Senin, April 04, 2011

OUTSOURCING (ALIH DAYA) DAN PENGELOLAAN TENAGA KERJA PADA PERUSAHAAN:

OUTSOURCING (ALIH DAYA) DAN PENGELOLAAN
TENAGA KERJA PADA PERUSAHAAN:
(Tinjauan Yuridis terhadap Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan) *
oleh Pan Mohamad Faiz

Abstrak

Dalam pengertian umum, istilah outsourcing (Alih Daya) diartikan sebagai contract (work) out seperti yang tercantum dalam Concise Oxford Dictionary, sementara mengenai kontrak itu sendiri diartikan sebagai berikut:[6]

“ Contract to enter into or make a contract. From the latin contractus, the past participle of contrahere, to draw together, bring about or enter into an agreement.” (Webster’s English Dictionary)

Pengertian outsourcing (Alih Daya) secara khusus didefinisikan oleh Maurice F Greaver II, pada bukunya Strategic Outsourcing, A Structured Approach to Outsourcing: Decisions and Initiatives, dijabarkan sebagai berikut :[7]

“Strategic use of outside parties to perform activities, traditionally handled by internal staff and respurces.”

Menurut definisi Maurice Greaver, Outsourcing (Alih Daya) dipandang sebagai tindakan mengalihkan beberapa aktivitas perusahaan dan hak pengambilan keputusannya kepada pihak lain (outside provider), dimana tindakan ini terikat dalam suatu kontrak kerjasama

Beberapa pakar serta praktisi outsourcing (Alih Daya) dari Indonesia juga memberikan definisi mengenai outsourcing, antara lain menyebutkan bahwa outsourcing (Alih Daya) dalam bahasa Indonesia disebut sebagai alih daya, adalah pendelegasian operasi dan manajemen harian dari suatu proses bisnis kepada pihak luar (perusahaan jasa outsourcing).[8] Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Muzni Tambusai, Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang mendefinisikan pengertian outsourcing (Alih Daya) sebagai memborongkan satu bagian atau beberapa bagian kegiatan perusahaan yang tadinya dikelola sendiri kepada perusahaan lain yang kemudian disebut sebagai penerima pekerjaan.[9]

Dari beberapa definisi yang dikemukakan di atas, terdapat persamaan dalam memandang outsourcing (Alih Daya) yaitu terdapat penyerahan sebagian kegiatan perusahaan pada pihak lain.

I. Pendahuluan

Persaingan dalam dunia bisnis antar perusahaan membuat perusahaan harus berkonsentrasi pada rangkaian proses atau aktivitas penciptaan produk dan jasa yang terkait dengan kompetensi utamanya. Dengan adanya konsentrasi terhadap kompetensi utama dari perusahaan, akan dihasilkan sejumlah produk dan jasa memiliki kualitas yang memiliki daya saing di pasaran. Dalam iklim persaingan usaha yang makin ketat, perusahaan berusaha untuk melakukan efisiensi biaya produksi (cost of production).[1] Salah satu solusinya adalah dengan sistem outsourcing, dimana dengan sistem ini perusahaan dapat menghemat pengeluaran dalam membiayai sumber daya manusia (SDM) yang bekerja di perusahaan yang bersangkutan.[2] Outsourcing (Alih Daya) diartikan sebagai pemindahan atau pendelegasian beberapa proses bisnis kepada suatu badan penyedia jasa, dimana badan penyedia jasa tersebut melakukan proses administrasi dan manajemen berdasarkan definisi serta kriteria yang telah disepakati oleh para pihak.[3] Outsourcing (Alih Daya) dalam hukum ketenagakerjaan di Indonesia diartikan sebagai pemborongan pekerjaan dan penyediaan jasa tenaga kerja[4] pengaturan hukum outsourcing (Alih Daya) di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003 (pasal 64, 65 dan 66) dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia No.Kep.101/Men/VI/2004 Tahun 2004 tentang Tata Cara Perijinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh (Kepmen 101/2004).Pengaturan tentang outsourcing (Alih Daya) ini sendiri masih dianggap pemerintah kurang lengkap.

Dalam Inpres No. 3 Tahun 2006 tentang paket Kebijakan Iklim Investasi disebutkan bahwa outsourcing (Alih Daya) sebagai salah satu faktor yang harus diperhatikan dengan serius dalam menarik iklim investasi ke Indonesia. Bentuk keseriusan pemerintah tersebut dengan menugaskan menteri tenaga kerja untuk membuat draft revisi terhadap Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.[5] Outsourcing tidak dapat dipandang secara jangka pendek saja, dengan menggunakan outsourcing perusahaan pasti akan mengeluarkan dana lebih sebagai management fee perusahaan outsourcing. Outsourcing harus dipandang secara jangka panjang, mulai dari pengembangan karir karyawan, efisiensi dalam bidang tenaga kerja, organisasi, benefit dan lainnya. Perusahaan dapat fokus pada kompetensi utamanya dalam bisnis sehingga dapat berkompetisi dalam pasar, dimana hal-hal intern perusahaan yang bersifat penunjang (supporting) dialihkan kepada pihak lain yang lebih profesional. Pada pelaksanaannya, pengalihan ini juga menimbulkan beberapa permasalahan terutama masalah ketenagakerjaan.

Problematika mengenai outsourcing (Alih Daya) memang cukup bervariasi. Hal ini dikarenakan penggunaan outsourcing (Alih Daya) dalam dunia usaha di Indonesia kini semakin marak dan telah menjadi kebutuhan yang tidak dapat ditunda-tunda oleh pelaku usaha, sementara regulasi yang ada belum terlalu memadai untuk mengatur tentang outsourcing yang telah berjalan tersebut. Secara garis besar permasalahan hukum yang terkait dengan penerapan outsourcing (Alih Daya) di Indonesia sebagai berikut:
1. Bagaimana perusahaan melakukan klasifikasi terhadap pekerjaan utama (core business) dan pekerjaan penunjang perusahaan (non core bussiness) yang merupakan dasar dari pelaksanaan outsourcing (Alih Daya) ?

2. Bagaimana hubungan hukum antara karyawan outsourcing (Alih Daya) den perusahaan pengguna jasa outsourcing ?

3. Bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa bila ada karyawan outsource yang melanggar aturan kerja pada lokasi perusahaan pemberi kerja?

II. Definisi Outsourcing

Dalam pengertian umum, istilah outsourcing (Alih Daya) diartikan sebagai contract (work) out seperti yang tercantum dalam Concise Oxford Dictionary, sementara mengenai kontrak itu sendiri diartikan sebagai berikut:[6] “ Contract to enter into or make a contract. From the latin contractus, the past participle of contrahere, to draw together, bring about or enter into an agreement.” (Webster’s English Dictionary)
Pengertian outsourcing (Alih Daya) secara khusus didefinisikan oleh Maurice F Greaver II, pada bukunya Strategic Outsourcing, A Structured Approach to Outsourcing: Decisions and Initiatives, dijabarkan sebagai berikut :[7 “Strategic use of outside parties to perform activities, traditionally handled by internal staff and respurces.”

Menurut definisi Maurice Greaver, Outsourcing (Alih Daya) dipandang sebagai tindakan mengalihkan beberapa aktivitas perusahaan dan hak pengambilan keputusannya kepada pihak lain (outside provider), dimana tindakan ini terikat dalam suatu kontrak kerjasamaBeberapa pakar serta praktisi outsourcing (Alih Daya) dari Indonesia juga memberikan definisi mengenai outsourcing, antara lain menyebutkan bahwa outsourcing (Alih Daya) dalam bahasa Indonesia disebut sebagai alih daya, adalah pendelegasian operasi dan manajemen harian dari suatu proses bisnis kepada pihak luar (perusahaan jasa outsourcing).[8] Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Muzni Tambusai, Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang mendefinisikan pengertian outsourcing (Alih Daya) sebagai memborongkan satu bagian atau beberapa bagian kegiatan perusahaan yang tadinya dikelola sendiri kepada perusahaan lain yang kemudian disebut sebagai penerima pekerjaan.[9] Dari beberapa definisi yang dikemukakan di atas, terdapat persamaan dalam memandang outsourcing (Alih Daya) yaitu terdapat penyerahan sebagian kegiatan perusahaan pada pihak lain.

III. Pengaturan Outsourcing (Alih Daya) dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagai dasar hukum diberlakukannya outsourcing (Alih Daya) di Indonesia, membagi outsourcing (Alih Daya) menjadi dua bagian, yaitu: pemborongan pekerjaan dan penyediaan jasa pekerja/buruh.[10] Pada perkembangannya dalam draft revisi Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan outsourcing (Alih Daya) mengenai pemborongan pekerjaan dihapuskan, karena lebih condong ke arah sub contracting pekerjaan dibandingkan dengan tenaga kerja.[11]

Untuk mengkaji hubungan hukum antara karyawan outsourcing (Alih Daya) dengan perusahaan pemberi pekerjaan, akan diuraikan terlebih dahulu secara garis besar pengaturan outsourcing (Alih Daya) dalam UU No.13 tahun 2003.

Dalam UU No.13/2003, yang menyangkut outsourcing (Alih Daya) adalah pasal 64, pasal 65 (terdiri dari 9 ayat), dan pasal 66 (terdiri dari 4 ayat).

Pasal 64 adalah dasar dibolehkannya outsourcing. Dalam pasal 64 dinyatakan bahwa: Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.”

