendek suatu organisasi usaha konvensional. Proses yang dilakukan dalam pengembangan koperasi memang membutuhkan waktu yang lebih lama dengan berbagai faktor “non-bisnis” yang kuat pengaruhnya. Dengan demikian pemenuhan berbagai faktor fundamental tersebut dapat menyebabkan indikator kinerja lain, seperti pertumbuhan bisnis jangka pendek, harus dikorbankan demi untuk memperoleh kepentingan yang lebih mendasar dalam jangka panjang.
c. MENGEMBANGKAN KOPERASI DI INDONESIA: MULAI DARI APA YANG SUDAH ADA
Dalam kondisi sosial dan ekonomi yang sangat diwarnai oleh peranan dunia usaha, maka mau tidak mau peran dan juga kedudukan koperasi dalam masyarakat akan sangat ditentukan oleh perannya dalam kegiatan usaha (bisnis). Bahkan peran kegiatan usaha koperasi tersebut kemudian menjadi penentu bagi peran lain, seperti peran koperasi sebagai lembaga sosial. Isyu strategis pengembangan usaha koperasi dapat dipertajam untuk beberapa hal berikut :
1. Mengembangkan kegiatan usaha koperasi dengan mempertahankan falsafah dan prinsip koperasi.
Beberapa koperasi pada beberapa bidang usaha sebenarnya telah menunjukkan kinerja usaha yang sangat baik, bahkan telah mampu menjadi pelaku utama dalam bisnis yang bersangkutan. Misalnya, GKBI yang telah menjadi terbesar untuk usaha batik, Kopti yang telah menjadi terbesar untuk usaha tahu dan tempe, serta banyak KUD yang telah menjadi terbesar kecamatan wilayah kerjanya masing-masing. Pada koperasi-koperasi tersebut tantangannya adalah untuk dapat terus mengembangkan usahanya dengan tetap mempertahankan prinsip-prinsip perkoperasian Indonesia. Pada prakteknya, banyak koperasi yang setelah berkembang justru kehilangan jiwa koperasinya. Dominasi pengurus dalam melaksanakan kegiatan usaha dan koperasi yang membentuk PT (Perseroaan Terbatas) merupakan indikasi kekurang-mampuan koperasi mengembangkan usaha dengan tetap mempertahankan prinsip koperasi. Jika tidak diantisipasi kondisi ini pada gilirannya akan mengaburkan tujuan pengembangan koperasi itu sendiri.
2. Keterkaitan kegiatan koperasi dengan kegiatan pelayanan usaha umum.
Hal yang menonjol adalah dalam interaksi koperasi dengan bank. Sifat badan usaha koperasi dengan kepemilikan kolektif ternyata banyak tidak berkesesuaian (compatible) dengan berbagai ketentuan bank. Sehingga akhirnya ‘terpaksa’ dibuat kompromi dengan menjadikan individu (anggota atau pengurus) sebagai penerima layanan bank (contoh : kredit KKPA). Hal yang sama juga terjadi jika koperasi akan melakukan kontrak usaha dengan lembaga usaha lain. Kondisi ini berhubungan erat dengan aspek hukum koperasi yang tidak berkembang sepesat badan usaha perorangan. Disamping itu karakteristik koperasi tampaknya kurang terakomodasi dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang menyangkut badan usaha selain undang-undang tentang koperasi sendiri. Hal ini terlihat misalnya dalam peraturan perundangan tentang perbankan, perpajakan, dan sebagainya.
3. Mengatasi beberapa permasalahan teknis usaha bagi koperasi kecil untuk berkembang.
Koperasi (KUD) sayur di Pangalengan kebingunan pada saat ada permintaan untuk melakukan ekspor tomat ke Singapura: bagaimana mekanisme pembayarannya, bagaimana membuat kontrak yang tepat, dan sebagainya. Koperasi tersebut juga tidak tahu, atau memang karena tidak ada, dimana atau kepada siapa harus bertanya. Hal yang sama juga dihadapi oleh sebuah koperasi di Jogjakarta yang kebingungan mencari informasi mengenai teknologi pengemasan bagi produk makanan olahannya. Permasalahan teknis semacam ini telah semakin banyak dihadapi oleh koperasi, dan sangat dirasakan kebutuhan bagi ketersediaan layanan untuk mengantisipasi berbagai permasalahan tersebut.
4. Mengakomodasi keinginan pengusaha kecil untuk melakukan usaha atau mengatasi masalah usaha dengan membentuk koperasi.
Beberapa pengusaha kecil jamu di daerah Surakarta dan sekitarnya tengah menghadapi kesulitan bahan baku (ginseng) yang pasokannya dimonopoli oleh pengusaha besar. Para pengusaha tersebut juga masih harus bersaing dengan pabrik jamu besar untuk dapat memperoleh bahan baku tersebut. Mereka ingin berkoperasi tetapi tidak dengan pola koperasi yang sudah ditentukan oleh pemerintah. Hal yang sama juga dihadapi oleh pengusaha kecil besi-cor di Bandung untuk mendapatan bahan baku ‘inti-besi’-nya, atau untuk menghadapi pembeli (industri besar) yang sering mempermainkan persyaratan presisi produk yang dihasilkan. Contoh-contoh diatas memberi gambaran bahwa keinginan dan kebutuhan untuk membentuk koperasi cukup besar, asalkan memang mampu mengakomodasi keinginan dan kebutuhan para pengusaha tersebut. Kasus serupa cukup banyak terjadi pada berbagai bidang usaha lain di berbagai tempat.
5. Pengembangan kerjasama usaha antar koperasi.
Konsentrasi pengembangan usaha koperasi selama ini banyak ditujukan bagi koperasi sebagai satu perusahaan (badan usaha). Tantangan untuk membangun perekonomian yang kooperatif sesuai amanat konstitusi kiranya dapat dilakukan dengan mengembangan jaringan kerjasama dan keterkaitan usaha antar koperasi. Hal ini juga sebenarnya telah menjadi kebutuhan diantara banyak koperasi, karena banyak peluang usaha yang tidak dapat dipenuhi oleh koperasi secara individual. Jaringan kerjasama dan keterkaitan usaha antar koperasi, bukan hanya keterkaitan organisasi, potensial untuk dikembangkan antar koperasi primer serta antara primer dan sekunder. Perlu pula menjadi catatan bahwa di berbagai negara lain, koperasi telah kembali berkembang dan salah satu kunci keberhasilannya adalah spesialisasi kegiatan usaha koperasi dan kerjasama antar koperasi. Mengenai hubungan koperasi primer dan sekunder di Indonesia, saat ini banyak yang bersifat artifisial karena antara primer dan sekunder sering mengembangkan bisnis yang tidak berkaitan bahkan tidak jarang justru saling bersaing.
6. Peningkatan kemampuan usaha koperasi pada umumnya.
Kemampuan usaha koperasi : permodalan, pemasaran, dan manajemen; umumnya masih lemah. Telah cukup banyak usaha yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi hal tersebut, namun masih sering bersifat parsial, tidak kontinyu, bahkan tidak sesuai dengan kebutuhan. Pendampingan dalam suatu proses pemberdayaan yang alamiah dan untuk mengembangkan kemampuan dari dalam koperasi sendiri tampaknya lebih tepat dan dibutuhkan.
7. Peningkatan Citra Koperasi
Pengembangan kegiatan usaha koperasi tidak dapat dilepaskan dari citra koperasi di masyarakat. Harus diakui bahwa citra koperasi belum, atau sudah tidak, seperti yang diharapkan. Masyarakat umumnya memiliki kesan yang tidak selalu positif terhadap koperasi. Koperasi banyak diasosiasikan dengan organisasi usaha yang penuh dengan ketidak-jelasan, tidak profesional, Ketua Untung Dulu, justru mempersulit kegiatan usaha anggota (karena berbagai persyaratan), banyak mendapat campur tangan pemerintah, dan sebagainya. Di media massa, berika negatif tentang koperasi tiga kali lebih banyak dari pada berita positifnya (PSP-IPB, 1995); berita dari para pejabat dua kali lebih banyak dari berita yang bersumber langsung dari koperasi, padahal prestasi koperasi diberbagai daerah cukup banyak dan berarti. Citra koperasi tersebut pada gilirannya akan mempengaruhi hubungan koperasi dengan pelaku usaha lain, maupun perkembangan koperasi itu sendiri. Bahkan citra koperasi yang kurang ‘pas’ tersebut juga turut mempengaruhi pandangan mereka yang terlibat di koperasi, sehingga menggantungkan diri dan mencari peluang dalam hubungannya dengan kegiatan pemerintah justru dipandang sebagai hal yang wajar bahkan sebagai sesuatu yang ‘sudah seharusnya’ demikan. Memperbaiki dan meningkatkan citra koperasi secara umum merupakan salah satu tantangan yang harus segera mendapat perhatian.
8. Penyaluran Aspirasi Koperasi
Para pengusaha umumnya memiliki asosiasi pengusaha untuk dapat menyalurkan dan menyampaikan aspirasi usahanya, bahkan juga sekaligus sebagai wahana bagi pendekatan (lobby) politik dan meningkatkan keunggulan posisinya dalam berbagai kebijakan pemerintah. Asosiasi tersebut juga dapat dipergunakan untuk melakukan negosiasi usaha, wahana pengembangan kemampuan, bahkan dalam rangka mengembangkan hubungan internasional. Dalam hal ini asosiasi atau lembaga yang dapat menjadi wahana bagi penyaluran aspirasi koperasi relatif terbatas. Hubungan keorganisasian vertikal (primer-sekunder : unit-pusat-gabungan-induk koperasi) tampaknya belum dapat menampung berbagai keluhan atau keinginan anggota koperasi atau koperasi itu sendiri. Kelembagaan yang diadakan pemerintah untuk melayani koperasi juga acap kali tidak tepat sebagai tempat untuk menyalurkan aspirasi, karena sebagian aspirasi tersebut justru berhubungan dengan kepentingan pemerintah itu sendiri. Demikian pula dengan kelembagaan gerakan koperasi yang sekian lama kurang terdengar kiprahnya. Padahal dilihat dari jumlah dan kekuatan (ekonomi) yang dimilikinya maka anggota koperasi dan koperasi kiranya perlu diperhatikan berbagai kepentingannya.
Dr. Ir. Bayu Krisnamurthi : Direktur Pusat Studi Pembangunan (PSP) Institut Pertanian Bogor (IPB)
a. KONDISI KOPERASI (PERBANDINGAN KUD DAN KOPERASI KREDIT/KOPDIT)
Keberadaan beberapa koperasi telah dirasakan peran dan manfaatnya bagi masyarakat, walaupun derajat dan intensitasnya berbeda. Setidaknya terdapat tiga tingkat bentuk eksistensi koperasi bagi masyarakat (PSP-IPB, 1999) :
Pertama, koperasi dipandang sebagai lembaga yang menjalankan suatu kegiatan usaha tertentu, dan kegiatan usaha tersebut diperlukan oleh masyarakat. Kegiatan usaha dimaksud dapat berupa pelayanan kebutuhan keuangan atau perkreditan, atau kegiatan pemasaran, atau kegiatan lain. Pada tingkatan ini biasanya koperasi penyediakan pelayanan kegiatan usaha yang tidak diberikan oleh lembaga usaha lain atau lembaga usaha lain tidak dapat melaksanakannya akibat adanya hambatan peraturan. Peran koperasi ini juga terjadi jika pelanggan memang tidak memiliki aksesibilitas pada pelayanan dari bentuk lembaga lain. Hal ini dapat dilihat pada peran beberapa Koperasi Kredit dalam menyediaan dana yang relatif mudah bagi anggotanya dibandingkan dengan prosedur yang harus ditempuh untuk memperoleh dana dari bank. Juga dapat dilihat pada beberapa daerah yang dimana aspek geografis menjadi kendala bagi masyarakat untuk menikmati pelayanan dari lembaga selain koperasi yang berada di wilayahnya.
Kedua, koperasi telah menjadi alternatif bagi lembaga usaha lain. Pada kondisi ini masyarakat telah merasakan bahwa manfaat dan peran koperasi lebih baik dibandingkan dengan lembaga lain. Keterlibatan anggota (atau juga bukan anggota) dengan koperasi adalah karena pertimbangan rasional yang melihat koperasi mampu memberikan pelayanan yang lebih baik. Koperasi yang telah berada pada kondisi ini dinilai berada pada ‘tingkat’ yang lebih tinggi dilihat dari perannya bagi masyarakat. Beberapa KUD untuk beberapa kegiatan usaha tertentu diidentifikasikan mampu memberi manfaat dan peran yang memang lebih baik dibandingkan dengan lembaga usaha lain, demikian pula dengan Koperasi Kredit.
Ketiga, koperasi menjadi organisasi yang dimiliki oleh anggotanya. Rasa memilki ini dinilai telah menjadi faktor utama yang menyebabkan koperasi mampu bertahan pada berbagai kondisi sulit, yaitu dengan mengandalkan loyalitas anggota dan kesediaan anggota untuk bersama-sama koperasi menghadapi kesulitan tersebut. Sebagai ilustrasi, saat kondisi perbankan menjadi tidak menentu dengan tingkat bunga yang sangat tinggi, loyalitas anggota Kopdit membuat anggota tersebut tidak memindahkan dana yang ada di koperasi ke bank. Pertimbangannya adalah bahwa keterkaitan dengan Kopdit telah berjalan lama, telah diketahui kemampuannya melayani, merupakan organisasi ‘milik’ anggota, dan ketidak-pastian dari dayatarik bunga bank. Berdasarkan ketiga kondisi diatas, maka wujud peran yang diharapkan sebenarnya adalah agar koperasi dapat menjadi organisasi milik anggota sekaligus mampu menjadi alternatif yang lebih baik dibandingkan dengan lembaga lain.
Namun diantara peran dan manfaat koperasi diatas, ternyata lebih banyak lagi koperasi, terutama KUD, yang tidak mendapatkan apresiasi dari masyarakat karena berbagai faktor. Faktor utamanya adalah ketidak mampuan koperasi menjalankan fungsi sebagai mana yang ‘dijanjikan’, serta banyak melakukan penyimpangan atau kegiatan lain yang mengecewakan masyarakat. Kondisi ini telah menjadi sumber citra buruk koperasi secara keseluruhan.
Pada masa yang akan datang, masyarakat masih membutuhkan layanan usaha koperasi. Alasan utama kebutuhkan tersebut adalah dasar pemikiran ekonomi dalam konsep pendirian koperasi, seperti untuk meningkatkan kekuatan penawaran (bargaining positition), peningkatan skala usaha bersama, pengadaan pelayanan yang selama ini tidak ada, serta pengembangan kegiatan lanjutan (pengolahan, pemasaran, dan sebagainya) dari kegiatan anggota. Alasan lain adalah karena adanya peluang untuk mengembangkan potensi usaha tertentu (yang tidak berkaitan dengan usaha anggota) atau karena memanfaatkan fasilitas yang disediakan pihak lain (pemerintah) yang mensyaratkan kelembagaan koperasi, sebagaimana bentuk praktek pengembangan koperasi yang telah dilakukan selama ini. Namun alasan lain yang sebenarnya juga sangat potensial sebagai sumber perkembangan koperasi, seperti alasan untuk memperjuangkan semangat kerakyatan, demokratisasi, atau alasan sosial politik lain, tampaknya belum menjadi faktor yang dominan.
Alasan kebutuhan awal atas keberadaan koperasi tersebut sangat dipengaruhi oleh pola hubungan koperasi dan anggota serta masyarakat yang didominasi pola hubungan bisnis. Hal ini sangat terlihat dalam pola hubungan koperasi dan anggota di KUD. Akibatnya sering terjadi “koperasi yang tidak berkoperasi” atau dikenal pula sebagai “koperasi pengurus” dan “koperasi investor” karena koperasi dan anggota menjadi entitas yang berbeda, melakukan transaksi satu dengan lainnya, bahkan tidak jarang saling berbeda kepentingan : pengurus dan ‘investor’ disatu pihak, anggota dipihak lainnya.
Dari beberapa perkembangan Kopdit terlihat bahwa pola hubungan koperasi dan anggota yang sesuai dengan prinsip dasar koperasi memang membutuhkan proses. Namun jika kesadaran keanggotaan (yang membedakan seorang anggota dengan yang bukan anggota) telah berhasil ditumbuhkan maka kesadaran tersebut akan menjadi dasar motivasi dimana pola hubungan bisnis dapat berkesinambungan melalui partisipasi yang kemudian berkembang menjadi loyalitas. Pola yang tidak hanya ‘hubungan bisnis’ tersebut kemudian akan menjadi sumber kekuatan koperasi. Hal ini ditunjukkan oleh beberapa Kopdit, dimana jika dalam masa krisis banyak KUD dan lembaga usaha lain gulung tikar beberapa Kopdit justru menunjukkan peningkatan kinerja baik dilihat dari omset, SHU, dan jumlah anggota.
b. FAKTOR FUNDAMENTAL EKSISTENSI DAN PERAN KOPERASI
Berdasarkan pengamatan atas banyak koperasi serta menggali aspirasi berbagai pihak yang terkait dengan perkembangan koperasi, khususnya para partisipan koperasi sendiri, yaitu anggota dan pengurus, maka dapat disintesakan beberapa faktor fundamental yang menjadi dasar eksistensi dan peran koperasi dimasyarakat. Faktor-faktor berikut merupakan faktor pembeda antara koperasi yang tetap eksis dan berkembang dengan koperasi-koperasi yang telah tidak berfungsi bahkan telah tutup.
1. Koperasi akan eksis jika terdapat kebutuhan kolektif untuk memperbaiki ekonomi secara mandiri.
Masyarakat yang sadar akan kebutuhannya untuk memperbaiki diri, meningkatkan kesejahteraanya, atau mengembangkan diri secara mandiri merupakan prasyarat bagi keberdaan koperasi. Kesadaran ini akan menjadi motivasi utama bagi pendirian koperasi ‘dari bawah’ atau secara ‘bottom-up’. Faktor kuncinya adalah kesadaran kolektif dan kemandirian. Dengan demikian masyarakat tersebut harus pula memahami kemampuan yang ada pada diri mereka sendiri sebagai ‘modal’ awal untuk mengembangkan diri. Faktor eksternal dapat diperlakukan sebagai penunjang atau komplemen bagi kemampuan sendiri tersebut.
2. Koperasi akan berkembang jika terdapat kebebasan (independensi) dan otonomi untuk berorganisasi.
Koperasi pada dasarnya merupakan suatu cita-cita yang diwujudkan dalam bentuk prinsip-prinsip dasar. Wujud praktisnya, termasuk struktur organisasinya, sangat ditentukan oleh karakteristik lokal dan anggotanya. Dengan demikian format organisasi tersebut akan mencari bentuk dalam suatu proses perkembangan sedemikian sehingga akhirnya akan diperoleh struktur organisasi, termasuk kegiatan yang akan dilakukannya, yang paling sesuai dengan kebutuhan anggota. Pengalaman pengembangan KUD dengan format yang seragam justru telah menimbulkan ketergantungan yang tinggi terhadap berbagai faktor eksternal, sedangkan KUD yang berhasil bertahan justru adalah KUD yang mampu secara kreatiif dan sesuai dengan kebutuhan anggota dan masyarakat mengembangkan organisasi dan kegiatannya.
3. Keberadaan koperasi akan ditentukan oleh proses pengembangan pemahaman nilai-nilai koperasi.
Faktor pembeda koperasi dengan lembaga usaha lain adalah bahwa dalam koperasi terdapat nilai-nilai dan prinsip yang tidak terdapat atau tidak dikembangkan secara sadar dalam organisasi lain. Oleh sebab itu pemahaman atas nilai-nilaI koperasi : keterbukaan, demokrasi, partisipasi, kemandirian, kerjasama, pendidikan, dan kepedulian pada masyarakat; seharusnya merupakan pilar utama dalam perkembangan suatu koperasi. Pada gilirannya kemudian nilai dan prinsip itulah yang akan menjadi faktor penentu keberhasilan koperasi. Sehingga salah satu faktor fundamental bagi keberadaan koperasi ternyata adalah jika nilai dan prinsip koperasi tersebut dapat dipahami dan diwujudkan dalam kegiatan organisasi. Disadari sepenuhnya bahwa pemahaman nilai-nilai tersebut tidak dapat terjadi dalam “semalam”, tetapi melalui suatu proses pengembangan yang berkesinambungan setahap demi setahap terutama dilakukan melalui pendidikan dan sosialisasi dengan tetap memberikan tempat bagi perkembangan aspirasi lokal yang spesifik menyangkut implementasi bahkan pengayaan (enrichment) dari nilai-nilai koperasi yang universal tersebut. Dengan demikian proses pengembangan pemahaman nilai-nilai koperasi akan menjadi salah satu faktor penentu keberadaan koperasi.
4. Koperasi akan semakin dirasakan peran dan manfaatnya bagi anggota dan masyarakat pada umumnya jika terdapat kesadaran dan kejelasan dalam hal keanggotaan koperasi.
Hal ini secara khusus mengacu pada pemahaman anggota dan masyarakat akan perbedaan hak dan kewajiban serta manfaat yang dapat diperoleh dengan menjadi anggota atau tidak menjadi anggota. Jika terdapat kejelasan atas keanggotaan koperasi dan manfaat yang akan diterima anggta yang tidak dapat diterima oleh non-anggota maka akan terdapat insentif untuk menjadi anggota koperasi. Pada gilirannya hal ini kemudian akan menumbuhkan kesadaran kolektif dan loyalitas anggota kepada organisasinya yang kemudian akan menjadi basis kekuatan koperasi itu sendiri.
5. Koperasi akan eksis jika mampu mengembangkan kegiatan usaha yang :
a. luwes (flexible) sesuai dengan kepentingan anggota,
b. berorientasi pada pemberian pelayanan bagi anggota,
c. berkembang sejalan dengan perkembangan usaha anggota,
d. biaya transaksi antara koperasi dan anggota mampu ditekan lebih kecil dari biaya transaksi non-koperasi, dan
e. mampu mengembangkan modal yang ada didalam kegiatan koperasi dan anggota sendiri.