Pasal 65 memuat beberapa ketentuan diantaranya adalah:
* penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis (ayat 1);
* pekerjaan yang diserahkan pada pihak lain, seperti yang dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
- dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
- dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan;
- merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan;
- tidak menghambat proses produksi secara langsung. (ayat 2)
* perusahaan lain (yang diserahkan pekerjaan) harus berbentuk badan hukum (ayat 3);
perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan lain sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundangan (ayat 4);
* perubahan atau penambahan syarat-syarat tersebut diatas diatur lebih lanjut dalam keputusan menteri (ayat 5);
* hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan diatur dalam perjanjian tertulis antara perusahaan lain dan pekerja yang dipekerjakannya (ayat 6)
* hubungan kerja antara perusahaan lain dengan pekerja/buruh dapat didasarkan pada perjanjian kerja waktu tertentu atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu (ayat 7);
* bila beberapa syarat tidak terpenuhi, antara lain, syarat-syarat mengenai pekerjaan yang diserahkan pada pihak lain, dan syarat yang menentukan bahwa perusahaan lain itu harus berbadan hukum, maka hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan (ayat 8).

Pasal 66 UU Nomor 13 tahun 2003 mengatur bahwa pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa tenaga kerja tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.[12] Perusahaan penyedia jasa untuk tenaga kerja yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi juga harus memenuhi beberapa persyaratan, antara lain:[13]
* adanya hubungan kerja antara pekerja dengan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja;
* perjanjian kerja yang berlaku antara pekerja dan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu atau tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani kedua belah
* perlindungan upah, kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;
* perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dibuat secara tertulis.
Penyedia jasa pekerja/buruh merupakan bentuk usaha yang berbadan hukum dan memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.[14] Dalam hal syarat-syarat diatas tidak terpenuhi (kecuali mengenai ketentuan perlindungan kesejahteraan), maka demi hukum status hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan.[15]

IV. Penentuan Pekerjaan Utama (Core Business) dan Pekerjaan Penunjang (Non Coree Business) dalam Perusahaan sebagai Dasar Pelaksanaan Outsourcing

Berdasarkan pasal 66 UU No.13 Tahun 2003 outsourcing (Alih Daya) dibolehkan hanya untuk kegiatan penunjang, dan kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.

R.Djokopranoto dalam materi seminarnya menyampaikan bahwa :
“Dalam teks UU no 13/2003 tersebut disebut dan dibedakan antara usaha atau kegiatan pokok dan kegiatan penunjang. Ada persamaan pokok antara bunyi UU tersebut dengan praktek industri, yaitu bahwa yang di outsource umumnya (tidak semuanya) adalah kegiatan penunjang (non core business), sedangkan kegiatan pokok (core business) pada umumnya (tidak semuanya) tetap dilakukan oleh perusahaan sendiri. Namun ada potensi masalah yang timbul. Potensi masalah yang timbul adalah apakah pembuat dan penegak undang-undang di satu pihak dan para pengusaha dan industriawan di lain pihak mempunyai pengertian dan interpretasi yang sama mengenai istilah-istilah tersebut.”[16]Kesamaan interpretasi ini penting karena berdasarkan undang-undang ketenagakerjaan outsourcing (Alih Daya) hanya dibolehkan jika tidak menyangkut core business. Dalam penjelasan pasal 66 UU No.13 tahun 2003, disebutkan bahwa :
”Yang dimaksud dengan kegiatan penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi adalah kegiatan yang berhubungan di luar usaha pokok (core business) suatu perusahaan.Kegiatan tersebut antara lain: usaha pelayanan kebersihan (cleaning service), usaha penyediaan makanan bagi pekerja/buruh catering, usaha tenaga pengaman (security/satuan pengamanan), usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan, serta usaha penyediaan angkutan pekerja/buruh.Interpretasi yang diberikan undang-undang masih sangat terbatas dibandingkan dengan kebutuhan dunia usaha saat ini dimana penggunaan outsourcing (Alih Daya) semakin meluas ke berbagai lini kegiatan perusahaan. Konsep dan pengertian usaha pokok atau core business dan kegiatan penunjang atau non core business adalah konsep yang berubah dan berkembang secara dinamis.[17] Oleh karena itu tidak heran kalau Alexander dan Young (1996) mengatakan bahwa ada empat pengertian yang dihubungkan dengan core activity atau core business. Keempat pengertian itu ialah :[18]

* Kegiatan yang secara tradisional dilakukan di dalam perusahaan.
* Kegiatan yang bersifat kritis terhadap kinerja bisnis.
* Kegiatan yang menciptakan keunggulan kompetitif baik sekarang maupun di waktu yang akan datang.
* Kegiatan yang akan mendorong pengembangan yang akan datang, inovasi, atau peremajaan kembali.

Interpretasi kegiatan penunjang yang tercantum dalam penjelasan UU No.13 tahun 2003 condong pada definisi yang pertama, dimana outsourcing (Alih Daya) dicontohkan dengan aktivitas berupa pengontrakan biasa untuk memudahkan pekerjaan dan menghindarkan masalah tenaga kerja. Outsourcing (Alih Daya) pada dunia modern dilakukan untuk alasan-alasan yang strategis, yaitu memperoleh keunggulan kompetitif untuk menghadapi persaingan dalam rangka mempertahankan pangsa pasar, menjamin kelangsungan hidup dan perkembangan perusahaan.[19]

Outsourcing (Alih Daya) untuk meraih keunggulan kompetitif ini dapat dilihat pada industri-industri mobil besar di dunia seperti Nissan, Toyota dan Honda. Pada awalnya dalam proses produksi mobil, core business nya terdiri dari pembuatan desain, pembuatan suku cadang dan perakitan. Pada akhirnya yang menjadi core business hanyalah pembuatan desain mobil sementara pembuatan suku cadang dan perakitan diserahkan pada perusahaan lain yang lebih kompeten, sehingga perusahaan mobil tersebut bisa meraih keunggulan kompetitif.[20]Dalam hal outsourcing (Alih Daya) yang berupa penyediaan pekerja, dapat dilihat pada perkembangannya saat ini di Indonesia, perusahaan besar seperti Citibank banyak melakukan outsource untuk tenaga-tenaga ahli[21], sehingga interpretasi outsource tidak lagi hanya sekadar untuk melakukan aktivitas-aktivitas penunjang seperti yang didefinisikan dalam penjelasan UU No.13 tahun 2003. Untuk itu batasan pengertian core business perlu disamakan lagi interpretasinya oleh berbagai kalangan. Pengaturan lebih lanjut untuk hal-hal semacam ini belum diakomodir oleh peraturan ketenagakerjaan di Indonesia.

Perusahaan dalam melakukan perencanaan untuk melakukan outsourcing terhadap tenaga kerjanya, mengklasifikasikan pekerjaan utama dan pekerjaan penunjang ke dalam suatu dokumen tertulis dan kemudian melaporkannya kepada instansi ketenagakerjaan setempat.[22]

Pembuatan dokumen tertulis penting bagi penerapan outsourcing di perusahaan, karena alasan-alasan sebagai berikut :

1. Sebagai bentuk kepatuhan perusahaan terhadap ketentuan tentang ketenagakerjaan dengan melakukan pelaporan kepada Dinas Tenaga Kerja setempat;
2. Sebagai pedoman bagi manajemen dalam melaksanakan outsourcing pada bagian-bagian tertentu di perusahaan;
3. Sebagai sarana sosialisasi kepada pihak pekerja tentang bagian-bagian mana saja di perusahaan yang dilakukan outsourcing terhadap pekerjanya;
4. Meminimalkan risiko perselisihan dengan pekerja, serikat pekerja, pemerintah serta pemegang saham mengenai keabsahan dan pengaturan tentang outsourcing di Perusahaan.

V. Perjanjian dalam Outsourcing

Hubungan kerjasama antara Perusahaan outsourcing dengan perusahaan pengguna jasa outsourcing tentunya diikat dengan suatu perjanjian tertulis. Perjanjian dalam outsourcing (Alih Daya) dapat berbentuk perjanjian pemborongan pekerjaan atau perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh. Perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh para pihak harus memenuhi syarat sah perjanjian seperti yang tercantum dalam pasal 1320 KUH Perdata, yaitu:
1. Sepakat, bagi para pihak;
2. Kecakapan para pihak untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu hal tertentu;
4. Sebab yang halal.
Perjanjian dalam outsourcing (Alih Daya) juga tidak semata-mata hanya mendasarkan pada asas kebebasan berkontrak sesuai pasal 1338 KUH Perdata, namun juga harus memenuhi ketentuan ketenagakerjaan, yaitu UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Dalam penyediaan jasa pekerja, ada 2 tahapan perjanjian yang dilalui yaitu:
1. Perjanjian antara perusahaan pemberi pekerjaan dengan perusahaan penyedia pekerja/buruh ;
Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau perjanjian penyediaan jasa pekerja yang dibuat secara tertulis. Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :[23]
a. dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
b. dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan;
c. merupakakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan;
d. tidak menghambat proses produksi secara langsung.

Dalam hal penempatan pekerja/buruh maka perusahaan pengguna jasa pekerja akan membayar sejumlah dana (management fee) pada perusahaan penyedia pekerja/buruh
2. perjanjian perusahaan penyedia pekerja/buruh dengan karyawan
Penyediaan jasa pekerja atau buruh untuk kegiatan penunjang perusahaan hatus memenuhi syarat sebagai berikut :[24]
a. adanya hubungan kerja antara pekerja atau buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja atau buruh;
b. perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang memenuhi persyaratan dan atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua pihak;
c. perlindungan usaha dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja maupun perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.
Dengan adanya 2 (dua) perjanjian tersebut maka walaupun karyawan sehari-hari bekerja di perusahaan pemberi pekerjaan namun ia tetap berstatus sebagai karyawan perusahaan penyedia pekerja. Pemenuhan hak-hak karyawan seperti perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan yang timbul tetap merupakan tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja.
Perjanjian kerja antara karyawan dengan perusahaan outsourcing (Alih Daya) dapat berupa Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) maupun Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT)[25].


Perjanjian kerja antara karyawan outsourcing dengan perusahaan outsourcing biasanya mengikuti jangka waktu perjanjian kerjasama antara perusahaan outsourcing dengan perusahaan pengguna jasa outsourcing. Hal ini dimaksudkan apabila perusahaan pengguna jasa outsourcing hendak mengakhiri kerjasamanya dengan perusahaan outsourcing, maka pada waktu yang bersamaan berakhir pula kontrak kerja antara karyawan dengan perusahaan outsource. Bentuk perjanjian kerja yang lazim digunakan dalam outsourcing adalah Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Bentuk perjanjian kerja ini dipandang cukup fleksibel bagi perusahaan pengguna jasa outsourcing, karena lingkup pekerjaannya yang berubah-ubah sesuai dengan perkembangan perusahaan.
Karyawan outsourcing walaupun secara organisasi berada di bawah perusahaan outsourcing, namun pada saat rekruitment, karyawan tersebut harus mendapatkan persetujuan dari pihak perusahaan pengguna outsourcing. Apabila perjanjian kerjasama antara perusahaan outsourcing dengan perusahaan pengguna jasa outsourcing berakhir, maka berakhir juga perjanjian kerja antara perusahaan outsourcing dengan karyawannya.

VI. Hubungan Hukum antara Karyawan Outsourcing (Alih Daya) dengan Perusahaan Pengguna Outsourcing

Hubungan hukum Perusahaan Outsourcing (Alih Daya) dengan perusahaan pengguna outsourcing (Alih Daya) diikat dengan menggunakan Perjanjian Kerjasama, dalam hal penyediaan dan pengelolaan pekerja pada bidang-bidang tertentu yang ditempatkan dan bekerja pada perusahaan pengguna outsourcing. Karyawan outsourcing (Alih Daya) menandatandatangani perjanjian kerja dengan perusahaan outsourcing (Alih Daya) sebagai dasar hubungan ketenagakerjaannya. Dalam perjanjian kerja tersebut disebutkan bahwa karyawan ditempatkan dan bekerja di perusahaan pengguna outsourcing.

Dari hubungan kerja ini timbul suatu permasalahan hukum, karyawan outsourcing (Alih Daya) dalam penempatannya pada perusahaan pengguna outsourcing (Alih Daya) harus tunduk pada Peraturan Perusahaan (PP) atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang berlaku pada perusahaan pengguna oustourcing tersebut, sementara secara hukum tidak ada hubungan kerja antara keduanya.

Hal yang mendasari mengapa karyawan outsourcing (Alih Daya) harus tunduk pada peraturan perusahaan pemberi kerja adalah :[26]
1. Karyawan tersebut bekerja di tempat/lokasi perusahaan pemberi kerja;
2. Standard Operational Procedures (SOP) atau aturan kerja perusahaan pemberi kerja harus dilaksanakan oleh karyawan, dimana semua hal itu tercantum dalam peraturan perusahaan pemberi kerja;
3. Bukti tunduknya karyawan adalah pada Memorandum of Understanding (MoU) antara perusahaan outsource dengan perusahaan pemberi kerja, dalam hal yang menyangkut norma-norma kerja, waktu kerja dan aturan kerja. Untuk benefit dan tunjangan biasanya menginduk perusahaan outsource.
Dalam hal terjadi pelanggaran yang dilakukan pekerja, dalam hal ini tidak ada kewenangan dari perusahaan pengguna jasa pekerja untuk melakukan penyelesaian sengketa karena antara perusahaan pengguna jasa pekerja (user) dengan karyawan outsource secara hukum tidak mempunyai hubungan kerja, sehingga yang berwenang untuk menyelesaikan perselisihan tersebut adalah perusahaan penyedia jasa pekerja, walaupun peraturan yang dilanggar adalah peraturan perusahaan pengguna jasa pekerja (user).

Peraturan perusahaan berisi tentang hak dan kewajiban antara perusahaan dengan karyawan outsourcing. Hak dan kewajiban menggambarkan suatu hubungan hukum antara pekerja dengan perusahaan, dimana kedua pihak tersebut sama-sama terikat perjanjian kerja yang disepakati bersama. Sedangkan hubungan hukum yang ada adalah antara perusahaan Outsourcing (Alih Daya) dengan perusahaan pengguna jasa, berupa perjanjian penyediaan pekerja. Perusahaan pengguna jasa pekerja dengan karyawan tidak memiliki hubungan kerja secara langsung, baik dalam bentuk perjanjian kerja waktu tertentu maupun perjanjian kerja waktu tidak tertentu.

Apabila ditinjau dari terminologi hakikat pelaksanaan Peraturan Perusahaan, maka peraturan perusahaan dari perusahaan pengguna jasa tidak dapat diterapkan untuk karyawan outsourcing (Alih Daya) karena tidak adanya hubungan kerja. Hubungan kerja yang terjadi adalah hubungan kerja antara karyawan outsourcing (Alih Daya) dengan perusahaan outsourcing, sehingga seharusnya karyawan outsourcing (Alih Daya) menggunakan peraturan perusahaan outsourcing, bukan peraturan perusahaan pengguna jasa pekerja.

Karyawan outsourcing yang ditempatkan di perusahaan pengguna outsourcing tentunya secara aturan kerja dan disiplin kerja harus mengikuti ketentuan yang berlaku pada perusahaan pengguna outsourcing. Dalam perjanjian kerjasama antara perusahaan outsourcing dengan perusahaan pengguna outsourcing harus jelas di awal, tentang ketentuan apa saja yang harus ditaati oleh karyawan outsourcing selama ditempatkan pada perusahaan pengguna outsourcing. Hal-hal yang tercantum dalam peraturan perusahaan pengguna outsourcing sebaiknya tidak diasumsikan untuk dilaksanakan secara total oleh karyawan outsourcing.
Misalkan masalah benefit, tentunya ada perbedaan antara karyawan outsourcing dengan karyawan pada perusahaan pengguna outsourcing. Hal-hal yang terdapat pada Peraturan Perusahaan yang disepakati untuk ditaati, disosialisasikan kepada karyawan outsourcing oleh perusahaan outsourcing. Sosialisasi ini penting untuk meminimalkan tuntutan dari karyawan outsourcing yang menuntut dijadikan karyawan tetap pada perusahaan pengguna jasa outsourcing, dikarenakan kurangnya informasi tentang hubungan hukum antara karyawan dengan perusahaan pengguna outsourcing.
Perbedaan pemahaman tesebut pernah terjadi pada PT Toyota Astra Motor, salah satu produsen mobil di Indonesia. Dimana karyawan outsourcing khusus pembuat jok mobil Toyota melakukan unjuk rasa serta mogok kerja untuk menuntut dijadikan karyawan PT Toyota Astra Motor. Hal ini dikarenakan kurangnya sosialisasi mengenai status hubungan hukum mereka dengan PT Toyota Astra Motor selaku perusahaan pengguna outsourcing.[27]

VII. Penyelesaian Perselisihan dalam Outsourcing (Alih Daya)

Dalam pelaksanaan outsourcing (Alih Daya) berbagai potensi perselisihan mungkin timbul, misalnya berupa pelanggaran peraturan perusahaan oleh karyawan maupun adanya perselisihan antara karyawan outsource dengan karyawan lainnya. Menurut pasal 66 ayat (2) huruf c UU No.13 Tahun 2003, penyelesaian perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja. Jadi walaupun yang dilanggar oleh karyawan outsource adalah peraturan perusahaan pemberi pekerjaan, yang berwenang menyelesaikan perselisihan tersebut adalah perusahaan penyedia jasa pekerja.

Dalam hal ini perusahaan outsource harus bisa menempatkan diri dan bersikap bijaksana agar bisa mengakomodir kepentingan karyawan, maupun perusahaan pengguna jasa pekerja, mengingat perusahaan pengguna jasa pekerja sebenarnya adalah pihak yang lebih mengetahui keseharian performa karyawan, daripada perusahaan outsource itu sendiri. Ada baiknya perusahaan outsource secara berkala mengirim pewakilannya untuk memantau para karyawannya di perusahaan pengguna jasa pekerja sehingga potensi konflik bisa dihindari dan performa kerja karyawan bisa terpantau dengan baik.

VIII. Kesimpulan

Outsourcing (Alih daya) sebagai suatu penyediaan tenaga kerja oleh pihak lain dilakukan dengan terlebih dahulu memisahkan antara pekerjaan utama (core business) dengan pekerjaan penunjang perusahaan (non core business) dalam suatu dokumen tertulis yang disusun oleh manajemen perusahaan. Dalam melakukan outsourcing perusahaan pengguna jasa outsourcing bekerjasama dengan perusahaan outsourcing, dimana hubungan hukumnya diwujudkan dalam suatu perjanjian kerjasama yang memuat antara lain tentang jangka waktu perjanjian serta bidang-bidang apa saja yang merupakan bentuk kerjasama outsourcing. Karyawan outsourcing menandatangani perjanjian kerja dengan perusahaan outsourcing untuk ditempatkan di perusahaan pengguna outsourcing.