Kegiatan usaha yang dikembangkan koperasi pada prinsipnya adalah kegiatan yang berkait dengan kepentingan anggota. Salah satu indikator utama keberhasilan kegiatan usaha tersebut adalah jika usaha anggota berkembang sejalan dengan perkembangan usaha koperasi. Oleh sebab itu jenis usaha koperasi tidak dapat diseragamkan untuk setiap koperasi, sebagaimana tidak dapat diseragamkannya pandangan mengenai kondisi masyarakat yang menjadi anggota koperasi.
Biaya transaksi yang ditimbulkan apabila anggota menggunakan koperasi dalam melakukan kegiatan usahanya juga perlu lebih kecil jika dibandingkan dengan tanpa koperasi. Hal ini akan menjadi penentu apakah keberadaan koperasi dan keanggotaan koperasi memang memberikan manfaat bisnis. Jika biaya transaksi tersebut memang dapat menjadi insentif bagi keanggotaan koperasi maka produktivitas modal koperasi akan lebih besar dibandingkan lembaga lain. Langkah selanjutnya yang perlu dikembangkan oleh suatu koperasi adalah agar hasil produktivitas tersebut dapat dipertahankan dalam sistem koperasi. Pengalaman sebelumnya menunjukkan bahwa salah satu faktor yang menyebabkan lemahnya lembaga koperasi adalah karena nilai lebih dari perputaran modal dalam “sistem” koperasi ternyata lebih banyak diterima oleh lembaga-lembaga diluar koperasi dan anggotanya. Hal ini memang merupakan salah satu catatan penting yang harus diperhatikan sebagai akibat dari sistem perbankan yang sentralistik seperti yang dianut saat ini.
Jika koperasi memang telah menyadari pentingnya keterkaitan usaha antara usaha koperasi itu sendiri dengan usaha anggotanya, maka salah satu strategi dasar yang harus dikembangkan oleh koperasi adalah untuk mengembangan kegiatan usaha anggota dan koperasi dalam satu kesatuan pengelolaan. Hal ini akan berimplikasi pada berbagai indikator keberhasilan usaha koperasi, dimana faktor keberhasilan usaha anggota harus menjadi salah satu indikator utama.
6. Keberadaan koperasi akan sangat ditentukan oleh kesesuaian faktor-faktor tersebut dengan karakteristik masyarakat atau anggotanya.
Jika dilihat dari kondisi sosial masyarakat Indonesia saat ini, maka dapat dihipotesakan bahwa koperasi dapat tumbuh, berkembang, dan sekaligus juga berperan dan bermanfaat bagi masyarakat yang tengah berkembang dari suatu tradisional dengan ikatan sosiologis yang kuat melalui hubungan emosional primer ke arah masyarakat yang lebih heterogen dan semakin terlibat dengan sistem pasar dan kapital dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya, atau yang juga dikenal dengan komunitas ‘bazar-ekonomi’. Artinya koperasi tidak diharapkan dapat sangat berkembang pada masyarakat yang masih sangat tradisional, subsisten, dan relatif ‘tertutup’ dari dinamika sistem pasar; atau juga pada komunitas yang telah menajdi sangat individualis, dan berorientasi kapital. Dengan perkataan lain, koperasi tidak diharapkan dapat berkembang optimal disemua bentuk komunitas.
Sebagai bagian dari identifikasi berbagai faktor fundamental tersebut maka perlu disadari bahwa pemenuhan faktor-faktor tersebut memang dapat bersifat ‘trade-off’ dengan pertimbangan kinerja jangka pendek suatu organisasi usaha konvensional. Proses yang dilakukan dalam pengembangan koperasi memang membutuhkan waktu yang lebih lama dengan berbagai faktor “non-bisnis” yang kuat pengaruhnya. Dengan demikian pemenuhan berbagai faktor fundamental tersebut dapat menyebabkan indikator kinerja lain, seperti pertumbuhan bisnis jangka pendek, harus dikorbankan demi untuk memperoleh kepentingan yang lebih mendasar dalam jangka panjang.
c. MENGEMBANGKAN KOPERASI DI INDONESIA: MULAI DARI APA YANG SUDAH ADA
Dalam kondisi sosial dan ekonomi yang sangat diwarnai oleh peranan dunia usaha, maka mau tidak mau peran dan juga kedudukan koperasi dalam masyarakat akan sangat ditentukan oleh perannya dalam kegiatan usaha (bisnis). Bahkan peran kegiatan usaha koperasi tersebut kemudian menjadi penentu bagi peran lain, seperti peran koperasi sebagai lembaga sosial. Isyu strategis pengembangan usaha koperasi dapat dipertajam untuk beberapa hal berikut :
1. Mengembangkan kegiatan usaha koperasi dengan mempertahankan falsafah dan prinsip koperasi.
Beberapa koperasi pada beberapa bidang usaha sebenarnya telah menunjukkan kinerja usaha yang sangat baik, bahkan telah mampu menjadi pelaku utama dalam bisnis yang bersangkutan. Misalnya, GKBI yang telah menjadi terbesar untuk usaha batik, Kopti yang telah menjadi terbesar untuk usaha tahu dan tempe, serta banyak KUD yang telah menjadi terbesar kecamatan wilayah kerjanya masing-masing. Pada koperasi-koperasi tersebut tantangannya adalah untuk dapat terus mengembangkan usahanya dengan tetap mempertahankan prinsip-prinsip perkoperasian Indonesia. Pada prakteknya, banyak koperasi yang setelah berkembang justru kehilangan jiwa koperasinya. Dominasi pengurus dalam melaksanakan kegiatan usaha dan koperasi yang membentuk PT (Perseroaan Terbatas) merupakan indikasi kekurang-mampuan koperasi mengembangkan usaha dengan tetap mempertahankan prinsip koperasi. Jika tidak diantisipasi kondisi ini pada gilirannya akan mengaburkan tujuan pengembangan koperasi itu sendiri.
2. Keterkaitan kegiatan koperasi dengan kegiatan pelayanan usaha umum.
Hal yang menonjol adalah dalam interaksi koperasi dengan bank. Sifat badan usaha koperasi dengan kepemilikan kolektif ternyata banyak tidak berkesesuaian (compatible) dengan berbagai ketentuan bank. Sehingga akhirnya ‘terpaksa’ dibuat kompromi dengan menjadikan individu (anggota atau pengurus) sebagai penerima layanan bank (contoh : kredit KKPA). Hal yang sama juga terjadi jika koperasi akan melakukan kontrak usaha dengan lembaga usaha lain. Kondisi ini berhubungan erat dengan aspek hukum koperasi yang tidak berkembang sepesat badan usaha perorangan. Disamping itu karakteristik koperasi tampaknya kurang terakomodasi dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang menyangkut badan usaha selain undang-undang tentang koperasi sendiri. Hal ini terlihat misalnya dalam peraturan perundangan tentang perbankan, perpajakan, dan sebagainya.
3. Mengatasi beberapa permasalahan teknis usaha bagi koperasi kecil untuk berkembang.
Koperasi (KUD) sayur di Pangalengan kebingunan pada saat ada permintaan untuk melakukan ekspor tomat ke Singapura: bagaimana mekanisme pembayarannya, bagaimana membuat kontrak yang tepat, dan sebagainya. Koperasi tersebut juga tidak tahu, atau memang karena tidak ada, dimana atau kepada siapa harus bertanya. Hal yang sama juga dihadapi oleh sebuah koperasi di Jogjakarta yang kebingungan mencari informasi mengenai teknologi pengemasan bagi produk makanan olahannya. Permasalahan teknis semacam ini telah semakin banyak dihadapi oleh koperasi, dan sangat dirasakan kebutuhan bagi ketersediaan layanan untuk mengantisipasi berbagai permasalahan tersebut.
4. Mengakomodasi keinginan pengusaha kecil untuk melakukan usaha atau mengatasi masalah usaha dengan membentuk koperasi.
Beberapa pengusaha kecil jamu di daerah Surakarta dan sekitarnya tengah menghadapi kesulitan bahan baku (ginseng) yang pasokannya dimonopoli oleh pengusaha besar. Para pengusaha tersebut juga masih harus bersaing dengan pabrik jamu besar untuk dapat memperoleh bahan baku tersebut. Mereka ingin berkoperasi tetapi tidak dengan pola koperasi yang sudah ditentukan oleh pemerintah. Hal yang sama juga dihadapi oleh pengusaha kecil besi-cor di Bandung untuk mendapatan bahan baku ‘inti-besi’-nya, atau untuk menghadapi pembeli (industri besar) yang sering mempermainkan persyaratan presisi produk yang dihasilkan. Contoh-contoh diatas memberi gambaran bahwa keinginan dan kebutuhan untuk membentuk koperasi cukup besar, asalkan memang mampu mengakomodasi keinginan dan kebutuhan para pengusaha tersebut. Kasus serupa cukup banyak terjadi pada berbagai bidang usaha lain di berbagai tempat.
5. Pengembangan kerjasama usaha antar koperasi.
Konsentrasi pengembangan usaha koperasi selama ini banyak ditujukan bagi koperasi sebagai satu perusahaan (badan usaha). Tantangan untuk membangun perekonomian yang kooperatif sesuai amanat konstitusi kiranya dapat dilakukan dengan mengembangan jaringan kerjasama dan keterkaitan usaha antar koperasi. Hal ini juga sebenarnya telah menjadi kebutuhan diantara banyak koperasi, karena banyak peluang usaha yang tidak dapat dipenuhi oleh koperasi secara individual. Jaringan kerjasama dan keterkaitan usaha antar koperasi, bukan hanya keterkaitan organisasi, potensial untuk dikembangkan antar koperasi primer serta antara primer dan sekunder. Perlu pula menjadi catatan bahwa di berbagai negara lain, koperasi telah kembali berkembang dan salah satu kunci keberhasilannya adalah spesialisasi kegiatan usaha koperasi dan kerjasama antar koperasi. Mengenai hubungan koperasi primer dan sekunder di Indonesia, saat ini banyak yang bersifat artifisial karena antara primer dan sekunder sering mengembangkan bisnis yang tidak berkaitan bahkan tidak jarang justru saling bersaing.
6. Peningkatan kemampuan usaha koperasi pada umumnya.
Kemampuan usaha koperasi : permodalan, pemasaran, dan manajemen; umumnya masih lemah. Telah cukup banyak usaha yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi hal tersebut, namun masih sering bersifat parsial, tidak kontinyu, bahkan tidak sesuai dengan kebutuhan. Pendampingan dalam suatu proses pemberdayaan yang alamiah dan untuk mengembangkan kemampuan dari dalam koperasi sendiri tampaknya lebih tepat dan dibutuhkan.
7. Peningkatan Citra Koperasi
Pengembangan kegiatan usaha koperasi tidak dapat dilepaskan dari citra koperasi di masyarakat. Harus diakui bahwa citra koperasi belum, atau sudah tidak, seperti yang diharapkan. Masyarakat umumnya memiliki kesan yang tidak selalu positif terhadap koperasi. Koperasi banyak diasosiasikan dengan organisasi usaha yang penuh dengan ketidak-jelasan, tidak profesional, Ketua Untung Dulu, justru mempersulit kegiatan usaha anggota (karena berbagai persyaratan), banyak mendapat campur tangan pemerintah, dan sebagainya. Di media massa, berika negatif tentang koperasi tiga kali lebih banyak dari pada berita positifnya (PSP-IPB, 1995); berita dari para pejabat dua kali lebih banyak dari berita yang bersumber langsung dari koperasi, padahal prestasi koperasi diberbagai daerah cukup banyak dan berarti. Citra koperasi tersebut pada gilirannya akan mempengaruhi hubungan koperasi dengan pelaku usaha lain, maupun perkembangan koperasi itu sendiri. Bahkan citra koperasi yang kurang ‘pas’ tersebut juga turut mempengaruhi pandangan mereka yang terlibat di koperasi, sehingga menggantungkan diri dan mencari peluang dalam hubungannya dengan kegiatan pemerintah justru dipandang sebagai hal yang wajar bahkan sebagai sesuatu yang ‘sudah seharusnya’ demikan. Memperbaiki dan meningkatkan citra koperasi secara umum merupakan salah satu tantangan yang harus segera mendapat perhatian.
8. Penyaluran Aspirasi Koperasi
Para pengusaha umumnya memiliki asosiasi pengusaha untuk dapat menyalurkan dan menyampaikan aspirasi usahanya, bahkan juga sekaligus sebagai wahana bagi pendekatan (lobby) politik dan meningkatkan keunggulan posisinya dalam berbagai kebijakan pemerintah. Asosiasi tersebut juga dapat dipergunakan untuk melakukan negosiasi usaha, wahana pengembangan kemampuan, bahkan dalam rangka mengembangkan hubungan internasional. Dalam hal ini asosiasi atau lembaga yang dapat menjadi wahana bagi penyaluran aspirasi koperasi relatif terbatas. Hubungan keorganisasian vertikal (primer-sekunder : unit-pusat-gabungan-induk koperasi) tampaknya belum dapat menampung berbagai keluhan atau keinginan anggota koperasi atau koperasi itu sendiri. Kelembagaan yang diadakan pemerintah untuk melayani koperasi juga acap kali tidak tepat sebagai tempat untuk menyalurkan aspirasi, karena sebagian aspirasi tersebut justru berhubungan dengan kepentingan pemerintah itu sendiri. Demikian pula dengan kelembagaan gerakan koperasi yang sekian lama kurang terdengar kiprahnya. Padahal dilihat dari jumlah dan kekuatan (ekonomi) yang dimilikinya maka anggota koperasi dan koperasi kiranya perlu diperhatikan berbagai kepentingannya.
Dr. Ir. Bayu Krisnamurthi : Direktur Pusat Studi Pembangunan (PSP) Institut Pertanian Bogor (IPB)
KOPERASI SEBAGAI STRATEGI PENGEMBANGAN EKONOMI PANCASILA
1. Wacana perjuangan
Perjuangan bangsa Indonesia bersama segenap komponen dan eksponen kekuatan nasional seluruh negeri tahap pertama melawan penjajah, yaitu “Mencapai Indonesia Merdeka” telah berhasil dengan gemilang yang ditandai dengan Proklamasi Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945. Bahkan telah dilengkapi pula dengan dasar negara ideologi luhur Pancasila dan konstitusi negara Undang-Undang Dasar 1945 sebagai platform pijakan perjuangan tahap kedua menuju cita-cita bangsa.
Bagi bangsa Indonesia proklamasi kemerdekaan Indonesia adalah merupakan “berkat rakhmat Allah” (Pembukaan UUD 1945 alinea ketiga) yang melekat menyertai perjuangan pergerakan Kemerdekaan Indonesia (Pembukaan UUD 1945 alinea kedua), sedang dalam batang tubuhnya ditegaskan “Negara berdasarkan atas Ke Tuhanan Yang Maha Esa” (Pasal 29 UUD 1945), yang artinya tatanan dan pelaksanaan kehidupan berbangsa dan bernegara didasarkan atas hukum dan nilai-nilai Ke Tuhanan Yang Maha Esa.
Dengan demikian maka Proklamasi juga merupakan tekad dan janji bangsa Indonesia kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk melaksanakan janjinya itu secara konsisten, murni dan konsekwen bersama segenap rakyat Indonesia di lingkungan dunia internasional dalam tingkat, harkat, martabat dan derajat yang sama dengan bangsa-bangsa lain.
Perjuangan bangsa tahap kedua telah berjalan selama hampir 58 tahun, namun hasilnya masih sangat mengecewakan bahkan terlihat semakin jauh dari gambaran cita-cita bangsa Indonesia (alinea 4 Pembukaan UUD 1945), yang terdiri atas 3 (tiga) pilar, yaitu :
a. Mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan pemerintahan yang bersih, berwibawa, stabil dan kuat agar mampu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,
b. Memajukan kesejahteraan umum, mencerdasakan kehidupan bangsa guna mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur,
c. Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Oleh karenanya diperlukan langkah pencermatan terhadap pengalaman masa lalu untuk introspeksi dan evaluasi berdasarkan platform tersebut diatas guna menemukan penyebab yang dianggap paling mendasar dari kegagalan perjuangan tahap kedua, kemudian secara induktif dan deduktif dicari berbagai alternatif pemecahannya sebagai upaya antisipatif dari segala penyebab kegagalan tersebut.
Selanjutnya berpijak pada platform tersebut disusunlah rencana baru perjuangan yang lebih realistis dan lebih terukur dalam ruang dan waktu yang tersedia secara kontekstual sesuai dengan hasil analisa situasi dan kondisi obyektif yang nyata serta menyusun strategi dan taktik perjuangan yang lebih relevan untuk tidak mengulangi kegagalan lagi.
2. Pengalaman Sejarah sejak Proklamasi 17 Agustus 1945 :
Mempelajari perjalanan sejarah kehidupan bangsa Indonesia sejak Proklamasi Kemerdekaan NKRI 17 Agustus 1945 hingga sekarang (1945 – 2003) tersimpul bahwa sebenarnya Pancasila dan UUD 1945 belum pernah dilaksanakan secara murni dan konsekuen sesuai maksud dan tujuan semula.
Tanggal 18 Agustus 1945 Undang-Undang Dasar NKRI disahkan dan berlaku bagi seluruh tanah air Indonesia, kemudian disusul pembentukan suatu Kabinet Presidensiil sesuai ketentuan UUD 1945 yang sudah disahkan itu. Tetapi pada tanggal 14 Nopember 1945 BP-KNIP (yang melakukan fungsi MPR sebelum MPR terbentuk) mengusulkan kepada Presiden agar Kabinet Presidensiil diganti dengan Kabinet Parlementer yang dipimpin seorang Perdana Menteri dan bertanggung jawab kepada DPR. Maka Kabinet Presidensiil tadi dibubarkan dan diganti Kabinet Parlementer (dengan Perdana Menteri Syahrir I), yang tidak sesuai dengan UUD 1945. Jadi UUD 1945 hanya berlaku selama 3 (tiga) bulan kurang 3 hari.
Bentuk Kabinet Parlementer ini berlangsung terus hingga tanggal 5 Juli 1959 saat Presiden mengumumkan Dekrit Presiden yang menyatakan kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 serta membubarkan Konstituante hasil Pemilu tahun 1955 setelah gagal menyusun Undang-Undang Dasar yang baru. Maka Presiden membentuk Kabinet Presidensiil yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden sesuai ketentuan UUD 1945. Kemudian Presiden memerintahkan Badan Perancang Pembangunan Nasional untuk menyusun suatu rencana Pembangunan Nasional Semesta Berencana (PNSB) dengan periode pembangunan berjangka waktu 8 tahunan (1961–1969) berdasarkan pidato kenegaraan Presiden tanggal 17 Agustus 1959.
Namun karena keterbatasan dana dan negara memprioritaskan perjuangan Tri Kora (1962) untuk merebut kembali Irian Barat dan mengembalikan kepangkuan wilayah Republik Indonesia dari kekuasaan Belanda, maka terpaksa PNSB belum dapat dilaksanakan dengan baik.
Pada tahun 1965 terjadi peristiwa pemberontakan G30S (Gerakan 30 September 1965) yang dipimpin oleh PKI untuk merebut kekuasaan negara Republik Indonesia. Dalam waktu singkat ABRI dapat mengatasi pemberontakan tersebut.
Tanggal 11 Maret 1966 Presiden menerbitkan Surat Perintah (terkenal dengan istilah Super Semar) kepada Letnan Jenderal Suharto selaku Pangkostrad untuk mengambil langkah-langkah pengamanan untuk menyelamatkan negara. Tetapi ternyata Super Semar tersebut dimanfaatkan untuk mengambil alih kekuasaan Presiden dengan dukungan MPRS.
Kemudian disusul dengan dibentuknya Pemerintahan Orde Baru dibawah pimipinan Jenderal Suharto yang menjanjikan untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Ternyata secara operasional sejak awal sudah menyimpang dari jiwa Pancasila dan UUD 1945, terbukti dengan terbitnya UU No.1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing yang jelas-jelas bertujuan menciptakan iklim kondusif bagi berkembangnya sistem ekonomi liberal kapitalistik serta diterapkannya sistem ekonomi trickle down effect yang menguntungkan fihak konglomerat dan tidak berpihak kepada kepentingan dan partisipasi rakyat yang nota bene adalah pemegang kedaulatan negara.
Dari pengalaman selama 58 tahun kemerdekaan Indonesia sejak 17 Agustus 1945, lebih dari 50 tahun telah diterapkan sistem demokrasi liberal yang menyimpang dari platform Amanat Proklamasi (Pancasila dan UUD 1945), yang membuktikan tidak cocok bagi kehidupan bangsa dan negara Indonesia dan telah mengakibatkan terjadinya degradasi hampir di seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Oleh karenanya secara arif dan bijaksana para pemimpin dituntut untuk segera sadar kembali pada platform perjuangan dan pembangunan negara Indonesia tersebut diatas, yaitu Amanat Proklamasi Kemerdekaan NKRI 17 Agustus 1945.
3. Pemahaman Amanat Proklamasi 1945
Dari pengalaman sejarah tersebut diatas terlihat bahwa Pancasila dan UUD 1945 dapat ditafsirkan sesuai dengan kepentingan dan keinginan rezim yang sedang berkuasa.
Oleh karenanya perlu diupayakan kesepakatan nasional untuk penafsiran secara obyektif dan baku dari platform Amanat Proklamasi 45 sedemikan sehingga dapat dihindari tafsiran yang menyimpang dan bahkan kontradiktif terhadap nilai-nilai dasar dari platform tersebut.
Bagi bangsa Indonesia yang beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa, kenyataan sejarah adalah kehendak Tuhan. Begitu pula Proklamasi, Pancasila dan UUD 1945 adalah kenyataan sejarah yang merupakan pertanda zaman bagi bangsa Indonesia yang menunjukkan bahwa nasib bangsa Indonesia akan berubah dan berbalik dari sengsara akibat imperalisme dan feodalisme menjadi bahagia berdasar cita-cita luhurnya.
Proklamasi Kemerdekaan NKRI 17 Agustus 1945 adalah merupakan titik balik sejarah, dari status terjajah dan terhinakan berbalik menjadi status merdeka dan termuliakan. Hanya perlu diingat bahwa proses pembalikan status tersebut bukan terjadi dengan sendirinya, melainkan harus diperjuangkan dengan sungguh-sungguh dan kerja keras.