Karyawan outsourcing selama ditempatkan diperusahaan pengguna jasa outsourcing wajib mentaati ketentuan kerja yang berlaku pada perusahaan outsourcing, dimana hal itu harus dicantumkan dalam perjanjian kerjasama. Mekanisme Penyelesaian perselisihan ketenagakerjaan diselesaikan secara internal antara perusahaan outsourcing dengan perusahaan pengguna jasa outsourcing, dimana perusahaan outsourcing seharusnya mengadakan pertemuan berkala dengan karyawannya untuk membahas masalah-masalah ketenagakerjaan yang terjadi dalam pelaksanaan outsourcing.

Dewasa ini outsourcing sudah menjadi trend dan kebutuhan dalam dunia usaha, namun pengaturannya masih belum memadai. Sedapat mungkin segala kekurangan pengaturan outsourcing dapat termuat dalam revisi UU Ketenagakerjaan yang sedang dipersiapkan dan peraturan pelaksanaanya, sehingga dapat mengakomodir kepentingan pengusaha dan melindungi kepentingan pekerja.

***
Catatan Kaki:

[1] Wirawan, Rubrik Hukum Teropong,Apa yang dimaksud dengan sistem outsourcing?, http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0504/31/teropong/komenhukum.htm

[2] ibid

[3] Artikel “Outsource dipandang dari sudut perusahaan pemberi kerja”, http://www.apindo.or.id, diakses tanggal 4 Agustus 2006

[4] Pasal 64 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 TentangKetenagakerjaan,

[5] Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi memuat hal-hal yang dituntut untuk dilakukan revisi dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 yaitu : Pemutusan Hubungan Kerjam Perjanjian kerja Waktu Tertentu, Perhitungan Pesangon, Ijin tenaga Kerja Asing dan istirahat panjang.

[6] Nur Cahyo, Pengalihan Pekerjaan Penunjang perusahaan dengan Sistem Outsourcing (Alih Daya) Menurut Undang-undang No. 13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan (Studi Kasus pada Asuransi Astra Buana), Tesis Magister Hukum FHUI, Depok, 2006, hal.56.

[7] Terkutip dalam Nur Cahyo, ibid., hal 57.

[8] Chandra Suwondo, Outsourcing; Implementasi di Indonesia, Elex Media Computindo, Jakarta, hal 2.

[9] Muzni Tambusai, Pelaksanaan Outsourcing (Alih Daya) ditinjau dari aspek hukum ketenagakerjaan tidak mengaburkan hubungan industrial, http://www.nakertrans.go.id/arsip berita/naker/outsourcing.php. 29 Mei 2005.

[10] Tulisan ini mengkhususkan membahas outsourcing (Alih Daya) yang berupa penyediaan jasa pekerja/buruh, sedang outsourcing (Alih Daya) berupa pemborongan pekerjaan hanya akan diulas sekilas dari segi definisi, dan dalam kaitan dengan core business. Dalam UU No.13 Tahun 2003, istilah outsourcing (Alih Daya) dapat diartikan sebagai pemborongan pekerjaan dan penyediaan tenaga kerja, namun pada rancangan UU Tenaga Kerja yang baru (yang kini sedang dikaji ulang), pengertian outsourcing (Alih Daya) tampaknya akan disempitkan menjadi penyediaan jasa pekerja, sementara pemborongan pekerjaan ldiartikan sebagai sub-kontrak.

[11] Draft Revisi Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, diakses dari Sabar Sianturi, pembicara pada Seminar tentang Outsourcing (Alih Daya) dan Permasalahannya, 12 April 2006, Hotel Aryaduta, diselenggarakan oleh PPM.

[12] Pasal 66 ayat (1) UU No.13 tahun 2003




[13] Pasal 66 ayat (2) UU No.13 Tahun 2003

[14] Pasal 66 ayat (3) UU No.13 Tahun 2003

[15] Pasal 66 ayat (4) UU No.13 Tahun 2003

[16] R.Djokopranoto, Outsourcing (Alih Daya) dalam No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan (Perspektif Pengusaha), Materi Seminar disampaikan pada Seminar Outsourcing: Process and Mangement, World Trade Center Jakarta,13-14 oktober 2005, hal.5.

[17] Ibid., hal.6.

[18] Ibid., hal 7.

[19] Ibid., hal.8

[20] Ibid., hal.5

[21] Berdasarkan informasi dari Bapak Ali Nursal, General Manager PT.Outsourcing (Alih Daya) Indonesia

[22] Pelaporan dokumen tentang pekerjaan utama dan pekerjaan penunjang diatur pada Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor : 220/MEN/X/2004 Tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain.

[23] Pasal 65 ayat (2) UU No.13 tahun 2003

[24] Pasal 66 ayat 2) butir a,b dan c UU No.13 tahun 2003

[25] Mengenai PKWT dan PKWTT lihat pasal 56-60 UU No.13 Tahun 2003

[27] Berdasarkan informasi dari Bpk. Yayan Hernayanto, Corporate Legal, PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia, 4 Agustus 2006.

Senin, Februari 28, 2011

Mafia Hukum Ancam Investasi di Indonesia

Mafia Hukum Ancam Investasi di Indonesia

Investor asal Korea Selatan (Korsel), PT IDB Bio Research Development bakal menghentikan investasinya di Indonesia jika kasus pencurian dan penggelapan yang diduga dilakukan oleh salah seorang komisarisnya, Bambang Danardono, tidak ditangani secara transparan oleh aparat penegak hukum Indonesia.

Kasus ini menjadi ujian sekaligus tolok ukur keseriusan pemerintah memberikan jaminan investasi di Indonesia,ujar Direktur Utama PT IDB David Baek kepada wartawan di Jakarta, Senin (4/10).

Puncak kekecewaan PT IDB terhadap Bambang terjadi pada Mei 2010 lalu. Bambang, kata David, mencabut semua bibit singkong unggulan yang ditaman dilahan Salabintana, Sukabumi. Disinyalir, semua bibit singkong itu dipindahkan ke lahan milik Bambang di Ciujung. Akibatnya, perusahaan menderita kerugian materil sekitar Rp325 juta dan juga kerugian immateril. Kerugian immaterial tidak terhitung nilainya, tutur Bambang.

Tindakan Bambang itu membuat jajaran PT IDB marah. Buntutnya, PT IDB melaporkan Bambang ke polisi. Kini Bambang tengah menjalani proses persidangan di Pengadilan Negeri, Cibadak, Sukabumi. Namun anehnya, sejauh ini tidak ada penyelidikan lebih lanjut tentang ke mana aset milik PT IDB disembunyikan. “Analoginya begini. Seorang yang mencuri motor. Pencurinya tertangkap, namun motornya tidak tau entah ke mana. Ini kan janggal. Mestinya, setelah pencurinya tertangkap, hasil curiannya pun ketahuan, tegas David.

Jaksa Penuntut Umum (JPU), terus bergerak cepat. JPU, Mad Sunan SH mendakwa Bambang dengan Pasal 362 KUHP tentang pencurian jo Pasal 374 KUHP tentang penggelapan dengan hukuman maksimal 5 tahun penjara. “Kami harapkan agar terdakwa diproses sesuai dengan hukum yang berlaku. Jangan ada permainan atau mafia hukum dalam kasus ini. Kalau memang terbukti terdakwa bersalah maka hukumlah seberat-beratnya sehingga investasi masuk, pinta kuasa hukum PT IDB, Verry Sitorus.

Menurut Verry, jika kasus pencurian dan penggelapan itu tidak ditangani dengan baik maka citra investasi di Indonesia tercoreng. “Aparat penegak hukum, mulai polisi, jaksa, dan majelis hakim agar tidak bermain-main dengan kasus ini. Sebab dampak yang ditimbulkan sangat besar, terutama menyangkut nasib investor asing di Indonesia. Investor menjadi trauma, katanya.

Ditegaskan David, kasus pencurian dan penggelapan asset PT IDB tersebut tidak saja merusak iklim investasi di Indonesia, tetapi juga merusak citra Indonesia di mata investor asing. Bagi investor, kasus ini sebagai pertanda, jaminan kepastian hukum akan investasi di Indonesia belum sepuhnya terwujud. “Untuk itu, kami minta kasus ini ditangani dengan baik. Kalau tidak investor kehilangan kepercayaan terhadap iklim investasi di Indonesia, ujarnya.

Anggota DPR dari F-PDIP Lazarus, menyatakan kebijakan penanaman modal harus menciptakan daya saing perekonomian nasional guna mendorong integrasi perekonomian Indonesia menuju perekonomian global. Karena itu, kepastian hukum terkait jaminan investasi mutlak diperlukan. “Kalau ada kasus hukum yang terkait dengan investasi asing, harus diselesaikan dengan baik. Proses hukum jangan sampai tebang pilih. Kalau memang ditemukan ada pelanggaran hukum, ya harus dituntut sesuai ketentuan yang berlaku. Saya kira, ini prinsip yang harus menjadi pegangan,tegasnya.

disunting dari http://matahukum.com

Meneropong Politik Hukum Ekonomi Indonesia

Meneropong Politik Hukum Ekonomi Indonesia


Peraturan perundang-undangan (legislation) merupakan bagaian dari
hukum yang dibuat secara sengaja oleh institusi negara. Ia muncul tidak
tiba-tiba. Namun, dibuat dengan tujuan dan alasan tertentu1.
Keanekaragamaan tujuan dan alasan dibuatnya peraturan perundang-
undangan disebut sebagai politik hukum (legal policy). Menurut
Hikmahanto Juwana, pembuatan peraturan perundang-undangan, politik
hukum sangat penting, paling penting, untuk dua hal. Pertama sebagai alasan
mengapa diperlukan pembentukan suatu peraturan perundang-undangan.
Kedua, untuk menentukan apa yang hendak diterjemahkan kedalam kalimat
hukum dan menjadi perumusan pasal. Dua hal ini penting karena keberadaan
peraturan perundang-undangan dan perumusan pasal merupakan “jembatan”
antara politik hukum yang ditetapkan dengan pelaksanaan politik hukum
tersebut dalam tahap implementasi peraturan perundang-undangan.
Mengingat harus ada konsitensi dan korelasi antara apa yang ditetapkan
sebagai politik hukum dengan yang ingin dicapai sebagai tujuan.

Politik hukum dapat dibedakan dalam dua dimensi. Dimensi pertama
adalah politik hukum yang menjadi alasan dasar dari diadakannya suatu

1 Himahanto Juwana, makalah kuliah pada MPKP XIV. FE.UI

peraturan perundang-undangan. Kebijakan dasar yang dibuat berkaitan
dengan perekonomian, maka disebut sebagai politik hukum ekonomi, karena
tujuan dari pembuatan peraturan perundang-undangan (selanjutnya disebut
dengan Undang-undang (UU)) adalah untuk melengkapi regulasi dalam
kegiatan perekonomian di suatu Negara.2. Politik hukum dengan dimensi
alasan dasar seperti ini menurut Hikmahanto sebagai “kebijakan dasar” atau
dalam bahasa inggris disebut “basic policy”, contoh kebijakan dasar dari UU
Hak Cipta adalah memberikan perlindungan bagi pencipta atas ciptaannya.
Kebijakan dasar UU Kepailitan bertujuan untuk membebaskan debitur yang
sudah tidak mampu lagi membayar hutang disamping memfasilitasi kreditur
untuk mengambil kembali haknya dari debitur.

Dimensi kedua dari politik hukum adalah tujuan atau alasan yang
muncul dibalik pemberlakuan suatu peraturan perundang-undangan, yang
kemudian disebut sebagai “ Kebijakan Pemberlakuan” atau yang dalam
bahasa inggris disebut sebagai “enactment policy”. Melalui “kebijakan
Pemberlakuan inilah dapat dilakukan pengidentifikasian beragam kebijakan
pemberlakuan UU di Indonesia. Untuk itu dalam tulisan ini akan hanya
melihat secara makro UU yang dibuat berkenaan dengan perekonomian
Indonesia, apakah kebijakan pemberlakuan UU tersebut untuk membela atau
menunjukkan keberpihakan kepada kepentingan rakyat atau ekonomi rakyat,
atau justru sebaliknya.

Menurut Daniel W. Bromley3, Etika menekankan pada persepsi
kolektif tentang sesuatu yang dianggap baik dan adil, untuk masa kini

2 Melalui Undang-undang inilah kita dapat melihat sejauhmana keberpihakan pemerintah sebagai policy
maker yang mempunyai otoritas membuat UU terhadap ekonomi rakyat.

3 Dalam Bromley, “A DEVELOPMENT ALTERNATIVE FOR INDONESIA”.

maupun mendatang. Hukum menekankan pada penerapan kekuatan kolektif
untuk melaksanakan ethical consensus yang telah disepakati. Sementara itu,
ilmu ekonomi menekankan pada perhitungan untung rugi yang didasarkan
pada etika dan landasan hukum suatu negara. Politik Hukum Ekonomi
menjadi konsensus untuk mengatur kegiatan ekonomi agar mencapai
tujuannya. Namun, tidak jarang Politik Hukum Ekonomi yang dibuat
berdasarkan konsensus sepihak dengan kekuatan kekuasaan yang dimiliki
oleh pemerintah menjadi distorsi bagi perekonomian.

Politik Hukum Ekonomi Untuk Pembangunan

UU Bidang Ekonomi yang diteliti hampir semua menyebutkan
diberlakukan suatu UU adalah dalam rangka pembangunan nasional4, misal
dalam UU Perlindungan Konsumen disebutkan dalam penjelasan umum
bahwa, “pembangunan nasional termasuk pembangunan, hukum yang
memberikan perlindungan terhadap konsumen adalah dalam rangka
membangun manusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah
kenegaraan Republik Indonesia yaitu dasar Negara Pancasila dan konstitusi
Negara UUD 1945. Demikian pula dengan UU Telekomunikasi yang dalam
konsideran menimbangnya mengungkap pembangunan nasional, “bahwa
tujuan pembangunan nasional adalah untuk mewujudkan masyarakat adil
dan makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan
UUD 1945.” Demikian pula dengan UU Ketenagakerjaan yang menyebut

4 Lihat Hikmahanto Juwana, makalah kuliah aspek hukum dalam ekonomi. MPKP XIV.

“Pembangunan Ketenagakerjaan sebagai bagian internal dari pembangunan
nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, dilaksanakan dalam rangka
pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat
Indonesia seluruhnya untuk meningkatkan harkat, martabat dan harga diri
tenaga kerja serta mewujudkan masyarakat sejahtera, adil, makmur dan
merata, baik materiil maupun spiritual.”

DISUNTING DARI http://goldenchangeofindonesia.blogspot.com

Hukum Ekonomi Syariah di Indonesia

Hukum Ekonomi Syariah di Indonesia


syariah_ekonomiPenduduk Indonesia yang mayoritas beragama Islam nampaknya belum begitu familiar dengan ekonomi syariah, oleh karena itu pemerintah kini sedang gencar-gencarnya menyerukan tentang ekonomi syariah salah satunya yaitu asuransi syariah yang kini digalakkan. Padahal, sebenarnya ekonomi syariah lebih pro ekonomi riil. Hal ini tentunya, sangat bermanfaat khususnya bagi UKM yang sangat membutuhkan kepastian hukum dan tentunya bantuan modal. Hal ini terbukti bahwa penerapan ekonomi syariah lebih handal ketimbang ekonomi konvensional pada krisis moneter tahun 2007 lalu. Bank dengan ekonomi syariah terbukti mampu tetap kokoh berdiri ditengah krisis. Hal ini bisa terjadi karena prinsip ekonomi syariah yang mengharamkan Riba, Judi, Dholim (aniaya), Gharar (penipuan), Barang Haram, Maksiat, Risywah (suap) dan prinsip bagi hasil terbukti lebih menguntungkan. Produk lain dari ekonomi syariah adalah reksadana syariah dan obligasi koorporasi syariah yang baru diperkenalkan.

Hukum ekonomi syariah sebagai bagian dari hukum atau syariah Islam yang berkembang di berbagai bagian dunia, termasuk di Indonesia, merupakan penggabungan antara hukum ekonomi konvensional yang telah melalui transformasi proses Islamisasi hukum oleh para ahli ekonomi Islam ditambah dengan fiqh mu'amalat konvensional yang berakar panjang dalam sejarah Islam. Tidak mengherankan bila bidang ini masih merupakan suatu yang baru bagi negara-negara berpenduduk muslim, terutama, karena minimnya peraturan perundang-undangan negara yang mendukung dan praktek peradilan.
Hukum materil ekonomi syariah di Indonesia pada umumnya baru tersedia dalam bentuk fiqh para fuqaha' atau fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) secara khusus, yang sebagiannya telah menjadi Peraturan Bank Indonesia melalui upaya positivisasi fatwa. Mengisi kekosongan perudang-undangan dalam bidang ini bagi kepentingan penyelesaian sengketa di pengadilan, maka Mahkamah Agung RI telah menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung No. 02 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES). KHES terdiri dari 4 Buku, masing-masing tentang Subyek Hukum dan Amwal, Akad, Zakat dan Hibah, dan Akutansi Syariah. Diharapkan pemerintah dan DPR RI dapat mengambil inisiatif di masa depan untuk mengembangkan KHES menjadi Kitab Undang-Undang Ekonomi Syariah melalui produk perundang-undangan.
Langkah lain yang perlu juga diambil di masa depan adalah mendirikan Lembaga Fatwa Negara dengan meningkatkan status DSN/Mejelis Fatwa MUI menjadi Lembaga Fatwa Negara berdasarkan undang-undang dengan kedudukan sejajar, misalnya, dengan Kantor Mufti di negara tetangga Malaysia, bahwa bila fatwa yang diterbitkannya disiarkan dalam lembaran negara maka mempunyai kekuatan yang sama dengan undang-undang.
Dalam bidang ekonomi syariah juga telah terbit perundang-undangan tentang Perbankan Syariah dan Surat Berharga Syariah Negara yang mengisyaratkan hukum atau syariat Islam sebagai hukum materil ekonomi syariah. Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Tentang Surat Berharga Syariah Negara menyatakan bahwa: "Surat Berharga Syariah Negara selanjutnya disingkat SBSN, atau dapat disebut Sukuk Negara, adalah surat berharga negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai alat bukti bagian penyertaan terhadap Aset SBSN, baik dalam mata uang rupiah, maupun valuta asing."
Sementara itu, Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Perbankan Syariah menjelaskan bahwa: "Perbankan syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya." Pasal 2 menjelaskan bahwa "Perbankan Syariah dalam melakukan kegiatan usahanya berasaskan Prinsip Syariah, demokrasi ekonomi, dan prinsip kehati-hatian."
Pasal 1 ayat (12) menjelaskan: "Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah."
Pasal 26 ayat (1), (2) dan (3) menyatakan: "(1) Kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 20, dan Pasal 21 dan/atau produk dan jasa syariah, wajib tunduk kepada Prinsip Syariah. (2) Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) difatwakan oleh Majelis Ulama Indonesia. (3) Fatwa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dituangkan. dalam Peraturan Bank Indonesia."
Pasal 4 ayat (2) menyatakan bahwa "Bank Syariah atau UUS dapat menjalankan fungsi sosial dalam bentuk lembaga baitul mal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat."
Pasal 4 ayat (3) menyatakan bahwa: "Bank Syariah dan UUS dapat menghimpun dana sosial yang berasal dari wakaf uang dan menyalurkannya kepada pengelola wakaf (nazhir) sesuai dengan kehendak pemberi wakaf (wakif)."