Pernyataan “kemerdekaan” nya dalam kalimat alinea pertama Proklamasi mempunyai makna hakiki yang bersumber pada nilai-nilai Pancasila baik sebagai pandangan hidup, sebagai filsafat, sebagai dasar negara, sebagai ideologi maupun sebagai suatu sistem kehidupan umat manusia.
Pernyataan pemindahan “kekuasaan“ dalam kalimat alinea kedua Proklamasi mempunyai makna pengalihan, pemberian dan pembagian kekuasaan yang diatur dalam UUD 1945 antara negara dan rakyat sebagai pemegang kedaulatan ( pasal 1 ayat (2) ). Pembagian kekuasaan antara negara dan rakyat yang diatur dalam pasal-pasal dan ayat-ayat dari UUD 1945 menunjukkan bahwa masing-masing memperoleh kekuasaan sebesar 70 %. Dalam gambar grafis superposisi dari kedua kekuasaan menghasilkan tiga bentuk pengelolaan kekuasaan, yaitu 30 % murni pengelolaan kekuasaan negara, 30 % murni pnegelolaan kekuasaan rakyat (atau hak hidup rakyat), dan 40 % pengelolaan bersama (sharing dari negara dan rakyat) dalam bentuk koperasi.
Dalam aspek ekonomi pengelolaan bersama merupakan pengelolaan koperasi berskala nasional yang modalnya dihimpun bersama antara rakyat dan negara.
4. Ekonomi Pancasila (Ekonomi Indonesia dengan moral Pancasila) :
Dalam hal Pancasila sebagai suatu pandangan hidup maka sila-silanya merupakan sudut-sudut pandang atau aspek-aspek kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia.
1). Ketuhanan Yang Maha Esa; merupakan aspek spiritual,
2). Kemanusiaan yang adil dan beradab; merupakan aspek kultural,
3). Persatuan Indonesia; merupakan aspek politikal,
4). Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan; merupakan aspek sosial,
5). Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia; merupakan aspek ekonomikal.
Kelima sila tersebut tidak dapat berdiri sendiri-sendiri melainkan tersusun secara hirarkis dan berjenjang yaitu sila pertama meliputi sila kedua, sila kedua meliputi sila ketiga, sila ketiga meliputi sila keempat dan sila keempat meliputi sila kelima. Atau sebaliknya dapat dikatakan sila kelima merupakan derivasi sila keempat, sila keempat merupakan derivasi sila ketiga, sila ketiga merupakan derivasi sila kedua dan sila kedua merupakan derivasi sila pertama (Prof. Dr. Notonegoro).
Dengan demikian maka ekonomi Pancasila telah mengandung seluruh nilai-nilai moral Pancasila dan mengacu pada seluruh aspek kehidupan sila-sila dari Pancasila.
Sesuai gambar grafis superposisi pembagian kekuasaan antara negara dan rakyat tersebut diatas, maka ekonomi Pancasila mewujud dan terdiri atas 3 (tiga) pilar sub sistem, yaitu :
(1). pilar ekonomi negara yang berfungsi untuk mendukung penyelenggaraan tugas negara dengan pemerintahan yang bersih dan berwibawa, (negara kuat), dengan tugas pokok antara lain untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
(2). pilar ekonomi rakyat yang berbentuk koperasi (sharing antara negara dan rakyat) dan berfungsi untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur, (home front kuat), dengan tugas pokok mewujudkan kehidupan layak bagi seluruh anggotanya.
(3). pilar ekonomi swasta yang berfungsi untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia (battle front kuat), dengan tugas pokok mewujudkan kemajuan usaha swasta yang memiliki daya kompetisi tinggi di dunia internasional.
Pengertian kompetisi dalam moral Pancasila bukan dan tidak sama dengan free fight competition a la barat yang di dalamnya mengandung cara-cara yang boleh merugikan fihak lain (tujuan menghalalkan cara).
Hubungan dagang dalam sistem ekonomi Pancasila harus tetap dalam kerangka untuk menjalin tali silaturahmi yang selalu bernuansa saling kasih sayang dan saling menguntungkan, menghindarkan kemuspraan (kesia-siaan).
Pola pengelolaan dari masing-masing pilar ekonomi tersebut berbeda dan membutuhkan kemampuan para pelaksana secara profesional agar hasilnya menjadi optimal sesuai dengan kebutuhan, tetapi tetap mendasarkan kerjanya pada prinsip efisiensi, efektifitas dan produktivitas kerja pada masing-masing pilar. Masing-masing pilar mempunyai pangsa pasar sendiri-sendiri meskipun tidak tertutup kemungkinan untuk saling kerjasama dan saling bantu tanpa merugikan salah satu fihak.
5. Koperasi Indonesia :
Berbeda dengan koperasi pada umumnya, maka koperasi yang dimaksud oleh Pancasila dan UUD 45, sesuai gambar grafis superposisi tersebut diatas adalah merupakan lembaga kehidupan rakyat Indonesia untuk menjamin hak hidupnya memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan sehingga mewujudkan suatu Masyarakat adil dan makmur bagi seluruh rakyat Indonesia, sebagaimana dimaksud oleh Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yang sepenuhnya merupakan hak setiap warga negara.
Pada dasarnya rakyat Indonesia memang bukan “homo ekonomikus” melainkan lebih bersifat “homo societas”, lebih mementingkan hubungan antar manusia ketimbang kepentingan materi/ekonomi (Jawa: Tuna sathak bathi sanak), contoh : membangun rumah penduduk dengan sistim gotong-royong (sambatan). Akibatnya di dalam sistem ekonomi liberal orang asli Indonesia menjadi termarginalkan tidak ikut dalam gerak operasional mainstream sistem ekonomi liberal yang menguasai sumber kesejahteraan ekonomi sehingga sampai kapanpun rakyat Indonesia tidak akan mengenyam kesejahteraan.
Oleh karena itu sistem ekonomi yang cocok bagi masyarakat Indonesia adalah sistem ekonomi tertutup yang bersifat kekeluargaan atau ekonomi rumah tangga, yaitu bangun koperasi yang menguasai seluruh proses ekonomi dari hulu hingga hilir, dari anggota, oleh anggota dan untuk anggota, sebagaimana dimaksud oleh Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 beserta penjelasannya.
Dengan demikian maka koperasi betul-betul menguasai sumber kesejahteraan/rejeki dari sistem ekonomi itu dan dapat mendistribusikannya secara adil dan merata kepada seluruh anggotanya tanpa kecuali, tetapi sangat dipersyaratkan bahwa sistem pengeloaannya haruslah benar dan tertib tanpa kecurangan.
Sebagai contoh pengalaman atas pengelolaan sebuah koperasi yang benar dan tertib adalah Kosudgama (Koperasi Serba Usaha Dosen Gadjah Mada).
Tabel 1. Keanggotaan Kosudgama 1998 – 2002
Tahun
Anggota Biasa
Anggota Luar Biasa (LB)
Jumlah
1998
883 (87%)
127 (13%)
1010 (100%)
1999
1016 (69%)
455 (31%)
1471 (100%)
2000
1170 (42%)
1624 (58%)
2794 (100%)
2001
2002
1285 (32%)
1.371 (26%)
2778 (68%)
3.961 (74%)
4063 (100%)
5.332 (100%)
Sumber: Kosudgama Laporan Tahunan 2001-2002, Periode Kepengurusan 2000-2002
Tabel 2. Pinjaman Kepada Anggota (juta rupiah)
Tahun
Pinjaman
Jasa
Jumlah Peminjam
Rata-rata Pinjaman
SHU
1998
1.036,75
412,43
422
2,46
130,97
1999
2.872,19
1.252,30
823
3,49
728,94
2000
6.498,70
3.159,19
1.514
4,29
2.999,32
2001
2002
7.311,88
11.846.542
3.513,19
3.541.490
1.478
1.936
4,95
5,97
3.043,55
1.480.10
Sumber: Laporan Tahunan Kosudgama 2001- 2002
Dari pengalaman KOSUDGAMA dapat ditarik pelajaran bahwa:
Pertama : kesungguhan kerja pengurus dan staf serta kesetiaan mereka pada prinsip-prinsip koperasi, yaitu bekerjasama dengan ikhlas dan jujur demi kepentingan anggota.
Kedua : KOSUDGAMA adalah koperasi kumpulan orang, bukan organisasi yang terutama dibentuk untuk menghimpun modal, jadi memenuhi prinsip-prinsip dasar koperasi.
Dengan demikian sebagai salah satu pilar dalam sistem ekonomi Pancasila koperasi Indonesia merupakan sakaguru perekonomian rakyat yang paling strategis untuk menjamin terwujudnya masyarakat adil dan makmur.
Gambaran lebih konkrit dari wujud Masyarakat Indonesia yang adil dan makmur adalah apabila setiap anggota keluarga memperoleh penghasilan yang cukup untuk membiayai kehidupan keluarga dengan cukup dalam memenuhi 5 jenis kebutuhan dasar hidupnya, yaitu di bidang 1.pangan (cukup gizi), 2.pakaian (pantas, sehat, sopan), 3.perumahan (sehat, aman, nyaman), 4.kesehatan (fisik, mental, lingkungan), dan 5.pendidikan (gratis selama 9 – 15 tahun pertama).
Pengelolaan untuk memenuhi kelima jenis kebutuhan dasar anggota koperasi itu dapat diatur untuk memenuhi 5 jenis kebutuhan pokok yang lain, yaitu : 1.penyediaan lapangan kerja, 2.jaminan sosial, 3.transportasi dan komunikasi, 4.informasi dan pengetahuan umum, 5.pengembangan pribadi. Peningkatan kebutuhan-kebutuhan lain ini akan dapat semakin meningkatkan pendapatan keluarga dan sekaligus untuk memanfaatkan potensi kinerja yang dimiliki tiap anggota koperasi yang hingga kini masih tersia-siakan karena tidak terprogram.
Andil dari negara adalah hak guna pemanfaatan kekayaan alam baik di darat maupun di laut yang dibutuhkan oleh koperasi dalam rangka melaksanakan tugasnya untuk memenuhi kelima kebutuhan dasar hidup maupun kelima kebutuhan pokok para anggotanya, dan berupa fasilitas kemudahan bagi terselenggaranya kerja koperasi antara lain modal dana baik hibah maupun pinjaman lunak.
6. Pengelolaan Koperasi Indonesia :
Sebagaimana disebutkan di depan bahwa koperasi Indonesia sebagai lembaga ekonomi yang mampu mewujudkan Masyarakat Indonesia yang adil dan makmur apabila dikelola secara benar dan tertib. Oleh karena itu perlu diberikan arah dan pedoman yang benar agar selalu dapat dikendalikan dan diluruskan setiap kali terjadi penyimpangan.
Sebagai arahan yang benar antara lain dapat dikutipkan beberapa Kesimpulan dan Penutup” dari penulisan “Sistem Ekonomi Indonesia dengan moral Pancasila” (bab 3) dalam buku EKONOMI PANCASILA (Landasan Pikir & Misi Pendirian) PUSTEP UGM sebagai berikut :
a. Reformasi ekonomi mempunyai tujuan kembar yaitu meningkatkan efisiensi ekonomi nasional dan sekaligus menghapus berbagai ketidakadilan ekonomi dengan tujuan akhir terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
b. Reformasi ekonomi Indonesia adalah pembaruan berbagai aturan main tentang hubungan-hubungan ekonomi dalam masyarakat. Aturan-aturan main ini secara keseluruhan dibakukan dalam Sistem Ekonomi Pancasila.
c. Dalam Sistem Ekonomi Pancasila pembangunan nasional merupakan pengamalan Pancsila yang akan memperkuat jati diri dan kepribadian manusia, masyarakat dan bangsa Indonesia.
d. Ideologi Pancasila yang tercantum dalam Pembukaan (Mukadimah) UUD 1945, merupakan pegangan dan landasan strategi pembangunan nasional. Namun demikian strategi pembangunan nasional yang dilandasi ideologi nasional Pancasila belum pernah benar-benar diterima dan dilaksanakan secara ikhlas oleh seluruh warga bangsa.
e. Visi masa depan yang jernih hanya dapat diproyeksikan dengan menggunakan ideologi Pancasila yang setiap pelakunya berusaha mewujudkannya dalam tindakan konkrit kehidupan sehari-hari terutama dengan menunjuk pada ajaran-ajaran moral agama.
Dalam masyarakat Indonesia yang adil dan makmur seperti yang dicita-citakan, setiap warga negara berhak memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan (pasal 27 ayat 2 UUD 1945), tanpa kecuali. Pengertian Ini mengandung konsekuensi bahwa segenap tenaga kerja Indonesia harus habis terserap dalam sistem ekonomi Pancasila yang terdiri atas tiga pilar ekonomi tersebut.
Dalam pilar ekonomi negara unsur tenaga kerjanya tentu selektif dan terbatas. Begitu pula dalam pilar ekonomi swasta kebutuhan tenaga kerjanya tentu juga selektif dan terbatas karena harus mampu bekerja secara efisien, efektif dan produktif guna mencapai daya saing yang cukup tinggi dalam dunia perdagangan dan usahanya.
Apabila dalam kedua pilar tersebut diatas kebutuhan tenaga kerjanya terbatas maka dalam pilar ekonomi rakyat atau koperasi penyerapan tenaga kerjanya tidak boleh terbatas karena tidak boleh terjadi adanya tenaga kerja yang tidak mendapat pekerjaan. Sebagai konsekuensinya maka segenap warga negara harus menjadi anggota koperasi Indonesia.
Dengan demikian maka pola pengelolaan koperasi Indonesia dituntut untuk mampu menciptakan suatu sistem manajemen sedemikian sehingga tujuan tersebut dapat tercapai. Untuk keperluan itu dibutuhkan bantuan dari Lembaga Perguruan Tinggi yang terkait dengan masalah tersebut.
7. Penutup :
a. Kesimpulan :
Dari uraian singkat tersebut diatas secara garis besar dapat disimpulkan sebagai berikut :
1). Penyelenggaraan koperasi yang terjadi hingga sekarang di Indonesia belum sesuai dengan maksud Amanat 1945, yaitu Ekonomi Pancasila, oleh karenanya belum mampu mewujudkan masyarakat adil dan makmur.
2). Sistem koperasi Indonesia yang mengacu pada ketentuan-ketentuan Amanat 1945 diyakini dapat mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur, karena semua unsur-unsur yang diperlukan bagi penyelenggaraannya sudah tersedia di dalam negeri, tinggal sistem pengelolaan beserta aturan mainnya.
3). Diperlukan pemikiran-pemikiran baru dan konsep-konsep baru yang mengacu kepada ketentuan-ketentuan dasar sebagaimana dimaksud dalam pengertian Amanat 1945 sehingga rakyat/setiap warga negara dapat dijamin untuk memperoleh hak-haknya melalui keanggotaannya dalam koperasi Indonesia.
4). Diperlukan persiapan yang matang bagi terselenggaranya sistem koperasi Indonesia melalui studi induktif logis maupun deduktif baik formal maupun tradisional kultural.
5). Diperlukan pengertian dan goodwill dari Pemerintah dan semua fihak untuk mengerti dan mendukung serta berpartisipasi aktif dalam usaha pengembangan konsep baru ekonomi Pancasila agar dapat segera mengatasi krisis multi demensional yang terjadi selama ini.
Ir. Hariyono –
Perjuangan bangsa Indonesia bersama segenap komponen dan eksponen kekuatan nasional seluruh negeri tahap pertama melawan penjajah, yaitu “Mencapai Indonesia Merdeka” telah berhasil dengan gemilang yang ditandai dengan Proklamasi Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945. Bahkan telah dilengkapi pula dengan dasar negara ideologi luhur Pancasila dan konstitusi negara Undang-Undang Dasar 1945 sebagai platform pijakan perjuangan tahap kedua menuju cita-cita bangsa.
Bagi bangsa Indonesia proklamasi kemerdekaan Indonesia adalah merupakan “berkat rakhmat Allah” (Pembukaan UUD 1945 alinea ketiga) yang melekat menyertai perjuangan pergerakan Kemerdekaan Indonesia (Pembukaan UUD 1945 alinea kedua), sedang dalam batang tubuhnya ditegaskan “Negara berdasarkan atas Ke Tuhanan Yang Maha Esa” (Pasal 29 UUD 1945), yang artinya tatanan dan pelaksanaan kehidupan berbangsa dan bernegara didasarkan atas hukum dan nilai-nilai Ke Tuhanan Yang Maha Esa.
Dengan demikian maka Proklamasi juga merupakan tekad dan janji bangsa Indonesia kepada Tuhan Yang Maha Esa untuk melaksanakan janjinya itu secara konsisten, murni dan konsekwen bersama segenap rakyat Indonesia di lingkungan dunia internasional dalam tingkat, harkat, martabat dan derajat yang sama dengan bangsa-bangsa lain.
Perjuangan bangsa tahap kedua telah berjalan selama hampir 58 tahun, namun hasilnya masih sangat mengecewakan bahkan terlihat semakin jauh dari gambaran cita-cita bangsa Indonesia (alinea 4 Pembukaan UUD 1945), yang terdiri atas 3 (tiga) pilar, yaitu :
a. Mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan pemerintahan yang bersih, berwibawa, stabil dan kuat agar mampu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,
b. Memajukan kesejahteraan umum, mencerdasakan kehidupan bangsa guna mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur,
c. Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Oleh karenanya diperlukan langkah pencermatan terhadap pengalaman masa lalu untuk introspeksi dan evaluasi berdasarkan platform tersebut diatas guna menemukan penyebab yang dianggap paling mendasar dari kegagalan perjuangan tahap kedua, kemudian secara induktif dan deduktif dicari berbagai alternatif pemecahannya sebagai upaya antisipatif dari segala penyebab kegagalan tersebut.
Selanjutnya berpijak pada platform tersebut disusunlah rencana baru perjuangan yang lebih realistis dan lebih terukur dalam ruang dan waktu yang tersedia secara kontekstual sesuai dengan hasil analisa situasi dan kondisi obyektif yang nyata serta menyusun strategi dan taktik perjuangan yang lebih relevan untuk tidak mengulangi kegagalan lagi.
2. Pengalaman Sejarah sejak Proklamasi 17 Agustus 1945 :
Mempelajari perjalanan sejarah kehidupan bangsa Indonesia sejak Proklamasi Kemerdekaan NKRI 17 Agustus 1945 hingga sekarang (1945 – 2003) tersimpul bahwa sebenarnya Pancasila dan UUD 1945 belum pernah dilaksanakan secara murni dan konsekuen sesuai maksud dan tujuan semula.
Tanggal 18 Agustus 1945 Undang-Undang Dasar NKRI disahkan dan berlaku bagi seluruh tanah air Indonesia, kemudian disusul pembentukan suatu Kabinet Presidensiil sesuai ketentuan UUD 1945 yang sudah disahkan itu. Tetapi pada tanggal 14 Nopember 1945 BP-KNIP (yang melakukan fungsi MPR sebelum MPR terbentuk) mengusulkan kepada Presiden agar Kabinet Presidensiil diganti dengan Kabinet Parlementer yang dipimpin seorang Perdana Menteri dan bertanggung jawab kepada DPR. Maka Kabinet Presidensiil tadi dibubarkan dan diganti Kabinet Parlementer (dengan Perdana Menteri Syahrir I), yang tidak sesuai dengan UUD 1945. Jadi UUD 1945 hanya berlaku selama 3 (tiga) bulan kurang 3 hari.
Bentuk Kabinet Parlementer ini berlangsung terus hingga tanggal 5 Juli 1959 saat Presiden mengumumkan Dekrit Presiden yang menyatakan kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 serta membubarkan Konstituante hasil Pemilu tahun 1955 setelah gagal menyusun Undang-Undang Dasar yang baru. Maka Presiden membentuk Kabinet Presidensiil yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden sesuai ketentuan UUD 1945. Kemudian Presiden memerintahkan Badan Perancang Pembangunan Nasional untuk menyusun suatu rencana Pembangunan Nasional Semesta Berencana (PNSB) dengan periode pembangunan berjangka waktu 8 tahunan (1961–1969) berdasarkan pidato kenegaraan Presiden tanggal 17 Agustus 1959.
Namun karena keterbatasan dana dan negara memprioritaskan perjuangan Tri Kora (1962) untuk merebut kembali Irian Barat dan mengembalikan kepangkuan wilayah Republik Indonesia dari kekuasaan Belanda, maka terpaksa PNSB belum dapat dilaksanakan dengan baik.
Pada tahun 1965 terjadi peristiwa pemberontakan G30S (Gerakan 30 September 1965) yang dipimpin oleh PKI untuk merebut kekuasaan negara Republik Indonesia. Dalam waktu singkat ABRI dapat mengatasi pemberontakan tersebut.
Tanggal 11 Maret 1966 Presiden menerbitkan Surat Perintah (terkenal dengan istilah Super Semar) kepada Letnan Jenderal Suharto selaku Pangkostrad untuk mengambil langkah-langkah pengamanan untuk menyelamatkan negara. Tetapi ternyata Super Semar tersebut dimanfaatkan untuk mengambil alih kekuasaan Presiden dengan dukungan MPRS.
Kemudian disusul dengan dibentuknya Pemerintahan Orde Baru dibawah pimipinan Jenderal Suharto yang menjanjikan untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Ternyata secara operasional sejak awal sudah menyimpang dari jiwa Pancasila dan UUD 1945, terbukti dengan terbitnya UU No.1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing yang jelas-jelas bertujuan menciptakan iklim kondusif bagi berkembangnya sistem ekonomi liberal kapitalistik serta diterapkannya sistem ekonomi trickle down effect yang menguntungkan fihak konglomerat dan tidak berpihak kepada kepentingan dan partisipasi rakyat yang nota bene adalah pemegang kedaulatan negara.