Keterbatasan perundang-undangan dalam bidang ekonomi syariah sebenarnya tidak menjadi hambatan bagi para hakim dalam memutus sengketa yang diajukan ke pengadilan. Seperti terlihat di atas, baik fatwa yang sudah dipostivisasi oleh Bank Indonesia maupun peraturan perundang-undangan ekonomi syariah yang tersedia merujuk dan meresepsi hukum atau syariat Islam. Syariat Islam sebagai fiqh para fuqaha' bersumber dari Qur'an, Sunnah, Ijma', Qiyas atau ijtihad secara umum. Para hakim dapat mengeksplorasi sumber yang amat luas ini dengan melakukan tarjih dari pendapat-pendapat yang ada atau melakukan istinbath dan ijtihad dalam batas kemampuan yang ada. Putusan hakim seperti ini dalam masa yang panjang akan menjadi yurisprudensi pengadilan sebagai hukum Islam berciri Indonesia di masa depan sebagai judge made law (hukum yang dibuat oleh hakim).

Perkembangan ekonomi syariah di Indonesia akhir-akhir ini menunjukkan hukum atau syariat Islam sebagai hukum yang hidup di negeri ini dengan didukung oleh masyarakat melalui para pelaku ekonomi, lembaga-lembaga keuangan, pendidikan, keulamaan, peradilan dan penyelesaian sengketa alternatif dan lain-lain. Gejala ini juga menunjukkan penyerapan lembaga-lembaga masyarakat terhadap syariat Islam sebagai tuntunan hukum mereka, walaupun peraturan perundang-undangan dalam bidang ekonomi syariat masih sangat terbatas dan di pihak lain meunjukkan kelambanan legislator Indonesia dalam mengantisipasi keinginan dan kebutuhan masyarakat.

Peraturan perundang-undangan yang terbatas sebenarnya tidak menjadi hambatan besar bagi hakim Peradilan Agama dalam memutus sengketa ekonomi syariah yang diajukan kepada mereka, mengingat hakim muslim sejak dahulu selalu memutus perkara berdasarkan syariat Islam sebagai ius constitum bagi dunia Islam. Dengan praktek hukum ekonomi syariah paling tidak sebagian besar fiqh mu'amalat telah menjadi hukum Indonesia.

DISUNTING DARI Rifyal Ka’bah, MA

Produk Hukum Belum Dukung Percepatan Ekonomi

Produk Hukum Belum Dukung Percepatan Ekonomi


Yogyakarta - Ekonom dari Universitas Gadjah Mada Anggito Abimanyu menilai lambatnya percepatan perkembangan ekonomi di Indonesia salah satunya disebabkan oleh lambatnya pembuatan produk hukum.

"Padahal, ekonomi tidak bisa bekerja sendiri tanpa produk hukum dan juga politik, tetapi sayangnya, perkembangan ekonomi selalu lebih cepat dibanding pembuatan produk hukumnya. Inilah sebabnya, percepatan ekonomi di Indonesia tidak bisa berlangsung dengan cepat," ucapnya.

Anggito mengemukakan itu, saat menjadi pembicara Seminar Nasional Membangun Indonesia Bermartabat dan Berkeadilan yang diselenggarakan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di Yogyakarta, Rabu (23/2).

Salah satu contoh tentang lambatnya percepatan pembangunan ekonomi akibat tidak adanya produk hukum yang mendukung bisa dilihat di Provinsi DIY, misalnya, Peraturan Daerah tentang Bank Pembangunan Daerah (BPD) DIY yang masih menyatakan bahwa bank tersebut berbentuk perusahaan daerah.

"Di Jakarta, juga ada Bank DKI yang telah dimiliki oleh publik. Ini yang membuat bank tersebut bisa berkembang sangat cepat, dan mampu mendorong percepatan perekonomian di daerah tersebut," ujarnya.

Pembuatan sebuah produk hukum, lanjut dia, bisa memerlukan waktu yang sangat lama yaitu hingga lebih dari satu tahun sehingga pada saat undang-undang tersebut disahkan, kondisinya sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman.

Oleh karena itu, ia berharap, adanya sebuah lembaga politik yang bisa mendukung percepatan perkembangan perekonomian di Indonesia yang pada akhirnya bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Meskipun berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), lanjut dia, pendapatan nasional bruto penduduk di Indonesia telah mencapai Rp27 juta per tahun atau Rp2,3 juta per bulan, namun masih ada cukup banyak penduduk di Indonesia yang memiliki pendapatan kurang dari Rp1 juta.

Selain itu, tantangan percepatan perekonomian lain di Indonesia adalah menciptakan lapangan kerja untuk bisa menyerap tenaga kerja yang jumlahnya semakin banyak, serta menghadapi globalisasi ekonomi di masa yang akan datang.

Industrialisasi di Indonesia, menurut Anggito, belum bisa menyerap seluruh tenaga kerja yang ada karena pertumbuhannya sangat minim.

"Yang justru terjadi saat ini adalah de-industrialisasi, pertumbuhannya hanya kurang dari lima persen per tahun. Ini sangat kecil. Bagaimana jika pemerintah membangun industri yang kuat untuk menyerap tenaga kerja yang ada di Indonesia," katanya, menegaskan.

Perdagangan global di tingkat ASEAN pada 2015 dan perdagangan global dunia pada 2020 harus dipersiapkan dengan matang agar Indonesia tidak kalah dalam perdagangan bebas tersebut, karena pada saat yang bersamaan Indonesia juga membangun desentralisasi ekonomi yang sangat terkait dengan perlindungan.

"Integrasi perdagangan itu adalah hal yang baik, tetapi berarti akan terjadi hilangnya suatu kebangsaan ekonomi dan risiko `kalah` akan cukup besar," ujarnya.

Oleh karenanya, lanjut dia, perlu dibangun sebuah ekonomi yang kuat agar Indonesia bisa bertahan dalam persaingan ekonomi global tersebut.(ant/yan)

DISUNTING DARI http://erabaru.net/nasional/50-jakarta/23565-produk-hukum-belum-dukung-percepatan-ekonomi

HUKUM SECARA UMUM SEBUAH PERUSAHAAN

HUKUM SECARA UMUM SEBUAH PERUSAHAAN

Deskripsi :
merupakan pendukung hak dan kewajiban. dalam hal ini manusia pribadi (natuurlijk persoon)dan badan hukum (rechtspersoon).badan hukum agar dapat menjalankan fungsinya sebagai rechtpersoon, pertama, para pendiri harus mendirikan badan hukum, berdasarkan akta pendirian badan hukum yang dibuat dihadapan notaris, akta mana mencakup pula anggaran dasar dari badan hukum yang bersangkutan. kedua, para pendiri dan direksi harus mendapatkan pengesahan atas akta pendirian tersebut dari menteri kehakiman (sekarang menteri hukum dan perundang-undangan). ketiga, setelah mendapat surat pengesahan dari menteri kehakiman, direksi mendaftarkan (beserta akta pendirian) tersebut dalam daftar perusahaan pada kantor pendaftaran perusahaan dimana badan hukum tersebut berdomisili untuk mendapatkan tanda daftar perusahaan, dan mengumumkan akta pendirian dalam tambahan berita negara.