Dari pengalaman selama 58 tahun kemerdekaan Indonesia sejak 17 Agustus 1945, lebih dari 50 tahun telah diterapkan sistem demokrasi liberal yang menyimpang dari platform Amanat Proklamasi (Pancasila dan UUD 1945), yang membuktikan tidak cocok bagi kehidupan bangsa dan negara Indonesia dan telah mengakibatkan terjadinya degradasi hampir di seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Oleh karenanya secara arif dan bijaksana para pemimpin dituntut untuk segera sadar kembali pada platform perjuangan dan pembangunan negara Indonesia tersebut diatas, yaitu Amanat Proklamasi Kemerdekaan NKRI 17 Agustus 1945.
3. Pemahaman Amanat Proklamasi 1945
Dari pengalaman sejarah tersebut diatas terlihat bahwa Pancasila dan UUD 1945 dapat ditafsirkan sesuai dengan kepentingan dan keinginan rezim yang sedang berkuasa.
Oleh karenanya perlu diupayakan kesepakatan nasional untuk penafsiran secara obyektif dan baku dari platform Amanat Proklamasi 45 sedemikan sehingga dapat dihindari tafsiran yang menyimpang dan bahkan kontradiktif terhadap nilai-nilai dasar dari platform tersebut.
Bagi bangsa Indonesia yang beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa, kenyataan sejarah adalah kehendak Tuhan. Begitu pula Proklamasi, Pancasila dan UUD 1945 adalah kenyataan sejarah yang merupakan pertanda zaman bagi bangsa Indonesia yang menunjukkan bahwa nasib bangsa Indonesia akan berubah dan berbalik dari sengsara akibat imperalisme dan feodalisme menjadi bahagia berdasar cita-cita luhurnya.
Proklamasi Kemerdekaan NKRI 17 Agustus 1945 adalah merupakan titik balik sejarah, dari status terjajah dan terhinakan berbalik menjadi status merdeka dan termuliakan. Hanya perlu diingat bahwa proses pembalikan status tersebut bukan terjadi dengan sendirinya, melainkan harus diperjuangkan dengan sungguh-sungguh dan kerja keras.
Pernyataan “kemerdekaan” nya dalam kalimat alinea pertama Proklamasi mempunyai makna hakiki yang bersumber pada nilai-nilai Pancasila baik sebagai pandangan hidup, sebagai filsafat, sebagai dasar negara, sebagai ideologi maupun sebagai suatu sistem kehidupan umat manusia.
Pernyataan pemindahan “kekuasaan“ dalam kalimat alinea kedua Proklamasi mempunyai makna pengalihan, pemberian dan pembagian kekuasaan yang diatur dalam UUD 1945 antara negara dan rakyat sebagai pemegang kedaulatan ( pasal 1 ayat (2) ). Pembagian kekuasaan antara negara dan rakyat yang diatur dalam pasal-pasal dan ayat-ayat dari UUD 1945 menunjukkan bahwa masing-masing memperoleh kekuasaan sebesar 70 %. Dalam gambar grafis superposisi dari kedua kekuasaan menghasilkan tiga bentuk pengelolaan kekuasaan, yaitu 30 % murni pengelolaan kekuasaan negara, 30 % murni pnegelolaan kekuasaan rakyat (atau hak hidup rakyat), dan 40 % pengelolaan bersama (sharing dari negara dan rakyat) dalam bentuk koperasi.
Dalam aspek ekonomi pengelolaan bersama merupakan pengelolaan koperasi berskala nasional yang modalnya dihimpun bersama antara rakyat dan negara.
4. Ekonomi Pancasila (Ekonomi Indonesia dengan moral Pancasila) :
Dalam hal Pancasila sebagai suatu pandangan hidup maka sila-silanya merupakan sudut-sudut pandang atau aspek-aspek kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia.
1). Ketuhanan Yang Maha Esa; merupakan aspek spiritual,
2). Kemanusiaan yang adil dan beradab; merupakan aspek kultural,
3). Persatuan Indonesia; merupakan aspek politikal,
4). Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan; merupakan aspek sosial,
5). Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia; merupakan aspek ekonomikal.
Kelima sila tersebut tidak dapat berdiri sendiri-sendiri melainkan tersusun secara hirarkis dan berjenjang yaitu sila pertama meliputi sila kedua, sila kedua meliputi sila ketiga, sila ketiga meliputi sila keempat dan sila keempat meliputi sila kelima. Atau sebaliknya dapat dikatakan sila kelima merupakan derivasi sila keempat, sila keempat merupakan derivasi sila ketiga, sila ketiga merupakan derivasi sila kedua dan sila kedua merupakan derivasi sila pertama (Prof. Dr. Notonegoro).
Dengan demikian maka ekonomi Pancasila telah mengandung seluruh nilai-nilai moral Pancasila dan mengacu pada seluruh aspek kehidupan sila-sila dari Pancasila.
Sesuai gambar grafis superposisi pembagian kekuasaan antara negara dan rakyat tersebut diatas, maka ekonomi Pancasila mewujud dan terdiri atas 3 (tiga) pilar sub sistem, yaitu :
(1). pilar ekonomi negara yang berfungsi untuk mendukung penyelenggaraan tugas negara dengan pemerintahan yang bersih dan berwibawa, (negara kuat), dengan tugas pokok antara lain untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
(2). pilar ekonomi rakyat yang berbentuk koperasi (sharing antara negara dan rakyat) dan berfungsi untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur, (home front kuat), dengan tugas pokok mewujudkan kehidupan layak bagi seluruh anggotanya.
(3). pilar ekonomi swasta yang berfungsi untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia (battle front kuat), dengan tugas pokok mewujudkan kemajuan usaha swasta yang memiliki daya kompetisi tinggi di dunia internasional.
Pengertian kompetisi dalam moral Pancasila bukan dan tidak sama dengan free fight competition a la barat yang di dalamnya mengandung cara-cara yang boleh merugikan fihak lain (tujuan menghalalkan cara).
Hubungan dagang dalam sistem ekonomi Pancasila harus tetap dalam kerangka untuk menjalin tali silaturahmi yang selalu bernuansa saling kasih sayang dan saling menguntungkan, menghindarkan kemuspraan (kesia-siaan).
Pola pengelolaan dari masing-masing pilar ekonomi tersebut berbeda dan membutuhkan kemampuan para pelaksana secara profesional agar hasilnya menjadi optimal sesuai dengan kebutuhan, tetapi tetap mendasarkan kerjanya pada prinsip efisiensi, efektifitas dan produktivitas kerja pada masing-masing pilar. Masing-masing pilar mempunyai pangsa pasar sendiri-sendiri meskipun tidak tertutup kemungkinan untuk saling kerjasama dan saling bantu tanpa merugikan salah satu fihak.
5. Koperasi Indonesia :
Berbeda dengan koperasi pada umumnya, maka koperasi yang dimaksud oleh Pancasila dan UUD 45, sesuai gambar grafis superposisi tersebut diatas adalah merupakan lembaga kehidupan rakyat Indonesia untuk menjamin hak hidupnya memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan sehingga mewujudkan suatu Masyarakat adil dan makmur bagi seluruh rakyat Indonesia, sebagaimana dimaksud oleh Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yang sepenuhnya merupakan hak setiap warga negara.
Pada dasarnya rakyat Indonesia memang bukan “homo ekonomikus” melainkan lebih bersifat “homo societas”, lebih mementingkan hubungan antar manusia ketimbang kepentingan materi/ekonomi (Jawa: Tuna sathak bathi sanak), contoh : membangun rumah penduduk dengan sistim gotong-royong (sambatan). Akibatnya di dalam sistem ekonomi liberal orang asli Indonesia menjadi termarginalkan tidak ikut dalam gerak operasional mainstream sistem ekonomi liberal yang menguasai sumber kesejahteraan ekonomi sehingga sampai kapanpun rakyat Indonesia tidak akan mengenyam kesejahteraan.
Oleh karena itu sistem ekonomi yang cocok bagi masyarakat Indonesia adalah sistem ekonomi tertutup yang bersifat kekeluargaan atau ekonomi rumah tangga, yaitu bangun koperasi yang menguasai seluruh proses ekonomi dari hulu hingga hilir, dari anggota, oleh anggota dan untuk anggota, sebagaimana dimaksud oleh Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 beserta penjelasannya.
Dengan demikian maka koperasi betul-betul menguasai sumber kesejahteraan/rejeki dari sistem ekonomi itu dan dapat mendistribusikannya secara adil dan merata kepada seluruh anggotanya tanpa kecuali, tetapi sangat dipersyaratkan bahwa sistem pengeloaannya haruslah benar dan tertib tanpa kecurangan.
Sebagai contoh pengalaman atas pengelolaan sebuah koperasi yang benar dan tertib adalah Kosudgama (Koperasi Serba Usaha Dosen Gadjah Mada).
Tabel 1. Keanggotaan Kosudgama 1998 – 2002
Tahun
Anggota Biasa
Anggota Luar Biasa (LB)
Jumlah
1998
883 (87%)
127 (13%)
1010 (100%)
1999
1016 (69%)
455 (31%)
1471 (100%)
2000
1170 (42%)
1624 (58%)
2794 (100%)
2001
2002
1285 (32%)
1.371 (26%)
2778 (68%)
3.961 (74%)
4063 (100%)
5.332 (100%)
Sumber: Kosudgama Laporan Tahunan 2001-2002, Periode Kepengurusan 2000-2002
Tabel 2. Pinjaman Kepada Anggota (juta rupiah)
Tahun
Pinjaman
Jasa
Jumlah Peminjam
Rata-rata Pinjaman
SHU
1998
1.036,75
412,43
422
2,46
130,97
1999
2.872,19
1.252,30
823
3,49
728,94
2000
6.498,70
3.159,19
1.514
4,29
2.999,32
2001
2002
7.311,88
11.846.542
3.513,19
3.541.490
1.478
1.936
4,95
5,97
3.043,55
1.480.10
Sumber: Laporan Tahunan Kosudgama 2001- 2002
Dari pengalaman KOSUDGAMA dapat ditarik pelajaran bahwa:
Pertama : kesungguhan kerja pengurus dan staf serta kesetiaan mereka pada prinsip-prinsip koperasi, yaitu bekerjasama dengan ikhlas dan jujur demi kepentingan anggota.
Kedua : KOSUDGAMA adalah koperasi kumpulan orang, bukan organisasi yang terutama dibentuk untuk menghimpun modal, jadi memenuhi prinsip-prinsip dasar koperasi.
Dengan demikian sebagai salah satu pilar dalam sistem ekonomi Pancasila koperasi Indonesia merupakan sakaguru perekonomian rakyat yang paling strategis untuk menjamin terwujudnya masyarakat adil dan makmur.
Gambaran lebih konkrit dari wujud Masyarakat Indonesia yang adil dan makmur adalah apabila setiap anggota keluarga memperoleh penghasilan yang cukup untuk membiayai kehidupan keluarga dengan cukup dalam memenuhi 5 jenis kebutuhan dasar hidupnya, yaitu di bidang 1.pangan (cukup gizi), 2.pakaian (pantas, sehat, sopan), 3.perumahan (sehat, aman, nyaman), 4.kesehatan (fisik, mental, lingkungan), dan 5.pendidikan (gratis selama 9 – 15 tahun pertama).
Pengelolaan untuk memenuhi kelima jenis kebutuhan dasar anggota koperasi itu dapat diatur untuk memenuhi 5 jenis kebutuhan pokok yang lain, yaitu : 1.penyediaan lapangan kerja, 2.jaminan sosial, 3.transportasi dan komunikasi, 4.informasi dan pengetahuan umum, 5.pengembangan pribadi. Peningkatan kebutuhan-kebutuhan lain ini akan dapat semakin meningkatkan pendapatan keluarga dan sekaligus untuk memanfaatkan potensi kinerja yang dimiliki tiap anggota koperasi yang hingga kini masih tersia-siakan karena tidak terprogram.
Andil dari negara adalah hak guna pemanfaatan kekayaan alam baik di darat maupun di laut yang dibutuhkan oleh koperasi dalam rangka melaksanakan tugasnya untuk memenuhi kelima kebutuhan dasar hidup maupun kelima kebutuhan pokok para anggotanya, dan berupa fasilitas kemudahan bagi terselenggaranya kerja koperasi antara lain modal dana baik hibah maupun pinjaman lunak.
6. Pengelolaan Koperasi Indonesia :
Sebagaimana disebutkan di depan bahwa koperasi Indonesia sebagai lembaga ekonomi yang mampu mewujudkan Masyarakat Indonesia yang adil dan makmur apabila dikelola secara benar dan tertib. Oleh karena itu perlu diberikan arah dan pedoman yang benar agar selalu dapat dikendalikan dan diluruskan setiap kali terjadi penyimpangan.
Sebagai arahan yang benar antara lain dapat dikutipkan beberapa Kesimpulan dan Penutup” dari penulisan “Sistem Ekonomi Indonesia dengan moral Pancasila” (bab 3) dalam buku EKONOMI PANCASILA (Landasan Pikir & Misi Pendirian) PUSTEP UGM sebagai berikut :
a. Reformasi ekonomi mempunyai tujuan kembar yaitu meningkatkan efisiensi ekonomi nasional dan sekaligus menghapus berbagai ketidakadilan ekonomi dengan tujuan akhir terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
b. Reformasi ekonomi Indonesia adalah pembaruan berbagai aturan main tentang hubungan-hubungan ekonomi dalam masyarakat. Aturan-aturan main ini secara keseluruhan dibakukan dalam Sistem Ekonomi Pancasila.
c. Dalam Sistem Ekonomi Pancasila pembangunan nasional merupakan pengamalan Pancsila yang akan memperkuat jati diri dan kepribadian manusia, masyarakat dan bangsa Indonesia.
d. Ideologi Pancasila yang tercantum dalam Pembukaan (Mukadimah) UUD 1945, merupakan pegangan dan landasan strategi pembangunan nasional. Namun demikian strategi pembangunan nasional yang dilandasi ideologi nasional Pancasila belum pernah benar-benar diterima dan dilaksanakan secara ikhlas oleh seluruh warga bangsa.
e. Visi masa depan yang jernih hanya dapat diproyeksikan dengan menggunakan ideologi Pancasila yang setiap pelakunya berusaha mewujudkannya dalam tindakan konkrit kehidupan sehari-hari terutama dengan menunjuk pada ajaran-ajaran moral agama.
Dalam masyarakat Indonesia yang adil dan makmur seperti yang dicita-citakan, setiap warga negara berhak memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan (pasal 27 ayat 2 UUD 1945), tanpa kecuali. Pengertian Ini mengandung konsekuensi bahwa segenap tenaga kerja Indonesia harus habis terserap dalam sistem ekonomi Pancasila yang terdiri atas tiga pilar ekonomi tersebut.
Dalam pilar ekonomi negara unsur tenaga kerjanya tentu selektif dan terbatas. Begitu pula dalam pilar ekonomi swasta kebutuhan tenaga kerjanya tentu juga selektif dan terbatas karena harus mampu bekerja secara efisien, efektif dan produktif guna mencapai daya saing yang cukup tinggi dalam dunia perdagangan dan usahanya.
Apabila dalam kedua pilar tersebut diatas kebutuhan tenaga kerjanya terbatas maka dalam pilar ekonomi rakyat atau koperasi penyerapan tenaga kerjanya tidak boleh terbatas karena tidak boleh terjadi adanya tenaga kerja yang tidak mendapat pekerjaan. Sebagai konsekuensinya maka segenap warga negara harus menjadi anggota koperasi Indonesia.
Dengan demikian maka pola pengelolaan koperasi Indonesia dituntut untuk mampu menciptakan suatu sistem manajemen sedemikian sehingga tujuan tersebut dapat tercapai. Untuk keperluan itu dibutuhkan bantuan dari Lembaga Perguruan Tinggi yang terkait dengan masalah tersebut.
7. Penutup :
a. Kesimpulan :
Dari uraian singkat tersebut diatas secara garis besar dapat disimpulkan sebagai berikut :
1). Penyelenggaraan koperasi yang terjadi hingga sekarang di Indonesia belum sesuai dengan maksud Amanat 1945, yaitu Ekonomi Pancasila, oleh karenanya belum mampu mewujudkan masyarakat adil dan makmur.
2). Sistem koperasi Indonesia yang mengacu pada ketentuan-ketentuan Amanat 1945 diyakini dapat mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur, karena semua unsur-unsur yang diperlukan bagi penyelenggaraannya sudah tersedia di dalam negeri, tinggal sistem pengelolaan beserta aturan mainnya.
3). Diperlukan pemikiran-pemikiran baru dan konsep-konsep baru yang mengacu kepada ketentuan-ketentuan dasar sebagaimana dimaksud dalam pengertian Amanat 1945 sehingga rakyat/setiap warga negara dapat dijamin untuk memperoleh hak-haknya melalui keanggotaannya dalam koperasi Indonesia.
4). Diperlukan persiapan yang matang bagi terselenggaranya sistem koperasi Indonesia melalui studi induktif logis maupun deduktif baik formal maupun tradisional kultural.
5). Diperlukan pengertian dan goodwill dari Pemerintah dan semua fihak untuk mengerti dan mendukung serta berpartisipasi aktif dalam usaha pengembangan konsep baru ekonomi Pancasila agar dapat segera mengatasi krisis multi demensional yang terjadi selama ini.
Ir. Hariyono –
MEMBANGKITKAN EKONOMI KERAKYATAN MELALUI GERAKAN KOPERASI: PERAN PERGURUAN TINGGI
I. Pendahuluan
Universitas Gadjah Mada (UGM) sebagai Perguruan Tinggi tertua sesudah kemerdekaan (lahir 19 Desembar 1949) adalah universitas Perjuangan yang berasas kerakyatan. Artinya misi utama perguruan tinggi di samping Tri Dharma (1) Pendidikan dan Pengajaran; (2) Penelitian; dan (3) Pengabdian pada Masyarakat, UGM juga merupakan lembaga (untuk membantu) perjuangan bangsa Indonesia mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur dengan asas kerakyatan (demokrasi ekonomi). Dalam pengertian kerakyatan/demokrasi ekonomi, produksi (dan distribusi) dikerjakan oleh semua warga masyarakat dibawah pimpinan dan pengawasan anggota masyarakat. Kerakyatan adalah demokrasi sesuai budaya Indonesia dan sebagai sila ke-4 Pancasila sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.
Jika banyak orang berpendapat Ekonomi Kerakyatan merupakan konsep baru yang mulai populer bersama reformasi 1998-1999 sehingga masuk dalam “GBHN Reformasi”, hal itu bisa dimengerti karena memang kata ekonomi kerakyatan ini sangat jarang dijadikan wacana sebelumnya. Namun jika pendapat demikian diterima, bahwa ekonomi kerakyatan merupakan konsep baru yang “mereaksi” konsep ekonomi kapitalis liberal yang dijadikan pegangan era ekonomisme Orde Baru, yang kemudian terjadi adalah “reaksi kembali” khususnya dari pakar-pakar ekonomi arus utama yang menganggap “tak ada yang salah dengan sistem ekonomi Orde Baru”. Strategi dan kebijakan ekonomi Orde Baru mampu mengangkat perekonomian Indonesia dari peringkat negara miskin menjadi negara berpendapatan menengah melalui pertuumbuhan ekonomi tinggi (7% pertahun) selama 3 dasawarsa. “Yang salah adalah praktek pelaksanaannya bukan teorinya”.
Barangkali cara lain menerangkan “sejarah” konsep Ekonomi Kerakyatan adalah dengan langsung menunjukkan adanya kata kerakyatan dalam Pancasila (sila ke 4) yang harus ditonjolkan dan diwujudkan dalam strategi dan kebijakan ekonomi karena di antara 5 sila Pancasila, sila ke-4 inilah yang paling banyak dilanggar dalam praktek ekonomi selama era pembangunan ekonomi Orde Baru.
II . KOSUDGAMA Membangkitkan Ekonomi Kerakyatan
Koperasi Serba Usaha Dosen Gadjah Mada (Kosudgama) berdiri sebagai badan hukum tanggal 31 Maret 1982 dan berkantor di satu rumah dinas milik UGM di Bulaksumur A-14, yang sampai sekarang tetap menjadi kantor pusatnya, meskipun sudah berubah wajah menjadi pusat bisnis dengan toko swalayan, apotik, dan warung telepon untuk umum. Salah satu kemajuan Kosudgama yang patut disebut adalah bahwa keanggotaannya kini menarik orang-orang di luar UGM sendiri, yaitu pegawai UGM bukan dosen, dan dosen-dosen di luar UGM seperti UPN Veteran, UII, dan sebagainya.
Melonjaknya jumlah anggota luar biasa dari hanya 13% tahun 1998 menjadi 68% tahun 2001, atau naik 2200%, memang manakjubkan dan tentu bisa ditanyakan apa faktor penyebabnya. Sebabnya bukan karena mereka semata-mata tertarik SHU atau dividen yang baik karena SHU atau dividen mereka itulah yang justru berhasil mengembangkannya.
Faktor utama mengapa anggota berduyun-duyun masuk adalah karena mereka dengan menjadi anggota merasa kepentingannya terlayani dengan baik, lebih baik dibanding koperasi atau organisasi ekonomi lain selain Kosudgama. Kosudgama adalah organisasi ekonomi yang tepat sekali menggambarkan organisasi kerjasama (gotongroyong) untuk mengangkat derajat dan martabat anggota, dan sekaligus meningkatkan kesejahteraannya melalui kerjasama yang tidak mengejar laba seperti halnya Perseroan Terbatas.
Hal lain yang menarik dari Kosudgama adalah kemajuan pesat usaha-usahanya yang terjadi justru setelah krismon 1997, ketika banyak perusahaan khususnya bank-bank swasta berguguran yang mengakibatkan PHK bagi banyak sarjana-sarjana pegawai bank. Kosudgama sebaliknya selama 1998-2001 mencatat peningkatan nilai pinjaman kepada anggota sebagai berikut:
Pelonjakan nilai pinjaman kepada anggota termasuk anggota luar biasa yang meningkat 7 kali (705%) selama 4 tahun adalah luar biasa, dan perkembangan ini ditambah usaha-usaha lain menghasilkan SHU yang juga melonjak dari hanya Rp 131 juta tahun 1998 menjadi Rp 3,04 milyar tahun 2001. Nilai aset total Kosudgama dengan demikian mengalami peningkatan dari Rp 1,97 milyar tahun 1998 menjadi Rp 22,03 milyar tahun 2001.
Pelajaran apa yang dapat ditarik dari pengalaman keberhasilan Kosudgama? Pertama, kesungguhan kerja pengurus dan staf serta kesetiaan mereka pada prinsip-prinsip berkoperasi, yaitu bekerjasama dengan ikhlas dan jujur demi kepentingan anggota. Prinsip kerja koperasi untuk melayani dan sekaligus memperjuangkan kepentingan ekonomi anggota adalah penting sekali, dan keberhasilannya merupakan ukuran utama misi organisasi. Kedua, Kosudgama adalah koperasi perkumpulan orang, bukan organisasi yang dibentuk terutama untuk menghimpun modal. Ketika Kosudgama berdiri tahun 1982 tujuan utama koperasi yang diperjuangkan pengurus adalah mengadakan rumah bagi dosen-dosen muda yang sangat membutuhkan, dan membeli buku-buku ajar (textbook) yang relatif mahal dari luar negeri. Jadi tidak seperti sebuah PT (Perseroan Terbatas) yang mengumpulkan modal saham dari anggota kemudian mencari usaha-usaha yang menguntungkan, koperasi mengenali kebutuhan urgen anggota yang kemudian dibantu untuk memenuhinya.
Prinsip kedua ini terus dipertahankan Kosudgama yaitu dengan tidak membuka usaha-usaha baru hanya karena usaha-usaha itu mendatangkan untung (misalnya berdagang VALAS yang bisa untung besar tetapi bisa pula buntung), tetapi setiap usaha yang dibuka harus merupakan kebutuhan anggota misalnya membangun rumah bagi anggota, membeli mobil atau sepeda motor secara kredit, membuka apotik bagi anggota dan umum, dan yang paling akhir membangun toko swalayan untuk anggota dan umum.
Demikian kiranya jelas bahwa Perguruan-perguruan Tinggi lain dapat dengan mudah “meniru” Kosudgama mendirikan koperasi di kampus masing-masing untuk membangkitkan (sistem) ekonomi kerakyatan. Syarat untuk berhasil tidak sulit dipenuhi jika koperasi benar-benar didasarkan pada kebutuhan yang mendesak dari masyarakat kampus, apakah ia dosen, mahasiswa, atau karyawan. Modal yang dibutuhkan untuk membiayai usaha memang tidak boleh sepenuhnya digantungkan atau berasal dari pihak luar koperasi, tetapi harus berasal dari anggota sendiri, meskipun bisa diangsur sedikit demi sedikit sesuai kemampuan anggota.
III . Koperasi Wadah Ekonomi Rakyat
Kiranya jelas dari uraian pengalaman KOSUDGAMA yang digambarkan di atas, bahwa yang dimaksud ekonomi rakyat yang dapat diperkuat dalam wadah koperasi adalah kegiatan produksi dan konsumsi yang apabila dikerjakan sendiri-sendiri tidak akan berhasil, tetapi melalui organisasi koperasi yang menerima tugas dari anggota untuk memperjuangkannya ternyata dapat berhasil. Ekonomi Rakyat adalah usaha ekonomi yang tegas-tegas tidak mengejar keuntungan tunai, tetapi dilaksanakan untuk (sekedar) memperoleh pendapatan bagi pemenuhan kebutuhan keluarga secara langsung untuk memenuhi kebutuhan pangan, sandang, papan, dan kebutuhan-kebutuhan keluarga lain dalam arti luas, yang semuanya mendesak dipenuhi dalam rangka pelaksanaan pekerjaan pokok anggota.
Ekonomi Rakyat dalam arti yang lebih luas mencakup kehidupan petani, nelayan, tukang becak dan pedagang kaki lima, yang kepentingan-kepentingan ekonominya selalu dapat lebih mudah dibantu/diperjuangkan melalui koperasi. Kepentingan-kepentingan ekonomi rakyat seperti inilah yang tidak dilihat oleh pakar-pakar ekonomi yang memperoleh pendidikan ekonomi melalui buku-buku teks dari Amerika dan yang tidak berusaha menerapkan ilmunya pada kondisi nyata di Indonesia. Teori-teori ekonomi mikro maupun makro dipelajari secara deduktif tanpa upaya menggali data-data empirik untuk mencocokkannya. Karena contoh-contoh hampir semuanya berasal dari Amerika dengan ukuran-ukuran relatif besar, maka mereka dengan mudah menyatakan ekonomi rakyat tidak ada dan tidak ditemukan di buku-buku teks Amerika. Misalnya Menteri Pertanian yang memperoleh gelar Doktor Ekonomi Pertanian dari Amerika Serikat dengan yakin menyatakan bahwa “Farming is business”, meskipun tanpa disadari yang dimaksud adalah”Farming (in America) is business”, sedangkan di Indonesia harus dicatat tidak semuaya dapat dikategorikan sebagai bisnis tetapi “way of life”, kegiatan hidup sehari-hari yang sama sekali bukan kegiatan bisnis yang mengejar untung.
Jika banyak orang Indonesia termasuk ilmuwan berpendapat bahwa ekonomi rakyat Indonesia “tidak ada”, atau tidak mempunyai sejarah, maka dasar pendapatnya jelas karena mereka (orang awam maupun ilmuwan) tidak membaca buku-buku sejarah ekonomi Indonesia. Maka kita patut berterimakasih pada Anne Booth penulis buku The Indonesian Economy in the Nineteenth and Twentieth Century: A History of Missed Opportunity (Macmillan & St. Martin’s, 1998) dan Howard Dick dkk., The Emergence of A National Economy (Allen & Unwin & U-Hawaii, 2002). Kedua buku ditulis dalam rangka lebih memahami ekonomi Indonesia modern sejak Indonesia Merdeka 1945. Karena tidak ada buku-buku sejarah ekonomi Indonesia, pakar-pakar ilmu sosial Indonesia termasuk pakar ekonomi tidak mempunyai referensi dalam menerangkan fenomena-fenomena ekonomi dan sosial masa kini dan dengan demikian juga tidak dapat memperkirakan akar-akar sejarah permasalahan sosial ekonomi dewasa ini. Dalam kondisi demikian banyak diantara mereka menggunakan referensi sejarah ekonomi negara-negara lain yang dianggap relevan, padahal barangkali mereka sadar referensi tersebut banyak yang tidak relevan.
Dalam pada itu buku-buku tentang ekonomi atau perekonomian Indonesia yang ditulis oleh pakar-pakar ekonomi Belanda seperti Boeke dan Furnival tidak dibaca dengan alasan yang kurang jelas. Perdebatan seru tentang tesis dualisme ekonomi yang terbit sebagai buku Indonesian Economics (Van Hoeve, 1966), belum pernah secara lengkap diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia untuk didiskusikan dalam kuliah-kuliah Ekonomi Indonesia. Mata kuliah Ekonomi Indonesia ini oleh konsorsium Ilmu Ekonomi di Direktoral Jenderal Pendidikan Tinggi telah diubah menjadi Perekonomian Indonesia, yang tentu saja sekedar membicarakan fenomena-fenomena dan bekerjanya perekonomian Indonesia Modern, terutama sejak tahun 1966 (Masa Orde Baru). Penulis buku ini yang mengampu kuliah ekonomi Indonesia selama 20 tahun terakhir, tetap menyebutnya sebagai Ekonomi Indonesia, dan mengisinya dengan sejarah perekonomian Indonesia (sejak masa penjajahan) dan sejarah pemikiran ekonomi Indonesia. Disamping itu dibahas pula sistem ekonomi Indonesia dengan memberikan perhatian dan penelusuran deskriptif dan analitis pada sejarah sistem ekonomi sejak sistem ekonomi monopolistik ala VOC (1600 – 1800), sistem ekonomi komando ala Tanam Paksa (1830 – 1870), dan sistem ekonomi kapitalis liberal sejak 1870. Salah satu buku penulis yang dipakai sebagai buku teks Ekonomi Indonesia berjudul Sistem dan Moral Ekonomi Indonesia (LP3ES, 1988) dan Membangun Sistem Ekonomi (BPFE, 2000).
Buku Anne Booth, yang banyak mengacu pada buku-buku sejarah ekonomi penulis-penulis Belanda menggambarkan dengan baik sejarah ekonomi rakyat Indonesia khususnya pada bab 7, Market and Entrepreneurs. Perkembangan sistem pasar di Indonesia tidak pernah mulus karena selalu tertekan oleh “sistem ekonomi” yang diterapkan di Indonesia sebagai “negara jajahan”. Pada 200 tahun pertama masa kolonialisme (1600 – 1800), persatuan Pedagang Belanda (VOC) menerapkan sistem monopoli (monopsoni) dalam membeli komoditi-komoditi perdagangan seperti rempah-rempah (lada dan pala, cengkeh, kopi dan gula), sehingga harganya tertekan karena ditetapkan sepihak oleh VOC. Meskipun VOC tidak sama dengan pemerintah penjajah Belanda, tetapi petani Indonesia merasa VOC mempunyai kekuasaan dan daya-paksa seperti pemerintah juga karena VOC mempunyai aparat “pemerintahan”, bahkan memiliki tentara. Itulah sebabnya Companie diucapkan orang Indonesia sebagai kumpeni yang tidak lain berarti “tentara” yang dapat memaksa-maksa petani menyerahkan komoditi perdagangannya yang “dipaksa beli” oleh VOC. Selanjutnya setelah VOC bubar (bangkrut tahun 1799), pemerintah penjajah Belanda tidak segera menemukan cara-cara tepat untuk mengekploitasi Indonesia, bahkan pemerintah ini terhenti sementara (1811-1816) karena penguasaan atas Indonesia diambil alih oleh Inggris pada saat Belanda di duduki Jerman, dan pemerintah Belanda mengungsi ke Inggris. Letnan Gubernur Thomas Robert Raffles memperkenalkan sistem sewa tanah untuk mengefisienkan tanah jajahan. Sistem sewa tanah ini tidak segera diambil alih pemerintah penjajah Belanda setelah Indonesia (Hindia Belanda ) diserahkan kembali kepada Belanda.
Pada tahun 1830 pada saat pemerintah penjajah hampir bangkrut setelah terlibat perang Jawa terbesar (Perang Diponegoro 1825-1830), dan Perang Paderi di Sumatera Barat (1821-1837), Gubernur Jendral Van den Bosch mendapat izin khusus melaksanakan sistem Tanam Paksa (Cultuur Stelsel) dengan tujuan utama mengisi kas pemerintahan jajahan yang kosong, atau menutup defisit anggaran pemerintah penjajahan yang besar. Sistem tanam paksa ini jauh lebih keras dan kejam dibanding sistem monopoli VOC karena ada sasaran pemasukan penerimaan negara yang sangat dibutuhkan pemerintah. Petani yang pada jaman VOC wajib menjual komoditi tertentu pada VOC, kini harus menanam tanaman tertentu dan sekaligus menjualnya pada harga yang ditetapkan kepada pemerintah. Maka tidak ada perkembangan yang bebas dari sistem pasar.
Selain itu kehidupan rakyat kecil (ekonomi rakyat) makin berat karena penduduk desa yang tidak memiliki tanah harus bekerja 75 hari dalam setahun (20%) pada kebun-kebun milik pemerintah yang menjadi semacam pajak. Produksi pangan rakyat merosot dan timbul kelaparan di berbagai tempat di Jawa. Tanam Paksa adalah sistem ekonomi yang merupakan noda hitam bagi sejarah penjajahan Belanda di Indonesia, meskipun bagi pemerintah Belanda dianggap berhasil karena memberikan sumbangan besar bagi kas pemerintah. Selama sistem tanam paksa kas pemerintah jajahan Belanda mengalami surplus (batig slot). Sistem tanam paksa yang kejam ini setelah mendapat protes keras dari berbagai kalangan di Belanda dihapus pada tahun 1870, meskipun untuk tanaman kopi diluar Jawa masih terus berlangsung sampai 1915. Akhirnya sistem ekonomi ke-3 dan terakhir pada jaman penjajahan yang berlangsung sampai Indonesia merdeka adalah sistem ekonomi kapitalis liberal, yang pelaku penentu utamanya bukan lagi pemerintah tetapi pengusaha swasta, sedangkan pemerintah sekedar sebagai penjaga dan pengawas melalui peraturan-peraturan per-undang-undangan. Undang-undang pertama yang menandai sistem baru ini adalah UU Agraria tahun 1870, yang memperbolehkan perusahaan-perusahaan perkebunan swasta menyewa lahan-lahan yang luas untuk jangka waktu sampai 75-99 tahun, untuk ditanami tanaman keras seperti karet, teh, kopi, kelapa sawit, atau untuk tanaman semusim seperti tebu dan tembakau dalam bentuk sewa jangka pendek. Pada saat tanaman-tanaman perdagangan ini mulai dikembangkan, di beberapa daerah rakyat sudah lebih dulu menanaminya, sehingga terjadi persaingan antara perkebunan-perkebunan besar dengan perkebunan-perkebunan rakyat. Dalam persaingan antara dua sub-sistem perkebunan inilah mulai muncul masalah peranan yang tepat dan adil dari pemerintah. Di satu pihak pemerintah ingin agar perusahaan-perusahaan swasta memperoleh untung besar sehingga pemerintah mendapat bagian keuntungan berupa pajak-pajak perseroan atau pajak pendapatan dari staf dan karyawan. Tetapi di pihak lain penduduk pribumi yaitu pekebun-pekebun kecil (perkebunan rakyat) yang sebelumnya sudah mengembangkan tanaman-tanaman ini “tidak boleh dirugikan” terutama dalam pemasaran hasilnya. Terutama dalam produksi dan pemasaran karet persaingan segera timbul, dan pemerintah yang tentunya berkepentingan meningkatkan kemakmuran rakyat tidak boleh membiarkan merosotnya kemakmuran rakyat ini, sehingga harus terus menerus mengawasi hubungan antara keduanya. Misalnya pada saat harga karet jatuh pada awal tahun 1920-an ada usulan pembatasan produksi karet (Stevensen Restriction Scheme) dari pemerintah penjajahan Inggris di Malaya yang tidak disambut baik oleh pemerintah Hindia Belanda. Perkebunan karet rakyat memiliki daya tahan jauh lebih kuat menghadapi krisis ketimbang perusahaan-perusahaan perkebunan swasta besar.
Tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan terutama Mohammad Hatta, yang belajar ilmu Ekonomi di Rotterdam, banyak menyoroti nasib buruk ekonomi rakyat yang selalu tertekan oleh pelaku sektor ekonomi modern yang dikuasai investor-investor Belanda, terutama dalam pertanian dan perkebunan, dan dikenal sebagai pertanian rakyat dan perkebunan rakyat (smallholder). Pertanian dan perkebunan rakyat dengan pemilikan lahan yang sempit, dengan teknologi sederhana dan modal seadanya, sulit berkembang karena merupakan usaha-usaha subsisten. Sebaliknya pertanian dan terutama perkebunan besar yang luasnya puluhan atau ratusan ribu hektar yang menggunakan teknologi unggul dan modal besar dalam memproduksi komoditi ekspor (karet, teh, kelapa sawit, tebu dan tembakau), tidak tertarik bekerjasama dengan usaha-usaha ekonomi rakyat. Mereka, perkebunan besar, bahkan khawatir rakyat “menyaingi” hasil-hasil perkebuan besar karena hasil-hasil perkebunan rakyat dapat jauh lebih murah meskipun mungkin mutunya tidak tinggi. Demikian karena ekonomi rakyat merupakan kegiatan penduduk pribumi dan usaha-usaha besar merupakan milik pengusaha-pengusaha Belanda atau pengusaha asing lain dari Eropa, maka para pemimpin pergerakan seperti Hatta, Syahrir, dan Soekarno, selalu memihak pada ekonomi rakyat dan berusaha membantu dan memikirkan upaya-upaya untuk memajukannya. Maka Hatta berkali-kali menulis di Daulat Rakyat tentang bahaya-bahaya yang mengancam ekonomi rakyat dan bagaimana ekonomi rakyat harus bersatu atau mempersatukan diri dalam organisasi koperasi sebagai bangun usaha yang sesuai dengan asas kekeluargaaan. Hanya dalam asas kekeluargaan dapat diwujudkan prinsip demokrasi ekonomi yaitu produksi dikerjakan oleh semua, dan untuk semua, sedangkan pengelolaannya dipimpin dan diawasi anggota-anggota masyarakat sendiri. Inilah yang kemudian dijadikan pedoman umum penyusunan sistem ekonomi Indonesia sebagai usaha bersama yang berasaskan kekeluargan sebagaimana tercantum sebagai pasal 33 UUD 1945.
Ekonomi rakyat sebagai mata pencaharian sebagian besar rakyat (rakyat banyak) memiliki daya tahan tinggi terhadap ancaman dan goncangan-goncangan harga internasional. Pada saat terjadi depresi pada tahun 20-an dan 30-an ketika perkebunan-perkebunan besar Belanda merugi karena anjlognya harga ekspor, justru perkebunan rakyat menikmatinya.
The 1920s were the “golden age” (hujan emas or “golden rain”) for smallholder rubber, long remembered among rural residents in Palembang, Jambi, and West and South Kalimantan. Consumption of both local and imported goods quickly increased. The number of motor cars in Palembang rose from 300 in 1922 to 1300 in 1924 and more than 19000 bicycles and 17000 sewing-machines were imported into Palembang and Jambi in 1920s ….. Much romantic nostalgia surrounded the hujan emas in the rubber regions in the Outer islands (Howard Dick et. al, 2002:138).
Pada zaman pendudukan Jepang dan awal kemerdekaan, ekonomi rakyat makin berkembang dengan pemasaran dalam negeri yang makin luas ditambah pasar luar negeri yang ditinggalkan perkebunan-perkebunan besar yang mulai mundur. Dan dalam hal komoditi tebu di Jawa tanaman tebu rakyat mulai berperanan besar menyumbang pada produksi gula merah (gula mangkok) baik untuk kebutuhan dalam negeri maupun ekspor. Pada tahun 1975 pemerintah yang mulai pusing mengelola industri gula di Jawa membuat putusan mengagetkan dengan Inpres No. 9/1975 tentang Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) yang melarang pabrik-pabrik gula (pemerintah maupun swasta ) menyewa lahan milik petani. Semua tanah sawah dan tanah kering harus ditanami tebu rakyat karena tanaman rakyat dianggap lebih unggul khususnya secara ekonomis dibanding tanaman perkebunan besar/pabrik, dan yang paling penting pemerintah ingin menghilangkan konflik-konflik yang selalu terjadi antara pabrik-pabrik gula dan rakyat pemilik tanah. Kebijaksanaan TRI ini gagal total karena mengabaikan kenyataan pemilikan tanah rakyat yang sudah sangat sempit, yang mempunyai pilihan (alternatif) untuk ditanami padi. Karena tebu sebagai bahan baku untuk gula harganya ditetapkan pemerintah, sedangkan untuk padi tidak, maka di mana pun petani memilih menanam padi. Akibatnya tujuan untuk menaikkan produksi dan produktivitas tebu tidak tercapai (produksi gula merosot), dan Inpres TRI ini dicabut pada tahun 1998 setelah sangat terlambat, dan membuat kerusakan besar pada industri gula di Jawa. Dewasa ini industri gula di Jawa termasuk salah satu industri yang paling sakit di Indonesia.
Demikian sejarah ekonomi rakyat berawal jauh sebelum Indonesia merdeka, namun tidak banyak pakar mengenalnya karena para pakar, khususnya pakar-pakar ekonomi, memang hanya menerapkan ilmunya pada sektor ekonomi modern terutama sektor industri dengan hubungan antara faktor-faktor produksi tanah, tenaga kerja, dan modal serta teknologi yang jelas dapat diukur. Karena dalam ekonomi rakyat pemisahan atau pemilahan faktor-faktor produksi ini tidak dapat dilakukan maka pakar-pakar ekonomi “tidak berdaya” melakukan analisis-analisis ekonomi.
IV . Peranan Ilmu Ekonomi
Ilmu Ekonomi yang diajarkan dan diterapkan di seluruh dunia sejak Perang Dunia II yang dirintis awal oleh buku Economics An Introductory Analysis (Paul Samuelson dari MIT, 1946, sekarang tahun 2001 edisi ke-17) dikenal sebagai teori ekonomi Neoklasik. Isi ajaran ekonomi Neoklasik merupakan sintesa teori ekonomi pasar persaingan bebas Klasik (Homo ekonomikus dan invisible hand Adam Smith), dan ajaran marginal utility dan keseimbangan umum Neoklasik. Tekanan ajaran ekonomi Neoklasik adalah bahwa mekanisme pasar persaingan bebas, dengan asumsi-asumsi tertentu, selalu menuju keseimbangan dan efisiensi optimal yang baik bagi semua orang. Artinya jika pasar dibiarkan bebas, tidak diganggu oleh aturan-aturan pemerintah yang bertujuan baik sekalipun, masyarakat secara keseluruhan akan mencapai kesejahteraan bersama yang optimal (Pareto Optimal)
Di Indonesia, sampai dengan krismon tahun 1997, ilmu ekonomi yang dipahami seperti digambarkan di atas menduduki tempat terhormat di kalangan ilmu-ilmu sosial. Misalnya insinyur yang belajar dan mengambil derajat tambahan ilmu ekonomi, dan kemudian bergelar Dr. Ir, diakui memiliki kemampuan “luar biasa” atau keahlian ekstra karena disamping teknolog juga masuk “kelompok elit teknokrat ekonomi”.
Satu alasan kuat lain dari tingginya prestise ilmu ekonomi adalah keberhasilan para Guru Besar Ekonomi Universitas Indonesia, dan teknokrat ekonomi lain, dalam membangun ekonomi Indonesia selama Orde Baru (1966-1997). Dalam setiap kabinet, tokoh-tokoh ekonomi terutama dari FE-UI menduduki pos-pos utama ekonomi seperti Menteri Keuangan, Perdagangan, dan Industri. Dan BAPPENAS yang ditugasi merancang dan mengendalikan pembangunan nasional selalu diketuai pakar ekonomi, kecuali sejak tahun 1993 yang pimpinannya dipercayakan pada 2 Insinyur. Bagi sementara orang, krismon tahun 1997 yang tidak diduga datangnya justru disebabkan antara lain karena kepemimpinan tim ekonomi pemerintah tidak lagi dipegang ekonom “profesional”.