Sumber :
http://hukumonline.com/klinik_detail.asp?id=520

ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI

ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI

Tentang Hukum dan Bisnis

Demi terciptanya keteraturan mengakomodasi berbagai kepentingan pelaku bisnis, hukum bisnis merupakan kebutuhan yang tidak terelakan oleh para pelaku bisnis. Karena, menurut beberapa ahli, pembangunan ekonomi di Indonesia takkan ada kemajuan yang berarti tanpa adanya pembaharuan hukum.
Bisnis adalah suatu organisasi yang menyediakan barang atau jasa yang bertujuan mendapatkan keuntungan. Sedangkan ilmu ekonomi adalah suatu ilmu yang mempelajari masyarakat dalam usahanya untuk mencapai kemakmuran. Apa yang dimaksud dengan kemakmuran? Kemakmuran adalah suatu keadaan di mana manusia dapat memenuhi kebutuhannya, baik barang- barang maupun jasa ( M. Manulang). Titik perbedaan antara istilah bisnis dan ekonomi adalah, ekonomi menunjuk pada segala upaya manusia dalam mencapai kemakmuran dan tujuannya sebagai pemenuhan kebutuhan serta tidak bertujuan untuk memperoleh keuntungan. Sedangkan pengertian bisnis secara langsung, sebagai organisasi, dengan tujuan memperoleh keuntungan dari pengorbanan yang dilakukan.
Dewasa ini, pola perekonomian dalam sistem ekonomi dikenal ada dua, yakni sistem ekonomi bebas dan sistem ekonomi terpimpin.
Ilmu hukum tidak dapat didefinisikan secara kompleks. Hukum yang banyak seginya dan meliputi segala macam hal yang menyebabkan tak mungkin orang membuat suatu definisi apa sebenarnya hukum itu ( Apeldoorn).
Terdapat berbagai definisi hkum yang dikemukakan oleh para ahli hukum, diantara:
1. Aristoteles : hukum khusus dimana masyarakat menaati dan menerapkannya terhadap anggotanya sendiri.
2. Grotius : hukum adalah suatu aturan dari tindakan moral yag mewajibkan pada suatu yang benar.
3. Hobbes : hukum sebagai suatu kebenaran dimana dunia hukum melalui kebenaran mengandung perintah terhadap yang lain.
Diantara banyaknya definisi oleh para ahli di atas, mungkin kita tidak memperoleh definisi yang memuaskan bagi semua pihak. Namun, dengan pemahaman- pemahan yang banyak dijabarkan diatas sedikit banyak dapat melengkapi pemahaman kita satu sama lain.
Hukum memang berkaitan dalam mengembangkan bisnis, di Indonesia umumnya setiap kalangan yang ingin membuka suatu bisnis memerlukan sebuah landasan hukum. Karena itu, dengan adanya kepastian hukum maka dapat menambah kemajuan bisnis dan perekonomian dalam suatu negara. Apabila tidak adanya kepastian hukum maka menimbulkan ketidakpastian suatu bisnis itu sendiri dan berdampak mengurangi minat investor dan para pelaku bisnis dalam negeri dan juga internasional, hal ini dapat menyebabkan melemahnya perekonomian.
Untuk itu maka harus diupayakan adanya keselarasan antara perangkat hukum dan bisnis itu sendiri. Pengembangan teknologi saat ini seharusnya diselaraskan dengan pengembangan hukum dan bisnis. Kemajuan teknologi dalam dunia berkembang saat ini juga dapat menambah kembangnya dunia bisnis dan akan merambah dunia hukum pula.
Hukum seharusnya dapat melindungi dan menegakkan setiap manusia, maka termasuk dalam hak bisnis setiap manusia. Bukan hanya dalam bisnis saja, di kehidupan nyata sehari- hari pun kehidupan manusia harus diselaraskan dengan hukum. Seperti dalam hal- hal tertentu, hukum mengatur hak- hak setiap orang dalam undang- undang negara.
Hukum dalam hubungannya dengan kekuasaan politik juga diperlukan, karena hukum melayani kepentingan- kepentingan penguasa politik. Hukum dalam penegakkannya juga harus menyeimbangkan kepentingan antarwarga masyarakat. Disinilah dapat kita lihat bahwa hukum itu memang sangat penting baik dalam bisnis maupun dalam segala aspek kehidupan termasuk juga di dalamnya dunia bisnis. Maka, memang sangat diperlukan mengembangkan hukum dalam dunia bisnis itu sendiri.
Namun, dapat kita lihat di Indonesia bahwa pengembangan hukum masih belum optimal dilakukan oleh pemerintah. Sebaiknya jika pemerintah ingin mengembangkan dunia bisnis juga harus diimbangi dengan hukum bisnis yang jelas, sehingga para investor yang ingin merambah dunia tersebut mendapatkan kepastian hukum sehingga minat mereka bertambah pula.

disunting dari http://eunikemaria.blogspot.com

Hukum dan Hukum Ekonomi

Hukum dan Hukum Ekonomi


Pengertian Hukum

Hukum mempunyai tugas untuk menjamin adanya kepastian hokum dalam masyarakat.oleh Karena itu setiap masyarat berhak intuk mendapat pembelaan didepan hukum sehingga dapat di artikan bahwa hukum adalah peraturan atau ketentuan-ketentuan tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur kehidupan masyarakat dan menyediakan sangsi bagi pelangarnya.

Tujuan Hukum

Dengan adanya HUkum di Indonesia maka tiap perkara dapat di selesaikan melaui proses pengadilan dengan prantara hakim berdasarkan ketentuan hokum yang berlaku,selain itu Hukum bertujuan untuk menjaga dan mencegah agar setiap orang tidak dapat menjadi hakim atas dirinya sendiri.

Sumber-sumber Hukum

Sumber hokum dapat di lihat dari segi :

1. Sumber-sumber hokum Material
2. Sumber-sumber hokum formal yaitu :
1. Undang-undang (statute)
2. Kebiasaan (costum)
3. Keputusan-keputusan hakim
4. Traktat (treaty)
5. Pendapat Sarjana hokum (doktrin)

Kondifikasi Hukum

Adalah pembukuan jenis-jenis hokum tertulis dalam kitab undang-undang secara sistematis dan lengkap.

Dari segi bentuknya hukum di bagi dua,

1. Hukum tertulis
2. Hukum tak tertulis

Kaidah atau Norma

Tujuan Norma adalah untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik aman dan tertib. Contoh jenis dan macam norma :

1. Norma Sopan Santun
2. Agama
3. Hukum

Pengertian ekonomi

Menurut M.Manulang ilmu ekonomi adalah ilmu yang mempelajari masyarakat dalam usahanya untuk mencapai kemakmuran. Istilah ekonomi berasal dari nahasa Yunani, Oikos berarti rumah tangga,dan Nomos berarti aturan.

Adapun ilmu ekonomi di bagi menjadi 3,yaitu :

1. Deskriptif
2. Teori

* Ekonomi Mikro
* Ekonomi Makro

1. Terapan

Hukum Ekonomi

Adalah suatu hubungan sebab akibat pertalian peristiwa ekonomi yang saling berhubungan satu dengan yang lainya dalam kehidupan ekonomi sehari-hari dalam masyarakat.

Adanya hokum ekonomi di latar belakangi oleh semakin pesatnya pertumbuhan dan perkembangan perekonomian.

Hukum ekonomi di bagi menjadi 2 yaitu:

1. Hukum ekonomi pembangunan
2. Hukum ekonomi sosial

DIsunting dari http://maiyasari.wordpress.com

Minggu, Januari 02, 2011

REVITALISASI KOPERASI UNIT DESA (KUD) DALAM MENDUKUNG PENINGKATAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL

PENDAHULUAN

Sejarah kelahiran dan berkembangnya koperasi di negara maju (barat) dan negara berkembang memang sangat diametral. Di Barat, koperasi lahir sebagai gerakan untuk melawan ketidakadilan pasar, oleh karena itu tumbuh dan berkembang dalam suasana persaingan pasar. Bahkan dengan kekuatannya itu koperasi meraih posisi tawar dan kedudukan penting dalam konstelasi kebijakan ekonomi termasuk dalam perundingan internasional. Di negara berkembang, koperasi dihadirkan dalam kerangka membangun institusi yang dapat menjadi mitra negara dalam menggerakkan pembangunan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Selama orde baru hingga era reformasi, Koperasi Unit Desa (KUD) mengalami pergeseran peranan yaitu sebagai pelaksana program pemerintah dalam mendukung stok pangan nasional yang didukung sektor pembiayaan yang kuat dari pemerintah, menjadi badan usaha yang menghimpun kelompok tani agar berkembang menjadi penopang stok pangan nasional, dengan pembiayaan yang terbatas. Padahal, disisi lain, pembangunan pertanian sebagai sentra pembangunan nasional implementasinya masih berada dalam tataran paradoks dan mempunyai permasalahan yang kompleks, sehingga diperlukan suatu bentuk revitalisasi di dalamnya. Revitalisasi pertanian bukan dimaksudkan membangun pertanian at all cost dengan cara-cara yang top-down sentralistik; bukan pula orientasi proyek untuk menggalang dana; tetapi revitalisasi adalah menggalang komitmen dan kerjasama seluruh stakeholder dan mengubah paradigma pola pikir masyarakat melihat pertanian tidak hanya urusan bercocok tanam yang sekedar hanya menghasilkan komoditas untuk dikonsumsi. Pertanian mempunyai multi-fungsi yang belum mendapat apresiasi yang memadai dari masyarakat. Pertanian merupakan way of life dan sumber kehidupan sebagian besar masyarakat kita. Pertanian merupakan pemasok sandang, pangan, dan pakan untuk kehidupan penduduk desa dan kota; juga sebagai pemelihara atau konservasi alam yang berkelanjutan dan keindahan lingkungan untuk dinikmati (wisata-agro), sebagai penghasil biofarmaka dan penghasil energi seperti bio-diesel.