Pemikiran yang ingin kami kembangkan adalah bahwa krismon 1997 dan ketimpangan ekonomi dan sosial yang serius sejak pertengahan tahun delapan puluhan, terutama disebabkan oleh strategi pembangunan yang terlalu berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, dan kurang memperhatikan asas pemerataan dan keadilan. Dan strategi yang “keliru” ini diterapkan karena ekonom (teknokrat ekonomi) memperoleh kepercayaan berlebihan dalam penyusunan strategi pembangunan. Terhadap kesimpulan terakhir para teknokrat banyak yang keberatan karena menurut mereka ajaran dan nasihat-nasihat yang mereka berikan tidak pernah salah. Yang salah adalah pelaksanannya, bukan teorinya, lebih-lebih jika diingat bahwa krismon terjadi setelah tim ekonomi pemerintah semakin dikuasai oleh non-ekonom, khususnya di BAPPENAS.
Menggugat Ajaran Ekonomi Neoklasik
Mempertanyakan kembali ajaran ilmu ekonomi Neoklasik tidaklah unik di Indonesia. Gunnar Myrdal (1967) menyatakan sejak amat awal bahwa teori ekonomi tidak dikembangkan untuk menganalisis masalah-masalah ekonomi negara-negara terbelakang (under developed regions). Bagi negara-negara yang disebut terakhir, belakangan disebut negara-negara selatan, harus dikembangkan teori lain oleh para ekonom muda dari negara-negara sedang berkembang sendiri. J.H.Boeke, ekonom Belanda, menyatakan hal yang sama jauh sebelumnya dalam disertasinya tahun 1910, dan diperkuatnya dalam pidato pengukuhan Guru Besar Ekonomi kolonial tropik tahun 1930 di Universitas Leiden. Pada tahun 1979 dalam pidato pengukuhan Guru Besar di Universitas Gadjah Mada, kami secara eksplisit menyatakan bahwa teori ekonomi Neoklasik bermanfaat untuk menumbuhkan perekonomian tetapi tidak menolong untuk mengadakan pemerataan dan mewujudkan keadilan. Selanjutnya mengikuti ajaran Joan Robinson (1962), yang menekankan bahwa ilmu ekonomi membahas sistem ekonomi, bukan tentang ahli-ahli ekonomi, maka dalam buku Membangunan Sistem Ekonomi (BPFE, 2000), kami lebih spesifik lagi menunjukkkan bahwa ideologi Pancasila yang telah diterima sebagai ideologi bangsa Indonesia harus, mau tidak mau, dijadikan landasan sistem ekonomi nasional. Maka sistem ekonomi Indonesia adalah, tidak lain, Sistem Ekonomi Pancasila.
Meskipun secara politis Pancasila, dan kerakyatan sebagai sila ke-4, sudah diterima dan dapat dijadikan acuan sistem ekonomi nasional, tokh dalam kenyataan, para pakar, khususnya pakar ekonomi, merasa sulit atau enggan memasukkannya dalam “model” pembangunan ekonomi. Lebih-lebih dengan munculnya kembali ajaran liberalisasi dan globalisasi pertengahan tahun delapan puluhan, yang dijiwai atau diilhami semangat neoliberalisme, keunikan ideologi Pancasila makin dipertanyakan, dan dianggap tidak akan mampu menghadapi ideologi global neoliberalisme. “Daripada susah-susah akan lebih baik kita mengikuti ideologi global Kapitalisme-Neoliberalisme, yang sejak 1989-1990 memang telah mengalahkan paham saingannya yaitu Sosialisme.” Demikian sikap menyerah kalah ini banyak menghinggapi tokoh-tokoh ekonom kita, yang pada awal Orde Baru (1996) pernah sangat percaya perlunya Indonesia membangun masyarakat sosialisme Pancasila atau Sosialisme berdasarkan Pancasila (TAP No. XXIII/MPRS/1966).
Dewasa ini makin banyak ditemukan buku yang menentang arus globalisasi yang menggunakan teori ekonomi neoklasik dan diperkuat paham Neo-liberalisme. Perlawanan dan bahkan pemberontakan terhadap dominasi ajaran/resep-resep IMF dan Bank Dunia dipimpin ekonom-ekonom yang pernah bekerja di IMF atau Bank Dunia sendiri, yang paling terkenal adalah Joseph Stiglitz (Ha-Joon Chang, 2001).
The straight forward view of development as an upward climb, common to all nations but with different countries at different stages, is misleading and certainly inadequate for the twenty-first century. (Jonathan M. Harris et al, A Survey of Sustainable Development, Island Press, 2001) .
Demikian kini tidak hanya praktek pembangunan yang dipertanyakan, tetapi teori yang melandasi praktek-praktek pembangunan itu sendiri mulai digugat. Jika tahun 1995 sudah terbit buku Paul Ormerod berjudul The Death of Economics, kini terbit lagi buku Debunking Economics: The Naked Emperor of the Social Sciences oleh Steve Keen (Pluto Press, Australia, 2001). Buku ini menolak total ajaran ekonomi Neoklasik, yang disamping benar-benar tak berguna juga pengajarannya seperti “indoktrinasi”. Dalam buku lain, Economics as Religion (Pennsylvania State UP, 2001), Robert Nelson juga menolak ajaran Neoklasik yang sudah menjadi semacam agama.
Beneath the surface of their economic theorizing, economist are engaged in an act of delivering religious messages. Correctly understood these messages are seem to be promises of the true path to a salvation in world to a new heaven on earth. (RH. Nelson, 2001, h. 20).
Alasan kuat penerimaan dan penerapan teori ekonomi neoklasik adalah bahwa ia merupakan satu-satunya teori yang tersedia sehingga “tidak ada alternatif”. Untuk menjawab keberatan demikian, Debunking Economics secara khusus menutup bukunya dengan alternatif-alternatif berikut: (Keen, 2001, h.300).
1. Austrian Economics, yang menerima banyak ajaran ekonomi Neoklasik kecuali konsep keseimbangan.
2. Post Keynesian Economics, yang sangat kritis terhadap ajaran Neoklasik dan menekankan pada pentingnya ketidakpastian.
3. Sraffian Economics, mendasarkan pada konsep produksi komoditi oleh komoditi.
4. Complexity Theory, yang menerapkan konsep dinamika non linear dan teori kekacauan terhadap isu-isu ekonomi.
5. Evolutionary Economics, yang memperlakukan perekonomian sebagai sistem evolusi ala Darwin.
Dari ke-5 “alternatif” terhadap teori ekonomi Neoklasik tersebut, teori ekonomi evolusioner mencakup apa yang dikenal dengan teori ekonomi kelembagaan yang mula-mula diusulkan Thorstein Veblen (1898), dan kemudian dikembangkan oleh John R. Commons (1904-1905) di Wisconsin. Ekonomi kelembagaan ala John Commons menunjukkan betapa teori ekonomi bisa sangat relevan untuk memecahkan masalah-masalah sosial yang secara nyata dihadapi masyarakat pada waktu dan tempat tertentu, dan sebaliknya bisa terasa begitu aneh dan mandul pada waktu dan tempat lain sebagaimana dirasakan 4-5 tahun terakhir di Indonsia.
Menjelang krismon di Indonesia bulan Juli 1997, 4 tahun setelah Indonesia dipuja-puji sebagai salah satu “Keajaiban Asia”, karena pertumbuhan ekonomi yang cepat dengan pembagian pendapatan “sangat merata”, pakar-pakar ekonomi Indonesia maupun pakar-pakar ekonomi asing di Indonesia “sesumbar” bahwa tidak mungkin ekonomi Indonesia mengalami krisis keuangan. “Indonesia bukan Thailand”, dan tahun 2001 dikatakan “ Indonesia bukan Argentina”. Jika keberhasilan pembangunan ekonomi Indonesia sering dikatakan karena para teknokrat (ekonom) telah secara cerdas menerapkan terori ekonomi Neoklasik, maka krismon tentunya tidak mungkin melanda Indonesia yang memiliki fundamental ekonomi kuat seperti inflasi rendah, cadangan devisa kuat, dan pertumbuhan ekonomi tinggi. Sesungguhnya kasus Indonesia menunjukkan kelemahan teori ekonomi neoklasik yang tidak mampu memberikan peringatan dini akan ancaman bahaya krismon padahal sejumlah ilmuwan sosial lain khususnya sosiolog dan anthropolog sudah berulang kali mengingatkannya. Kami sendiri pada tahun 1981 menulis artikel “keras” yang mengingatkan bahaya “penyakit kanker” yang sudah menyerang ekonomi Indonesia, tetapi dianggap para ekonom Neoklasik sebagai dagelan yang tidak lucu atau teori ekonomi yang “ngawur”. Demikian pada editorial majalah “Business News” (4 Agustus 1984) pandangan kami tentang “Ekonomi Pancasila” diputar balik dan dianggap “menolak pertumbuhan”, sehingga “tidak laku di Jakarta”.
V . Pengajaran Ilmu Ekonomi
Satu kesalahan besar yang berubah menjadi semacam dosa dari dosen-dosen pengajar ekonomi di Universitas-universitas di Indonesia adalah bahwa mereka hanya mengajarkan separo saja dari ajaran ekonom klasik Adam Smith. Konsep Smith tentang Manusia Sosial (homosocialis, tahun 1759) dilupakan atau tidak diajarkan, sedangkan ajaran berikutnya pada tahun 1776 (manusia sebagai homoeconomicus) dipuja-puji secara membabi buta. Menurut konsep terakhir manusia bersifat egois dan selfish, yang tidak pernah mau tahu kepentingan orang lain meskipun yang benar adalah sebaliknya :
Man it has been said, has a natural love for society, and desires that the union of mankind should be preserved for its own sake, and though the himself was to derive no benefit form it. (Adam Smith, 1759 h. 9).
Dosa ke-2 dari dosen-dosen ilmu ekonomi adalah mengajarkan secara penuh metode analisis deduktif dari teori ekonomi neoklasik, padahal seharusnya disadari bahwa Alfred Marshall dan Gustave Schmoller sebelumnya, yang merupakan tokoh-tokoh teori ekonomi Neoklasik, memesankan secara sungguh-sungguh dipakainya dua metode secara serentak (deduktif dan induktif), laksana 2 kaki (kanan dan kiri) untuk berjalan. Ajaran asli Mazhab sejarah Jerman inilah yang sesungguhnya dan seharusnya mengingatkan peristiwa pergulatan metode (metodensreit) pakar-pakar ekonomi tahun 1873-1874 dalam penggunaan model-model matematika yang kebablasan dan sekaligus mengabaikan data-data sejarah yang relevan. Mengajarkan ilmu ekonomi matematika (matematika ekonomi) dianggap lebih gagah dibandingkan keharusan membaca data-data sejarah dalam buku-buku tebal, meskipun jelas mempelajari sejarah lebih relevan. Selain itu mengajar ekonomika secara induktif-empirik memang membutuhkan waktu dan tenaga lebih banyak, dan jika waktu sangat mendesak atau terbatas, maka mengajar dengan metode deduktif memang merupakan pilihan yang mudah.
Kita tentu berterima kasih dan bersyukur ada ilmu sosial yang bernama ilmu ekonomi yang telah berjasa membantu manusia menyusun resep-resep dan model-model yang semakin canggih untuk membangun perekonomian modern, dengan akibat standar kehidupan manusia juga semakin tinggi. Ekonomi Indonesia yang pada tahun-tahun awal kemerdekaan selama dua dasawarsa (1945-1966) merupakan perekonomian agraris yang terbelakang, kini sudah jauh lebih maju dan modern dengan standar hidup manusia rata-rata hampir 10 kali lipat. Pertanyaannya, apakah kemajuan tersebut merupakan jasa Ilmu Ekonomi? Mungkin lebih tepat pertanyaannya diubah menjadi sejauh mana ilmu ekonomi telah menyumbang pada kemajuan tersebut. Jika jawaban atas pertanyaan ini negatif, artinya sumbangan ilmu ekonomi hanya kecil saja dibanding ilmu-ilmu eksakta seperti ilmu-ilmu teknik, pertanian, atau kesehatan, maka tidak ada masalah. Masalah akan timbul jika ilmu ekonomi dikatakan berperan sangat besar dan menentukan dalam pembangunan nasional terutama sejak Orde Baru, dengan keterangan lebih lanjut bahwa para teknokrat ekonomilah yang telah berjasa besar, karena mereka menduduki posisi-posisi kunci dalam pemerintahan dan lembaga perencanaan ekonomi serta menjadi penetu-penentu kebijaksanaan pembangunan.
Memang tidak mungkin kita berteori seandainya pada awal Orde Baru bukan ekonom, tetapi sosiolog atau anthropolog yang lebih berperanan, apakah hasilnya akan berbeda, lebih baik atau lebih buruk. Namun jika era Orde Baru kini dianggap telah berakhir dan kini kita mengadakan reformasi dalam segala bidang termasuk reformasi ekonomi, tidak sahkah jika kita juga menggugat yang salah dalam pembangunan ekonomi, dan peranan ilmu ekonomi di dalamnya? Lebih jauh kiranya kita berhak mempertanyakan jangan-jangan jika ilmu ekonomi jenis lain yang kita terapkan dan kita ajarkan di Indonesia sejak lahirnya fakultas-fakultas ekonomi, kondisi masyarakat (ekonomi) kita lebih baik dari sekarang. Ilmu ekonomi lain sudah ada dan berkembang di dunia termasuk di Amerika Serikat, hanya saja karena ilmu ekonomi Neoklasik memang memegang monopoli untuk diajarkan di AS dan negara Eropa Barat lain, maka ilmu ekonomi itulah yang juga diajarkan dan diterapkan di Indonesia dan negara-negara berkembang lain.
Salah satu kelemahan amat menonjol dari Ilmu Ekonomi Neoklasik adalah keengganannya untuk memasukkan faktor budaya dan masalah keadilan dalam model analisisnya. Bagi Indonesia yang berideologi Pancasila yang bertujuan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat, yaitu masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila, maka pembangunan ekonomi dan ilmu ekonomi yang melandasi penyusunan kebijakan-kebijakan harus mempertimbangkan faktor keadilan ekonomi dan keadilan sosial. Dan ilmu ekonomi yang diajarkan di Fakultas-fakultas Ekonomi haruslah ilmu ekonomi kelembagaan ajaran John R. Commons yang dikembangkan di University of Wisconsin Madison tahun 1904-05.
VI . KESIMPULAN
Satu tahun menjelang pensiun, setelah 40 tahun mengajar, kami merasa bahwa sarjana-sarjana ekonomi yang kami didik dan kami hasilkan tidak terlalu berbeda dengan sarjana-sarjana ilmu sosial lain dalam keahlian dan ketrampilan memecahkan masalah-masalah sosial masyarakat. Di daerah-daerah, para sarjana ekonomi seringkali tidak menunjukkan kelebihan penguasaan cara-cara berpikir ekonomi dalam menyusun rencana-rencana pembangunan bagi pemerintah daerah dan masayarakat di daerah. Jika berada di Bappeda, yang banyak diantaranya tidak dipimpin sarjana ekonomi, mereka, sarjana ekonomi, sering tidak menonjol berpikir tentang ekonomi. Tidak jarang sarjana-sarjana sosial non-ekonomi lebih cerdas berpikir ekonomi dan mampu mengusulkan rencana-rencana pembangunan yang rasional ketimbang sarjana ekonomi.
Kesimpulan kita adalah bahwa pengajaran ilmu ekonomi di Fakultas-fakultas Ekonomi kita kurang tajam (vigorous), kurang relevan, atau keliru. Lebih merisaukan lagi jika kemudian timbul kesan bahwa ilmu ekonomi mengajarkan bagaimana orang mencari uang, atau mengejar untung, dengan tidak mempertimbangkan akibat tindakan seseorang bagi orang lain. Ilmu ekonomi yang mengajarkan bahwa manusia adalah homo-economicus cenderung mengajarkan sikap egoisme, mementingkan diri sendiri, cuek dengan kepentingan orang lain, bahkan mengajarkan keserakahan. Karena ilmu ekonomi mengajarkan keserakahan maka tidak mengherankan bahwa dalam kaitan konflik kepentingan ekonomi antara perusahaan-perusahaan konglomerat dan ekonomi rakyat, para sarjana ekonomi cenderung atau terang-terangan memihak konglomerat. Dan lebih gawat lagi mereka yang memihak ekonomi rakyat atau melawan konglomerat, dianggap bukan ekonom. Misalnya dalam masalah kenaikan upah minimum propinsi (UMP) tidak diragukan bahwa jika tidak mau di sebut “bukan ekonom” anda harus berpihak pada majikan /pengusaha karena pemaksaan kenaikan UMP “pasti berakibat pada meluasnya penggangguran”.
Sekiranya sebagian dosen Fakultas Ekonomi tidak sependapat dengan pandangan atau keprihatinan kami, dan tetap bersikukuh bahwa sarjana-sarjana ekonomi didikan kita sudah memenuhi “standar internasional”, yaitu penguasaan teori-teori ekonomi secara memadai, maka keprihatinan kami bergeser pada pertanyaan mengapa kita tidak berusaha keras menghasilkan sarjana ekonomi Indonesia yang benar-benar mampu memecahkan masalah-masalah ekonomi kongkrit yang dihadapi bangsa Indonesia. Mengapa dalam upaya pemulihan ekonomi kita tim ekonomi pemerintah atau para ekonom di EKUIN atau BAPPENAS dikabarkan selalu menyatakan “tidak ada jalan lain” kecuali dengan cara berhutang lagi, atau merangsang investor-investor asing baru?
Dalam menghadapi globalisasi dan “keharusan” mengadakan privatisasi BUMN, juga makin mencolok dan makin tajam perbedaan pandangan sarjana-sarjana ekonomi Indonesia. Mayoritas sarjana-sarjana ekonomi Indonesia menganggap bahwa globalisasi tidak terelakkan dan akan “counter productive” jika kita mati-matian melawannya. Benarkah demikian? Mengapa kini banyak buku-buku “anti globalisasi” diterbitkan, dan sejumlah tokoh ekonomi (Pemenang Nobel 2001) Joseph Stiglitz “memberontak” terhadap cara-cara IMF dan Bank Dunia membantu negara-negara miskin.
Mungkin masih tetap banyak yang tidak sependapat dengan kami bahwa dosen-dosen ekonomi di Universitas telah “berdosa” mengajarkan ilmu ekonomi secara keliru atau bahkan mengajarkan “ilmu ekonomi yang keliru”. Jika demikian, mereka tetap merasa tak bersalah, kami ingin menghimbau sarjana ekonomi lain yang jumlahnya sedikit, yang setuju dengan pandangan kami, untuk bekerja keras mengajak rekan-rekan lainnya yang belum masuk barisan untuk memperkuat barisan. Marilah kita membuat gerakan “mengkaji ulang” relevansi teori-teori ekonomi yang sudah mapan dari Amerika ini. Ilmu ekonomi sebagai ilmu sosial harus kita “Indonesiakan” menjadi ilmu ekonomi yang bermanfaat bagi bangsa Indonesia yang sedang membangun, khususnya dalam memberdayakan ekonomi rakyat. Dan caranya, seperti sudah disinggung di atas, ilmu ekonomi di Perguruan Tinggi harus diajarkan bersama sejarah ekonomi bangsa, ilmu sosiologi, antropologi, dan etika Pancasila.
Prof. Dr. Mubyarto: Guru Besar FE - UGM
Universitas Gadjah Mada (UGM) sebagai Perguruan Tinggi tertua sesudah kemerdekaan (lahir 19 Desembar 1949) adalah universitas Perjuangan yang berasas kerakyatan. Artinya misi utama perguruan tinggi di samping Tri Dharma (1) Pendidikan dan Pengajaran; (2) Penelitian; dan (3) Pengabdian pada Masyarakat, UGM juga merupakan lembaga (untuk membantu) perjuangan bangsa Indonesia mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur dengan asas kerakyatan (demokrasi ekonomi). Dalam pengertian kerakyatan/demokrasi ekonomi, produksi (dan distribusi) dikerjakan oleh semua warga masyarakat dibawah pimpinan dan pengawasan anggota masyarakat. Kerakyatan adalah demokrasi sesuai budaya Indonesia dan sebagai sila ke-4 Pancasila sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.
Jika banyak orang berpendapat Ekonomi Kerakyatan merupakan konsep baru yang mulai populer bersama reformasi 1998-1999 sehingga masuk dalam “GBHN Reformasi”, hal itu bisa dimengerti karena memang kata ekonomi kerakyatan ini sangat jarang dijadikan wacana sebelumnya. Namun jika pendapat demikian diterima, bahwa ekonomi kerakyatan merupakan konsep baru yang “mereaksi” konsep ekonomi kapitalis liberal yang dijadikan pegangan era ekonomisme Orde Baru, yang kemudian terjadi adalah “reaksi kembali” khususnya dari pakar-pakar ekonomi arus utama yang menganggap “tak ada yang salah dengan sistem ekonomi Orde Baru”. Strategi dan kebijakan ekonomi Orde Baru mampu mengangkat perekonomian Indonesia dari peringkat negara miskin menjadi negara berpendapatan menengah melalui pertuumbuhan ekonomi tinggi (7% pertahun) selama 3 dasawarsa. “Yang salah adalah praktek pelaksanaannya bukan teorinya”.
Barangkali cara lain menerangkan “sejarah” konsep Ekonomi Kerakyatan adalah dengan langsung menunjukkan adanya kata kerakyatan dalam Pancasila (sila ke 4) yang harus ditonjolkan dan diwujudkan dalam strategi dan kebijakan ekonomi karena di antara 5 sila Pancasila, sila ke-4 inilah yang paling banyak dilanggar dalam praktek ekonomi selama era pembangunan ekonomi Orde Baru.
II . KOSUDGAMA Membangkitkan Ekonomi Kerakyatan
Koperasi Serba Usaha Dosen Gadjah Mada (Kosudgama) berdiri sebagai badan hukum tanggal 31 Maret 1982 dan berkantor di satu rumah dinas milik UGM di Bulaksumur A-14, yang sampai sekarang tetap menjadi kantor pusatnya, meskipun sudah berubah wajah menjadi pusat bisnis dengan toko swalayan, apotik, dan warung telepon untuk umum. Salah satu kemajuan Kosudgama yang patut disebut adalah bahwa keanggotaannya kini menarik orang-orang di luar UGM sendiri, yaitu pegawai UGM bukan dosen, dan dosen-dosen di luar UGM seperti UPN Veteran, UII, dan sebagainya.
Melonjaknya jumlah anggota luar biasa dari hanya 13% tahun 1998 menjadi 68% tahun 2001, atau naik 2200%, memang manakjubkan dan tentu bisa ditanyakan apa faktor penyebabnya. Sebabnya bukan karena mereka semata-mata tertarik SHU atau dividen yang baik karena SHU atau dividen mereka itulah yang justru berhasil mengembangkannya.
Faktor utama mengapa anggota berduyun-duyun masuk adalah karena mereka dengan menjadi anggota merasa kepentingannya terlayani dengan baik, lebih baik dibanding koperasi atau organisasi ekonomi lain selain Kosudgama. Kosudgama adalah organisasi ekonomi yang tepat sekali menggambarkan organisasi kerjasama (gotongroyong) untuk mengangkat derajat dan martabat anggota, dan sekaligus meningkatkan kesejahteraannya melalui kerjasama yang tidak mengejar laba seperti halnya Perseroan Terbatas.
Hal lain yang menarik dari Kosudgama adalah kemajuan pesat usaha-usahanya yang terjadi justru setelah krismon 1997, ketika banyak perusahaan khususnya bank-bank swasta berguguran yang mengakibatkan PHK bagi banyak sarjana-sarjana pegawai bank. Kosudgama sebaliknya selama 1998-2001 mencatat peningkatan nilai pinjaman kepada anggota sebagai berikut:
Pelonjakan nilai pinjaman kepada anggota termasuk anggota luar biasa yang meningkat 7 kali (705%) selama 4 tahun adalah luar biasa, dan perkembangan ini ditambah usaha-usaha lain menghasilkan SHU yang juga melonjak dari hanya Rp 131 juta tahun 1998 menjadi Rp 3,04 milyar tahun 2001. Nilai aset total Kosudgama dengan demikian mengalami peningkatan dari Rp 1,97 milyar tahun 1998 menjadi Rp 22,03 milyar tahun 2001.
Pelajaran apa yang dapat ditarik dari pengalaman keberhasilan Kosudgama? Pertama, kesungguhan kerja pengurus dan staf serta kesetiaan mereka pada prinsip-prinsip berkoperasi, yaitu bekerjasama dengan ikhlas dan jujur demi kepentingan anggota. Prinsip kerja koperasi untuk melayani dan sekaligus memperjuangkan kepentingan ekonomi anggota adalah penting sekali, dan keberhasilannya merupakan ukuran utama misi organisasi. Kedua, Kosudgama adalah koperasi perkumpulan orang, bukan organisasi yang dibentuk terutama untuk menghimpun modal. Ketika Kosudgama berdiri tahun 1982 tujuan utama koperasi yang diperjuangkan pengurus adalah mengadakan rumah bagi dosen-dosen muda yang sangat membutuhkan, dan membeli buku-buku ajar (textbook) yang relatif mahal dari luar negeri. Jadi tidak seperti sebuah PT (Perseroan Terbatas) yang mengumpulkan modal saham dari anggota kemudian mencari usaha-usaha yang menguntungkan, koperasi mengenali kebutuhan urgen anggota yang kemudian dibantu untuk memenuhinya.
Prinsip kedua ini terus dipertahankan Kosudgama yaitu dengan tidak membuka usaha-usaha baru hanya karena usaha-usaha itu mendatangkan untung (misalnya berdagang VALAS yang bisa untung besar tetapi bisa pula buntung), tetapi setiap usaha yang dibuka harus merupakan kebutuhan anggota misalnya membangun rumah bagi anggota, membeli mobil atau sepeda motor secara kredit, membuka apotik bagi anggota dan umum, dan yang paling akhir membangun toko swalayan untuk anggota dan umum.
Demikian kiranya jelas bahwa Perguruan-perguruan Tinggi lain dapat dengan mudah “meniru” Kosudgama mendirikan koperasi di kampus masing-masing untuk membangkitkan (sistem) ekonomi kerakyatan. Syarat untuk berhasil tidak sulit dipenuhi jika koperasi benar-benar didasarkan pada kebutuhan yang mendesak dari masyarakat kampus, apakah ia dosen, mahasiswa, atau karyawan. Modal yang dibutuhkan untuk membiayai usaha memang tidak boleh sepenuhnya digantungkan atau berasal dari pihak luar koperasi, tetapi harus berasal dari anggota sendiri, meskipun bisa diangsur sedikit demi sedikit sesuai kemampuan anggota.
III . Koperasi Wadah Ekonomi Rakyat
Kiranya jelas dari uraian pengalaman KOSUDGAMA yang digambarkan di atas, bahwa yang dimaksud ekonomi rakyat yang dapat diperkuat dalam wadah koperasi adalah kegiatan produksi dan konsumsi yang apabila dikerjakan sendiri-sendiri tidak akan berhasil, tetapi melalui organisasi koperasi yang menerima tugas dari anggota untuk memperjuangkannya ternyata dapat berhasil. Ekonomi Rakyat adalah usaha ekonomi yang tegas-tegas tidak mengejar keuntungan tunai, tetapi dilaksanakan untuk (sekedar) memperoleh pendapatan bagi pemenuhan kebutuhan keluarga secara langsung untuk memenuhi kebutuhan pangan, sandang, papan, dan kebutuhan-kebutuhan keluarga lain dalam arti luas, yang semuanya mendesak dipenuhi dalam rangka pelaksanaan pekerjaan pokok anggota.
Ekonomi Rakyat dalam arti yang lebih luas mencakup kehidupan petani, nelayan, tukang becak dan pedagang kaki lima, yang kepentingan-kepentingan ekonominya selalu dapat lebih mudah dibantu/diperjuangkan melalui koperasi. Kepentingan-kepentingan ekonomi rakyat seperti inilah yang tidak dilihat oleh pakar-pakar ekonomi yang memperoleh pendidikan ekonomi melalui buku-buku teks dari Amerika dan yang tidak berusaha menerapkan ilmunya pada kondisi nyata di Indonesia. Teori-teori ekonomi mikro maupun makro dipelajari secara deduktif tanpa upaya menggali data-data empirik untuk mencocokkannya. Karena contoh-contoh hampir semuanya berasal dari Amerika dengan ukuran-ukuran relatif besar, maka mereka dengan mudah menyatakan ekonomi rakyat tidak ada dan tidak ditemukan di buku-buku teks Amerika. Misalnya Menteri Pertanian yang memperoleh gelar Doktor Ekonomi Pertanian dari Amerika Serikat dengan yakin menyatakan bahwa “Farming is business”, meskipun tanpa disadari yang dimaksud adalah”Farming (in America) is business”, sedangkan di Indonesia harus dicatat tidak semuaya dapat dikategorikan sebagai bisnis tetapi “way of life”, kegiatan hidup sehari-hari yang sama sekali bukan kegiatan bisnis yang mengejar untung.
Jika banyak orang Indonesia termasuk ilmuwan berpendapat bahwa ekonomi rakyat Indonesia “tidak ada”, atau tidak mempunyai sejarah, maka dasar pendapatnya jelas karena mereka (orang awam maupun ilmuwan) tidak membaca buku-buku sejarah ekonomi Indonesia. Maka kita patut berterimakasih pada Anne Booth penulis buku The Indonesian Economy in the Nineteenth and Twentieth Century: A History of Missed Opportunity (Macmillan & St. Martin’s, 1998) dan Howard Dick dkk., The Emergence of A National Economy (Allen & Unwin & U-Hawaii, 2002). Kedua buku ditulis dalam rangka lebih memahami ekonomi Indonesia modern sejak Indonesia Merdeka 1945. Karena tidak ada buku-buku sejarah ekonomi Indonesia, pakar-pakar ilmu sosial Indonesia termasuk pakar ekonomi tidak mempunyai referensi dalam menerangkan fenomena-fenomena ekonomi dan sosial masa kini dan dengan demikian juga tidak dapat memperkirakan akar-akar sejarah permasalahan sosial ekonomi dewasa ini. Dalam kondisi demikian banyak diantara mereka menggunakan referensi sejarah ekonomi negara-negara lain yang dianggap relevan, padahal barangkali mereka sadar referensi tersebut banyak yang tidak relevan.
Dalam pada itu buku-buku tentang ekonomi atau perekonomian Indonesia yang ditulis oleh pakar-pakar ekonomi Belanda seperti Boeke dan Furnival tidak dibaca dengan alasan yang kurang jelas. Perdebatan seru tentang tesis dualisme ekonomi yang terbit sebagai buku Indonesian Economics (Van Hoeve, 1966), belum pernah secara lengkap diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia untuk didiskusikan dalam kuliah-kuliah Ekonomi Indonesia. Mata kuliah Ekonomi Indonesia ini oleh konsorsium Ilmu Ekonomi di Direktoral Jenderal Pendidikan Tinggi telah diubah menjadi Perekonomian Indonesia, yang tentu saja sekedar membicarakan fenomena-fenomena dan bekerjanya perekonomian Indonesia Modern, terutama sejak tahun 1966 (Masa Orde Baru). Penulis buku ini yang mengampu kuliah ekonomi Indonesia selama 20 tahun terakhir, tetap menyebutnya sebagai Ekonomi Indonesia, dan mengisinya dengan sejarah perekonomian Indonesia (sejak masa penjajahan) dan sejarah pemikiran ekonomi Indonesia. Disamping itu dibahas pula sistem ekonomi Indonesia dengan memberikan perhatian dan penelusuran deskriptif dan analitis pada sejarah sistem ekonomi sejak sistem ekonomi monopolistik ala VOC (1600 – 1800), sistem ekonomi komando ala Tanam Paksa (1830 – 1870), dan sistem ekonomi kapitalis liberal sejak 1870. Salah satu buku penulis yang dipakai sebagai buku teks Ekonomi Indonesia berjudul Sistem dan Moral Ekonomi Indonesia (LP3ES, 1988) dan Membangun Sistem Ekonomi (BPFE, 2000).
Buku Anne Booth, yang banyak mengacu pada buku-buku sejarah ekonomi penulis-penulis Belanda menggambarkan dengan baik sejarah ekonomi rakyat Indonesia khususnya pada bab 7, Market and Entrepreneurs. Perkembangan sistem pasar di Indonesia tidak pernah mulus karena selalu tertekan oleh “sistem ekonomi” yang diterapkan di Indonesia sebagai “negara jajahan”. Pada 200 tahun pertama masa kolonialisme (1600 – 1800), persatuan Pedagang Belanda (VOC) menerapkan sistem monopoli (monopsoni) dalam membeli komoditi-komoditi perdagangan seperti rempah-rempah (lada dan pala, cengkeh, kopi dan gula), sehingga harganya tertekan karena ditetapkan sepihak oleh VOC. Meskipun VOC tidak sama dengan pemerintah penjajah Belanda, tetapi petani Indonesia merasa VOC mempunyai kekuasaan dan daya-paksa seperti pemerintah juga karena VOC mempunyai aparat “pemerintahan”, bahkan memiliki tentara. Itulah sebabnya Companie diucapkan orang Indonesia sebagai kumpeni yang tidak lain berarti “tentara” yang dapat memaksa-maksa petani menyerahkan komoditi perdagangannya yang “dipaksa beli” oleh VOC. Selanjutnya setelah VOC bubar (bangkrut tahun 1799), pemerintah penjajah Belanda tidak segera menemukan cara-cara tepat untuk mengekploitasi Indonesia, bahkan pemerintah ini terhenti sementara (1811-1816) karena penguasaan atas Indonesia diambil alih oleh Inggris pada saat Belanda di duduki Jerman, dan pemerintah Belanda mengungsi ke Inggris. Letnan Gubernur Thomas Robert Raffles memperkenalkan sistem sewa tanah untuk mengefisienkan tanah jajahan. Sistem sewa tanah ini tidak segera diambil alih pemerintah penjajah Belanda setelah Indonesia (Hindia Belanda ) diserahkan kembali kepada Belanda.
Pada tahun 1830 pada saat pemerintah penjajah hampir bangkrut setelah terlibat perang Jawa terbesar (Perang Diponegoro 1825-1830), dan Perang Paderi di Sumatera Barat (1821-1837), Gubernur Jendral Van den Bosch mendapat izin khusus melaksanakan sistem Tanam Paksa (Cultuur Stelsel) dengan tujuan utama mengisi kas pemerintahan jajahan yang kosong, atau menutup defisit anggaran pemerintah penjajahan yang besar. Sistem tanam paksa ini jauh lebih keras dan kejam dibanding sistem monopoli VOC karena ada sasaran pemasukan penerimaan negara yang sangat dibutuhkan pemerintah. Petani yang pada jaman VOC wajib menjual komoditi tertentu pada VOC, kini harus menanam tanaman tertentu dan sekaligus menjualnya pada harga yang ditetapkan kepada pemerintah. Maka tidak ada perkembangan yang bebas dari sistem pasar.
Selain itu kehidupan rakyat kecil (ekonomi rakyat) makin berat karena penduduk desa yang tidak memiliki tanah harus bekerja 75 hari dalam setahun (20%) pada kebun-kebun milik pemerintah yang menjadi semacam pajak. Produksi pangan rakyat merosot dan timbul kelaparan di berbagai tempat di Jawa. Tanam Paksa adalah sistem ekonomi yang merupakan noda hitam bagi sejarah penjajahan Belanda di Indonesia, meskipun bagi pemerintah Belanda dianggap berhasil karena memberikan sumbangan besar bagi kas pemerintah. Selama sistem tanam paksa kas pemerintah jajahan Belanda mengalami surplus (batig slot). Sistem tanam paksa yang kejam ini setelah mendapat protes keras dari berbagai kalangan di Belanda dihapus pada tahun 1870, meskipun untuk tanaman kopi diluar Jawa masih terus berlangsung sampai 1915. Akhirnya sistem ekonomi ke-3 dan terakhir pada jaman penjajahan yang berlangsung sampai Indonesia merdeka adalah sistem ekonomi kapitalis liberal, yang pelaku penentu utamanya bukan lagi pemerintah tetapi pengusaha swasta, sedangkan pemerintah sekedar sebagai penjaga dan pengawas melalui peraturan-peraturan per-undang-undangan. Undang-undang pertama yang menandai sistem baru ini adalah UU Agraria tahun 1870, yang memperbolehkan perusahaan-perusahaan perkebunan swasta menyewa lahan-lahan yang luas untuk jangka waktu sampai 75-99 tahun, untuk ditanami tanaman keras seperti karet, teh, kopi, kelapa sawit, atau untuk tanaman semusim seperti tebu dan tembakau dalam bentuk sewa jangka pendek. Pada saat tanaman-tanaman perdagangan ini mulai dikembangkan, di beberapa daerah rakyat sudah lebih dulu menanaminya, sehingga terjadi persaingan antara perkebunan-perkebunan besar dengan perkebunan-perkebunan rakyat. Dalam persaingan antara dua sub-sistem perkebunan inilah mulai muncul masalah peranan yang tepat dan adil dari pemerintah. Di satu pihak pemerintah ingin agar perusahaan-perusahaan swasta memperoleh untung besar sehingga pemerintah mendapat bagian keuntungan berupa pajak-pajak perseroan atau pajak pendapatan dari staf dan karyawan. Tetapi di pihak lain penduduk pribumi yaitu pekebun-pekebun kecil (perkebunan rakyat) yang sebelumnya sudah mengembangkan tanaman-tanaman ini “tidak boleh dirugikan” terutama dalam pemasaran hasilnya. Terutama dalam produksi dan pemasaran karet persaingan segera timbul, dan pemerintah yang tentunya berkepentingan meningkatkan kemakmuran rakyat tidak boleh membiarkan merosotnya kemakmuran rakyat ini, sehingga harus terus menerus mengawasi hubungan antara keduanya. Misalnya pada saat harga karet jatuh pada awal tahun 1920-an ada usulan pembatasan produksi karet (Stevensen Restriction Scheme) dari pemerintah penjajahan Inggris di Malaya yang tidak disambut baik oleh pemerintah Hindia Belanda. Perkebunan karet rakyat memiliki daya tahan jauh lebih kuat menghadapi krisis ketimbang perusahaan-perusahaan perkebunan swasta besar.
Tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan terutama Mohammad Hatta, yang belajar ilmu Ekonomi di Rotterdam, banyak menyoroti nasib buruk ekonomi rakyat yang selalu tertekan oleh pelaku sektor ekonomi modern yang dikuasai investor-investor Belanda, terutama dalam pertanian dan perkebunan, dan dikenal sebagai pertanian rakyat dan perkebunan rakyat (smallholder). Pertanian dan perkebunan rakyat dengan pemilikan lahan yang sempit, dengan teknologi sederhana dan modal seadanya, sulit berkembang karena merupakan usaha-usaha subsisten. Sebaliknya pertanian dan terutama perkebunan besar yang luasnya puluhan atau ratusan ribu hektar yang menggunakan teknologi unggul dan modal besar dalam memproduksi komoditi ekspor (karet, teh, kelapa sawit, tebu dan tembakau), tidak tertarik bekerjasama dengan usaha-usaha ekonomi rakyat. Mereka, perkebunan besar, bahkan khawatir rakyat “menyaingi” hasil-hasil perkebuan besar karena hasil-hasil perkebunan rakyat dapat jauh lebih murah meskipun mungkin mutunya tidak tinggi. Demikian karena ekonomi rakyat merupakan kegiatan penduduk pribumi dan usaha-usaha besar merupakan milik pengusaha-pengusaha Belanda atau pengusaha asing lain dari Eropa, maka para pemimpin pergerakan seperti Hatta, Syahrir, dan Soekarno, selalu memihak pada ekonomi rakyat dan berusaha membantu dan memikirkan upaya-upaya untuk memajukannya. Maka Hatta berkali-kali menulis di Daulat Rakyat tentang bahaya-bahaya yang mengancam ekonomi rakyat dan bagaimana ekonomi rakyat harus bersatu atau mempersatukan diri dalam organisasi koperasi sebagai bangun usaha yang sesuai dengan asas kekeluargaaan. Hanya dalam asas kekeluargaan dapat diwujudkan prinsip demokrasi ekonomi yaitu produksi dikerjakan oleh semua, dan untuk semua, sedangkan pengelolaannya dipimpin dan diawasi anggota-anggota masyarakat sendiri. Inilah yang kemudian dijadikan pedoman umum penyusunan sistem ekonomi Indonesia sebagai usaha bersama yang berasaskan kekeluargan sebagaimana tercantum sebagai pasal 33 UUD 1945.
Ekonomi rakyat sebagai mata pencaharian sebagian besar rakyat (rakyat banyak) memiliki daya tahan tinggi terhadap ancaman dan goncangan-goncangan harga internasional. Pada saat terjadi depresi pada tahun 20-an dan 30-an ketika perkebunan-perkebunan besar Belanda merugi karena anjlognya harga ekspor, justru perkebunan rakyat menikmatinya.
The 1920s were the “golden age” (hujan emas or “golden rain”) for smallholder rubber, long remembered among rural residents in Palembang, Jambi, and West and South Kalimantan. Consumption of both local and imported goods quickly increased. The number of motor cars in Palembang rose from 300 in 1922 to 1300 in 1924 and more than 19000 bicycles and 17000 sewing-machines were imported into Palembang and Jambi in 1920s ….. Much romantic nostalgia surrounded the hujan emas in the rubber regions in the Outer islands (Howard Dick et. al, 2002:138).
Pada zaman pendudukan Jepang dan awal kemerdekaan, ekonomi rakyat makin berkembang dengan pemasaran dalam negeri yang makin luas ditambah pasar luar negeri yang ditinggalkan perkebunan-perkebunan besar yang mulai mundur. Dan dalam hal komoditi tebu di Jawa tanaman tebu rakyat mulai berperanan besar menyumbang pada produksi gula merah (gula mangkok) baik untuk kebutuhan dalam negeri maupun ekspor. Pada tahun 1975 pemerintah yang mulai pusing mengelola industri gula di Jawa membuat putusan mengagetkan dengan Inpres No. 9/1975 tentang Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) yang melarang pabrik-pabrik gula (pemerintah maupun swasta ) menyewa lahan milik petani. Semua tanah sawah dan tanah kering harus ditanami tebu rakyat karena tanaman rakyat dianggap lebih unggul khususnya secara ekonomis dibanding tanaman perkebunan besar/pabrik, dan yang paling penting pemerintah ingin menghilangkan konflik-konflik yang selalu terjadi antara pabrik-pabrik gula dan rakyat pemilik tanah. Kebijaksanaan TRI ini gagal total karena mengabaikan kenyataan pemilikan tanah rakyat yang sudah sangat sempit, yang mempunyai pilihan (alternatif) untuk ditanami padi. Karena tebu sebagai bahan baku untuk gula harganya ditetapkan pemerintah, sedangkan untuk padi tidak, maka di mana pun petani memilih menanam padi. Akibatnya tujuan untuk menaikkan produksi dan produktivitas tebu tidak tercapai (produksi gula merosot), dan Inpres TRI ini dicabut pada tahun 1998 setelah sangat terlambat, dan membuat kerusakan besar pada industri gula di Jawa. Dewasa ini industri gula di Jawa termasuk salah satu industri yang paling sakit di Indonesia.
Demikian sejarah ekonomi rakyat berawal jauh sebelum Indonesia merdeka, namun tidak banyak pakar mengenalnya karena para pakar, khususnya pakar-pakar ekonomi, memang hanya menerapkan ilmunya pada sektor ekonomi modern terutama sektor industri dengan hubungan antara faktor-faktor produksi tanah, tenaga kerja, dan modal serta teknologi yang jelas dapat diukur. Karena dalam ekonomi rakyat pemisahan atau pemilahan faktor-faktor produksi ini tidak dapat dilakukan maka pakar-pakar ekonomi “tidak berdaya” melakukan analisis-analisis ekonomi.
IV . Peranan Ilmu Ekonomi
Ilmu Ekonomi yang diajarkan dan diterapkan di seluruh dunia sejak Perang Dunia II yang dirintis awal oleh buku Economics An Introductory Analysis (Paul Samuelson dari MIT, 1946, sekarang tahun 2001 edisi ke-17) dikenal sebagai teori ekonomi Neoklasik. Isi ajaran ekonomi Neoklasik merupakan sintesa teori ekonomi pasar persaingan bebas Klasik (Homo ekonomikus dan invisible hand Adam Smith), dan ajaran marginal utility dan keseimbangan umum Neoklasik. Tekanan ajaran ekonomi Neoklasik adalah bahwa mekanisme pasar persaingan bebas, dengan asumsi-asumsi tertentu, selalu menuju keseimbangan dan efisiensi optimal yang baik bagi semua orang. Artinya jika pasar dibiarkan bebas, tidak diganggu oleh aturan-aturan pemerintah yang bertujuan baik sekalipun, masyarakat secara keseluruhan akan mencapai kesejahteraan bersama yang optimal (Pareto Optimal)
Di Indonesia, sampai dengan krismon tahun 1997, ilmu ekonomi yang dipahami seperti digambarkan di atas menduduki tempat terhormat di kalangan ilmu-ilmu sosial. Misalnya insinyur yang belajar dan mengambil derajat tambahan ilmu ekonomi, dan kemudian bergelar Dr. Ir, diakui memiliki kemampuan “luar biasa” atau keahlian ekstra karena disamping teknolog juga masuk “kelompok elit teknokrat ekonomi”.
Satu alasan kuat lain dari tingginya prestise ilmu ekonomi adalah keberhasilan para Guru Besar Ekonomi Universitas Indonesia, dan teknokrat ekonomi lain, dalam membangun ekonomi Indonesia selama Orde Baru (1966-1997). Dalam setiap kabinet, tokoh-tokoh ekonomi terutama dari FE-UI menduduki pos-pos utama ekonomi seperti Menteri Keuangan, Perdagangan, dan Industri. Dan BAPPENAS yang ditugasi merancang dan mengendalikan pembangunan nasional selalu diketuai pakar ekonomi, kecuali sejak tahun 1993 yang pimpinannya dipercayakan pada 2 Insinyur. Bagi sementara orang, krismon tahun 1997 yang tidak diduga datangnya justru disebabkan antara lain karena kepemimpinan tim ekonomi pemerintah tidak lagi dipegang ekonom “profesional”.
Pemikiran yang ingin kami kembangkan adalah bahwa krismon 1997 dan ketimpangan ekonomi dan sosial yang serius sejak pertengahan tahun delapan puluhan, terutama disebabkan oleh strategi pembangunan yang terlalu berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, dan kurang memperhatikan asas pemerataan dan keadilan. Dan strategi yang “keliru” ini diterapkan karena ekonom (teknokrat ekonomi) memperoleh kepercayaan berlebihan dalam penyusunan strategi pembangunan. Terhadap kesimpulan terakhir para teknokrat banyak yang keberatan karena menurut mereka ajaran dan nasihat-nasihat yang mereka berikan tidak pernah salah. Yang salah adalah pelaksanannya, bukan teorinya, lebih-lebih jika diingat bahwa krismon terjadi setelah tim ekonomi pemerintah semakin dikuasai oleh non-ekonom, khususnya di BAPPENAS.
Menggugat Ajaran Ekonomi Neoklasik
Mempertanyakan kembali ajaran ilmu ekonomi Neoklasik tidaklah unik di Indonesia. Gunnar Myrdal (1967) menyatakan sejak amat awal bahwa teori ekonomi tidak dikembangkan untuk menganalisis masalah-masalah ekonomi negara-negara terbelakang (under developed regions). Bagi negara-negara yang disebut terakhir, belakangan disebut negara-negara selatan, harus dikembangkan teori lain oleh para ekonom muda dari negara-negara sedang berkembang sendiri. J.H.Boeke, ekonom Belanda, menyatakan hal yang sama jauh sebelumnya dalam disertasinya tahun 1910, dan diperkuatnya dalam pidato pengukuhan Guru Besar Ekonomi kolonial tropik tahun 1930 di Universitas Leiden. Pada tahun 1979 dalam pidato pengukuhan Guru Besar di Universitas Gadjah Mada, kami secara eksplisit menyatakan bahwa teori ekonomi Neoklasik bermanfaat untuk menumbuhkan perekonomian tetapi tidak menolong untuk mengadakan pemerataan dan mewujudkan keadilan. Selanjutnya mengikuti ajaran Joan Robinson (1962), yang menekankan bahwa ilmu ekonomi membahas sistem ekonomi, bukan tentang ahli-ahli ekonomi, maka dalam buku Membangunan Sistem Ekonomi (BPFE, 2000), kami lebih spesifik lagi menunjukkkan bahwa ideologi Pancasila yang telah diterima sebagai ideologi bangsa Indonesia harus, mau tidak mau, dijadikan landasan sistem ekonomi nasional. Maka sistem ekonomi Indonesia adalah, tidak lain, Sistem Ekonomi Pancasila.
Meskipun secara politis Pancasila, dan kerakyatan sebagai sila ke-4, sudah diterima dan dapat dijadikan acuan sistem ekonomi nasional, tokh dalam kenyataan, para pakar, khususnya pakar ekonomi, merasa sulit atau enggan memasukkannya dalam “model” pembangunan ekonomi. Lebih-lebih dengan munculnya kembali ajaran liberalisasi dan globalisasi pertengahan tahun delapan puluhan, yang dijiwai atau diilhami semangat neoliberalisme, keunikan ideologi Pancasila makin dipertanyakan, dan dianggap tidak akan mampu menghadapi ideologi global neoliberalisme. “Daripada susah-susah akan lebih baik kita mengikuti ideologi global Kapitalisme-Neoliberalisme, yang sejak 1989-1990 memang telah mengalahkan paham saingannya yaitu Sosialisme.” Demikian sikap menyerah kalah ini banyak menghinggapi tokoh-tokoh ekonom kita, yang pada awal Orde Baru (1996) pernah sangat percaya perlunya Indonesia membangun masyarakat sosialisme Pancasila atau Sosialisme berdasarkan Pancasila (TAP No. XXIII/MPRS/1966).
Dewasa ini makin banyak ditemukan buku yang menentang arus globalisasi yang menggunakan teori ekonomi neoklasik dan diperkuat paham Neo-liberalisme. Perlawanan dan bahkan pemberontakan terhadap dominasi ajaran/resep-resep IMF dan Bank Dunia dipimpin ekonom-ekonom yang pernah bekerja di IMF atau Bank Dunia sendiri, yang paling terkenal adalah Joseph Stiglitz (Ha-Joon Chang, 2001).
The straight forward view of development as an upward climb, common to all nations but with different countries at different stages, is misleading and certainly inadequate for the twenty-first century. (Jonathan M. Harris et al, A Survey of Sustainable Development, Island Press, 2001) .
Demikian kini tidak hanya praktek pembangunan yang dipertanyakan, tetapi teori yang melandasi praktek-praktek pembangunan itu sendiri mulai digugat. Jika tahun 1995 sudah terbit buku Paul Ormerod berjudul The Death of Economics, kini terbit lagi buku Debunking Economics: The Naked Emperor of the Social Sciences oleh Steve Keen (Pluto Press, Australia, 2001). Buku ini menolak total ajaran ekonomi Neoklasik, yang disamping benar-benar tak berguna juga pengajarannya seperti “indoktrinasi”. Dalam buku lain, Economics as Religion (Pennsylvania State UP, 2001), Robert Nelson juga menolak ajaran Neoklasik yang sudah menjadi semacam agama.
Beneath the surface of their economic theorizing, economist are engaged in an act of delivering religious messages. Correctly understood these messages are seem to be promises of the true path to a salvation in world to a new heaven on earth. (RH. Nelson, 2001, h. 20).
Alasan kuat penerimaan dan penerapan teori ekonomi neoklasik adalah bahwa ia merupakan satu-satunya teori yang tersedia sehingga “tidak ada alternatif”. Untuk menjawab keberatan demikian, Debunking Economics secara khusus menutup bukunya dengan alternatif-alternatif berikut: (Keen, 2001, h.300).
1. Austrian Economics, yang menerima banyak ajaran ekonomi Neoklasik kecuali konsep keseimbangan.
2. Post Keynesian Economics, yang sangat kritis terhadap ajaran Neoklasik dan menekankan pada pentingnya ketidakpastian.
3. Sraffian Economics, mendasarkan pada konsep produksi komoditi oleh komoditi.
4. Complexity Theory, yang menerapkan konsep dinamika non linear dan teori kekacauan terhadap isu-isu ekonomi.
5. Evolutionary Economics, yang memperlakukan perekonomian sebagai sistem evolusi ala Darwin.
Dari ke-5 “alternatif” terhadap teori ekonomi Neoklasik tersebut, teori ekonomi evolusioner mencakup apa yang dikenal dengan teori ekonomi kelembagaan yang mula-mula diusulkan Thorstein Veblen (1898), dan kemudian dikembangkan oleh John R. Commons (1904-1905) di Wisconsin. Ekonomi kelembagaan ala John Commons menunjukkan betapa teori ekonomi bisa sangat relevan untuk memecahkan masalah-masalah sosial yang secara nyata dihadapi masyarakat pada waktu dan tempat tertentu, dan sebaliknya bisa terasa begitu aneh dan mandul pada waktu dan tempat lain sebagaimana dirasakan 4-5 tahun terakhir di Indonsia.
Menjelang krismon di Indonesia bulan Juli 1997, 4 tahun setelah Indonesia dipuja-puji sebagai salah satu “Keajaiban Asia”, karena pertumbuhan ekonomi yang cepat dengan pembagian pendapatan “sangat merata”, pakar-pakar ekonomi Indonesia maupun pakar-pakar ekonomi asing di Indonesia “sesumbar” bahwa tidak mungkin ekonomi Indonesia mengalami krisis keuangan. “Indonesia bukan Thailand”, dan tahun 2001 dikatakan “ Indonesia bukan Argentina”. Jika keberhasilan pembangunan ekonomi Indonesia sering dikatakan karena para teknokrat (ekonom) telah secara cerdas menerapkan terori ekonomi Neoklasik, maka krismon tentunya tidak mungkin melanda Indonesia yang memiliki fundamental ekonomi kuat seperti inflasi rendah, cadangan devisa kuat, dan pertumbuhan ekonomi tinggi. Sesungguhnya kasus Indonesia menunjukkan kelemahan teori ekonomi neoklasik yang tidak mampu memberikan peringatan dini akan ancaman bahaya krismon padahal sejumlah ilmuwan sosial lain khususnya sosiolog dan anthropolog sudah berulang kali mengingatkannya. Kami sendiri pada tahun 1981 menulis artikel “keras” yang mengingatkan bahaya “penyakit kanker” yang sudah menyerang ekonomi Indonesia, tetapi dianggap para ekonom Neoklasik sebagai dagelan yang tidak lucu atau teori ekonomi yang “ngawur”. Demikian pada editorial majalah “Business News” (4 Agustus 1984) pandangan kami tentang “Ekonomi Pancasila” diputar balik dan dianggap “menolak pertumbuhan”, sehingga “tidak laku di Jakarta”.
V . Pengajaran Ilmu Ekonomi
Satu kesalahan besar yang berubah menjadi semacam dosa dari dosen-dosen pengajar ekonomi di Universitas-universitas di Indonesia adalah bahwa mereka hanya mengajarkan separo saja dari ajaran ekonom klasik Adam Smith. Konsep Smith tentang Manusia Sosial (homosocialis, tahun 1759) dilupakan atau tidak diajarkan, sedangkan ajaran berikutnya pada tahun 1776 (manusia sebagai homoeconomicus) dipuja-puji secara membabi buta. Menurut konsep terakhir manusia bersifat egois dan selfish, yang tidak pernah mau tahu kepentingan orang lain meskipun yang benar adalah sebaliknya :
Man it has been said, has a natural love for society, and desires that the union of mankind should be preserved for its own sake, and though the himself was to derive no benefit form it. (Adam Smith, 1759 h. 9).
Dosa ke-2 dari dosen-dosen ilmu ekonomi adalah mengajarkan secara penuh metode analisis deduktif dari teori ekonomi neoklasik, padahal seharusnya disadari bahwa Alfred Marshall dan Gustave Schmoller sebelumnya, yang merupakan tokoh-tokoh teori ekonomi Neoklasik, memesankan secara sungguh-sungguh dipakainya dua metode secara serentak (deduktif dan induktif), laksana 2 kaki (kanan dan kiri) untuk berjalan. Ajaran asli Mazhab sejarah Jerman inilah yang sesungguhnya dan seharusnya mengingatkan peristiwa pergulatan metode (metodensreit) pakar-pakar ekonomi tahun 1873-1874 dalam penggunaan model-model matematika yang kebablasan dan sekaligus mengabaikan data-data sejarah yang relevan. Mengajarkan ilmu ekonomi matematika (matematika ekonomi) dianggap lebih gagah dibandingkan keharusan membaca data-data sejarah dalam buku-buku tebal, meskipun jelas mempelajari sejarah lebih relevan. Selain itu mengajar ekonomika secara induktif-empirik memang membutuhkan waktu dan tenaga lebih banyak, dan jika waktu sangat mendesak atau terbatas, maka mengajar dengan metode deduktif memang merupakan pilihan yang mudah.
Kita tentu berterima kasih dan bersyukur ada ilmu sosial yang bernama ilmu ekonomi yang telah berjasa membantu manusia menyusun resep-resep dan model-model yang semakin canggih untuk membangun perekonomian modern, dengan akibat standar kehidupan manusia juga semakin tinggi. Ekonomi Indonesia yang pada tahun-tahun awal kemerdekaan selama dua dasawarsa (1945-1966) merupakan perekonomian agraris yang terbelakang, kini sudah jauh lebih maju dan modern dengan standar hidup manusia rata-rata hampir 10 kali lipat. Pertanyaannya, apakah kemajuan tersebut merupakan jasa Ilmu Ekonomi? Mungkin lebih tepat pertanyaannya diubah menjadi sejauh mana ilmu ekonomi telah menyumbang pada kemajuan tersebut. Jika jawaban atas pertanyaan ini negatif, artinya sumbangan ilmu ekonomi hanya kecil saja dibanding ilmu-ilmu eksakta seperti ilmu-ilmu teknik, pertanian, atau kesehatan, maka tidak ada masalah. Masalah akan timbul jika ilmu ekonomi dikatakan berperan sangat besar dan menentukan dalam pembangunan nasional terutama sejak Orde Baru, dengan keterangan lebih lanjut bahwa para teknokrat ekonomilah yang telah berjasa besar, karena mereka menduduki posisi-posisi kunci dalam pemerintahan dan lembaga perencanaan ekonomi serta menjadi penetu-penentu kebijaksanaan pembangunan.
Memang tidak mungkin kita berteori seandainya pada awal Orde Baru bukan ekonom, tetapi sosiolog atau anthropolog yang lebih berperanan, apakah hasilnya akan berbeda, lebih baik atau lebih buruk. Namun jika era Orde Baru kini dianggap telah berakhir dan kini kita mengadakan reformasi dalam segala bidang termasuk reformasi ekonomi, tidak sahkah jika kita juga menggugat yang salah dalam pembangunan ekonomi, dan peranan ilmu ekonomi di dalamnya? Lebih jauh kiranya kita berhak mempertanyakan jangan-jangan jika ilmu ekonomi jenis lain yang kita terapkan dan kita ajarkan di Indonesia sejak lahirnya fakultas-fakultas ekonomi, kondisi masyarakat (ekonomi) kita lebih baik dari sekarang. Ilmu ekonomi lain sudah ada dan berkembang di dunia termasuk di Amerika Serikat, hanya saja karena ilmu ekonomi Neoklasik memang memegang monopoli untuk diajarkan di AS dan negara Eropa Barat lain, maka ilmu ekonomi itulah yang juga diajarkan dan diterapkan di Indonesia dan negara-negara berkembang lain.
Salah satu kelemahan amat menonjol dari Ilmu Ekonomi Neoklasik adalah keengganannya untuk memasukkan faktor budaya dan masalah keadilan dalam model analisisnya. Bagi Indonesia yang berideologi Pancasila yang bertujuan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat, yaitu masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila, maka pembangunan ekonomi dan ilmu ekonomi yang melandasi penyusunan kebijakan-kebijakan harus mempertimbangkan faktor keadilan ekonomi dan keadilan sosial. Dan ilmu ekonomi yang diajarkan di Fakultas-fakultas Ekonomi haruslah ilmu ekonomi kelembagaan ajaran John R. Commons yang dikembangkan di University of Wisconsin Madison tahun 1904-05.
VI . KESIMPULAN
Satu tahun menjelang pensiun, setelah 40 tahun mengajar, kami merasa bahwa sarjana-sarjana ekonomi yang kami didik dan kami hasilkan tidak terlalu berbeda dengan sarjana-sarjana ilmu sosial lain dalam keahlian dan ketrampilan memecahkan masalah-masalah sosial masyarakat. Di daerah-daerah, para sarjana ekonomi seringkali tidak menunjukkan kelebihan penguasaan cara-cara berpikir ekonomi dalam menyusun rencana-rencana pembangunan bagi pemerintah daerah dan masayarakat di daerah. Jika berada di Bappeda, yang banyak diantaranya tidak dipimpin sarjana ekonomi, mereka, sarjana ekonomi, sering tidak menonjol berpikir tentang ekonomi. Tidak jarang sarjana-sarjana sosial non-ekonomi lebih cerdas berpikir ekonomi dan mampu mengusulkan rencana-rencana pembangunan yang rasional ketimbang sarjana ekonomi.
Kesimpulan kita adalah bahwa pengajaran ilmu ekonomi di Fakultas-fakultas Ekonomi kita kurang tajam (vigorous), kurang relevan, atau keliru. Lebih merisaukan lagi jika kemudian timbul kesan bahwa ilmu ekonomi mengajarkan bagaimana orang mencari uang, atau mengejar untung, dengan tidak mempertimbangkan akibat tindakan seseorang bagi orang lain. Ilmu ekonomi yang mengajarkan bahwa manusia adalah homo-economicus cenderung mengajarkan sikap egoisme, mementingkan diri sendiri, cuek dengan kepentingan orang lain, bahkan mengajarkan keserakahan. Karena ilmu ekonomi mengajarkan keserakahan maka tidak mengherankan bahwa dalam kaitan konflik kepentingan ekonomi antara perusahaan-perusahaan konglomerat dan ekonomi rakyat, para sarjana ekonomi cenderung atau terang-terangan memihak konglomerat. Dan lebih gawat lagi mereka yang memihak ekonomi rakyat atau melawan konglomerat, dianggap bukan ekonom. Misalnya dalam masalah kenaikan upah minimum propinsi (UMP) tidak diragukan bahwa jika tidak mau di sebut “bukan ekonom” anda harus berpihak pada majikan /pengusaha karena pemaksaan kenaikan UMP “pasti berakibat pada meluasnya penggangguran”.
Sekiranya sebagian dosen Fakultas Ekonomi tidak sependapat dengan pandangan atau keprihatinan kami, dan tetap bersikukuh bahwa sarjana-sarjana ekonomi didikan kita sudah memenuhi “standar internasional”, yaitu penguasaan teori-teori ekonomi secara memadai, maka keprihatinan kami bergeser pada pertanyaan mengapa kita tidak berusaha keras menghasilkan sarjana ekonomi Indonesia yang benar-benar mampu memecahkan masalah-masalah ekonomi kongkrit yang dihadapi bangsa Indonesia. Mengapa dalam upaya pemulihan ekonomi kita tim ekonomi pemerintah atau para ekonom di EKUIN atau BAPPENAS dikabarkan selalu menyatakan “tidak ada jalan lain” kecuali dengan cara berhutang lagi, atau merangsang investor-investor asing baru?
Dalam menghadapi globalisasi dan “keharusan” mengadakan privatisasi BUMN, juga makin mencolok dan makin tajam perbedaan pandangan sarjana-sarjana ekonomi Indonesia. Mayoritas sarjana-sarjana ekonomi Indonesia menganggap bahwa globalisasi tidak terelakkan dan akan “counter productive” jika kita mati-matian melawannya. Benarkah demikian? Mengapa kini banyak buku-buku “anti globalisasi” diterbitkan, dan sejumlah tokoh ekonomi (Pemenang Nobel 2001) Joseph Stiglitz “memberontak” terhadap cara-cara IMF dan Bank Dunia membantu negara-negara miskin.
Mungkin masih tetap banyak yang tidak sependapat dengan kami bahwa dosen-dosen ekonomi di Universitas telah “berdosa” mengajarkan ilmu ekonomi secara keliru atau bahkan mengajarkan “ilmu ekonomi yang keliru”. Jika demikian, mereka tetap merasa tak bersalah, kami ingin menghimbau sarjana ekonomi lain yang jumlahnya sedikit, yang setuju dengan pandangan kami, untuk bekerja keras mengajak rekan-rekan lainnya yang belum masuk barisan untuk memperkuat barisan. Marilah kita membuat gerakan “mengkaji ulang” relevansi teori-teori ekonomi yang sudah mapan dari Amerika ini. Ilmu ekonomi sebagai ilmu sosial harus kita “Indonesiakan” menjadi ilmu ekonomi yang bermanfaat bagi bangsa Indonesia yang sedang membangun, khususnya dalam memberdayakan ekonomi rakyat. Dan caranya, seperti sudah disinggung di atas, ilmu ekonomi di Perguruan Tinggi harus diajarkan bersama sejarah ekonomi bangsa, ilmu sosiologi, antropologi, dan etika Pancasila.
Prof. Dr. Mubyarto: Guru Besar FE - UGM
Langganan:
Postingan (Atom)