Berdasarkan isi yang terdapat RPPK tentang Revitalisasi Pertanian tahun 2005-2025 menyatakan bahwa posisi pertanian dalam kehidupan di masa depan, bukan hanya diharapkan dapat menjadi penghasil pangan dan bahan baku industri saja, namun juga berkontribusi dalam pembangunan daerah dan pedesaan, penyangga dalam masa krisis, penghubung sosial ekonomi antar masyarakat dari berbagai pulau dan daerah, kelestarian sumberdaya lingkungan, sosial budaya masyarakat dan dalam kesempatan kerja, PDB dan devisa. Arah revitalisasi pertanian tersebut ditetapkan, dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan nasional. Di Indonesia, ketahanan pangannya masih dikatakan rendah, hal ini dapat kita lihat dari data-data World Bank (2006), yang menyatakan bahwa 30 % rumah tangga menyatakan bahwa konsumsinya masih dibawah konsumsi sesuai standar kecukupan gizi internasional, lebih dari ¼ anak usia dibawah 5 tahun memiliki berat badan dibawah standar, dan 8 % dinyatakan sangat buruk yang disebabkan oleh kurangnya suplai bahan pangan. Rata-rata konsumsi pangan per kapita di Indonesia ditunjukkan sebagai berikut: a). Beras = 133 kg (tertinggi di dunia), b). Jagung = 5,93 kg, c). Ikan = 12,5 kg (rata-rata di dunia = 16 kg), d). Ayam = 3,8 kg, e).Daging = 7,10 kg, f). Telur = 52 butir, g). Susu = 6,50 kg, h). Ketela Pohon = 9,93 kg, i). Buah-buahan = 40,06 kg, j). Gula = 15, 6 kg (rata-rata dunia = 25,1 kg), k). Kedelai = 6,01 kg (rata-rata dunia = 7 kg), l) Sayur-sayuran = 37,94 kg (rekomendasi FAO = 65,75 kg).

Ketahanan pangan nasional ini sangat ditunjang oleh adanya kedaulatan pangan dan keamanan pangan. Indonesia merupakan salah satu negara yang sangat besar ketergantungan pangannya dengan negara lain (Food Trap). Hal ini bisa kita amati dengan meningkatnya jumlah impor beras dan gula. Di sisi lain, penduduk Indonesia mengalami peningkatan dan produktivitas serta lahan pertanian berkurang karena menurunnya minat petani untuk berproduksi, karena ongkos produksi yang naik sebesar 10-20 % saat ini. Dalam operasionalisasinya, cita-cita tersebut membutuhkan sinergi dengan kebijakan non-pertanian, khususnya kebijakan ekonomi. Koperasi produsen terutama koperasi pertanian memang meru­pa­kan koperasi yang paling sangat terkena pengaruh per­dagangan bebas dan berbagai liberalisasi. Koperasi pertanian di seluruh belahan dunia ini me­mang selama ini menikmati proteksi dan berbagai bentuk sub­sidi serta dukungan pemerintah. Dengan diadakannya pengaturan mengenai subsidi, tarif, dan akses pasar, maka produksi barang yang dihasilkan oleh ang­gota koperasi tidak lagi dapat menikmati perlindungan seper­ti semula, dan harus dibuka untuk pasaran impor dari ne­gara lain yang lebih efisien.

Secara internal, selama periode 2000 – 2003, koperasi (termasuk di dalamnya KUD), masih memiliki berbagai kendala untuk pengembangannya sebagai badan usaha, yaitu: (1) rendahnya partisipasi anggota yang ditunjukkan dengan rendahnya nilai perputaran koperasi per anggota yang kurang dari Rp.100.000,00 per bulan dan rendahnya simpanan anggota yang kurang dari Rp.345.225,00, (2) efisiensi usaha yang relatif rendah yang ditunjukkan dengan tingkat perputaran aktiva yang kurang dari 1,3 kali per tahun, (3) rendahnya tingkat profitabilitas koperasi, (4) citra masyarakat terhadap koperasi yang menganggap sebagai badan usaha kecil dan terbatas, serta bergantung pada program pemerintah, dan (5) kompetensi SDM koperasi yang relatif rendah, serta (6) kurang optimalnya koperasi mewujudkan skala usaha yang ekonomis akibat belum optimalnya kerjasama antar koperasi dan kerjasama koperasi dengan badan usaha lainnya. Hal-hal di atas perlu memperoleh perhatian dalam pembangunan usaha koperasi pada masa mendatang. Dari kendala-kendala tersebut dapat kita ketahui bahwa Koperasi Unit Desa memerlukan revitalisasi dalam mendukung ketahanan pangan nasional yang ditopang oleh revitalisasi pertanian. Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam karya tulis ini adalah: Bagaimana upaya revitalisasi Koperasi Unit Desa (KUD) dalam rangka mendukung ketahanan pangan nasional?.

LANDASAN TEORI

Tujuan dibentuknya Koperasi Unit Desa (KUD) dalam Hendroyogi (2004) adalah: 1) menjamin terlaksananya program peningkatan produksi pertanian, khususnya produksi pangan secara efektif dan efisien, dan 2) memberikan kepastian bagi petani produsen khususnya, serta masyarakat desa pada umumnya, bahwa mereka mempunyai tanggung jawab untuk ikut serta meningkatkan produksi sendiri, dan secara nyata memetik dan menikmati hasilnya guna meningkatkan taraf hidup kesejahteraannya. Sedangkan menurut kamus istilah di dalam www.depkop.go.id, revitalisasi dapat diartikan sebagai suatu proses pengaktifan suatu lembaga yang ditekankan pada fungsi internal agar lebih efektif dan efisien dalam mencapai misi yang ditetapkan dengan melibatkan dan menggerakkan peran serta masyarakat dalam upaya optimalisasi peningkatan kualitas SDM melalui pendidikan dan pelatihan.

Ketahanan pangan mempunyai peran strategis dalam pembangunan nasional, minimal dalam tiga hal. Pertama, akses terhadap pangan dan gizi yang merupakan hak yang paling asasi bagi manusia. Kedua adalah pangan memiliki peranan penting dalam pembentukan sumberdaya manusia yang berkualitas. Ketiga, ketahanan pangan merupakan salah satu pilar utama dalam menopang ketahanan ekonomi dan ketahanan nasional yang berkelanjutan. Untuk memenuhi hal tersebut diperlukan ketersediaan pangan yang cukup setiap waktu, aman, bermutu, bergizi, dan beragam dengan harga yang terjangkau oleh daya beli masyarakat (UU No.7/1996 tentang Pangan), yang dutamakan berasal dari kemampuan sektor pertanian domestik dalam menyediakan bahan makanan yang dibutuhkan oleh masyarakat (PP No.68/2002 tentang Ketahanan Pangan). Ketahanan pangan dihasilkan oleh suatu sistem pangan yang terdiri atas tiga subsistem, yaitu : (a) ketersediaan pangan dalam jumlah dan jenis yang cukup untuk seluruh penduduk, (b) distribusi pangan yang lancar dan merata, dan (c) konsumsi pangan setiap individu yang memenuhi kecukupan gizi dan kaidah kesehatan. Inti permasalahan dalam mewujudkan kemandirian pangan terkait dengan adanya pertumbuhan permintaan pangan yang lebih cepat dari penyediaannya. Permintaan pangan meningkat sejalan dengan pertumbuhan penduduk, pertumbuhan ekonomi, daya beli masyarakat, dan perubahan selera. Apabila persoalan ini tidak dapat diatasi, maka kebutuhan akan impor pangan akan membesar, yang apabila berlanjut dapat mengakibatkan ketergantungan pada pangan impor yang tinggi sehingga membahayakan kedaulatan negara.

PEMBAHASAN

Adapun langkah-langkah dalam revitalisasi Koperasi Unit Desa dalam menunjang ketahanan pangan adalah:

1) Melakukan repositioning image KUD di dalam pemahaman masyarakat pedesaan (khususnya para petani), bahwa KUD adalah satu-satunya wadah perekonomian dari, oleh dan untuk mereka (dengan menjadi anggota KUD) yang dapat membantu meningkatkan kesejahteraan hidup. Sehingga masyarakat desa dapat lebih bersemangat dalam membangun KUD di daerahnya masing-masing. Image tersebut juga dapat dibangun dengan mewujudkan KUD dengan manajemen yang baik, misalnya pemerintah melalui Depkop dapat menyelenggarakan pelatihan-pelatihan yang melibatkan pakar-pakar koperasi.

2) KUD dilibatkan secara aktif dalam kegiatan revitalisasi pertanian (baik dalam penyuluhan bercocok tanam yang efektif dan produktif, tentang transfer teknologi, dan sebagainya) sehingga KUD dapat secara cepat memenuhi kebutuhan yang dapat menunjang aktivitas produksi tersebut. Di sisi lain pemerintah dalam menyediakan sarana pertanian atau media yang menunjang pengembangan pertanian juga dapat bekerja sama dengan KUD dalam penjualannya.

3) Dari sisi pembiayaan kegiatan pertanian, dengan membuat Sistem Kredit Pertanian (Farm Credit System) untuk Kredit Usaha Tani (KUT) yang jelas dan transparan mekanismenya dengan menghilangkan peran pihak-pihak yang berniat mencari keuntungan (Data yang dihimpun Bank Indonesia menyebutkan tunggakan kredit pada bank BNI, Bank Danamon, dan BRI, hingga posisi Oktober 2005, tercatat masih sebesar Rp5,718 triliun padahal yang selama ini disalurkan hanya sebesar 10 miliar kepada petani). Di Indonesia, sistem kredit pertanian, perlu dilakukan pengawasan yang ketat, baik dari saluran pemerintah, bank, hingga ke Koperasi Unit Desa sebagai executing agent. Salah satu usulan yang dapat dijadikan pertimbangan digambarkan dalam bagan berikut ini (di lampiran gambar):

Keterangan:

* Ø Perum Sarana Pengembangan Usaha (dahulu Lembaga Jaminan Kredit Koperasi): tugasnya memberikan jaminan kepada bank atas kredit yang diminta oleh koperasi dan berpartisipasi dalam permodalan koperasi. Perum ini menjadi pemberi jaminan atas kredit yang dikucurkan bank kepada koperasi. Besarnya jaminan yang bisa diberikan tergantung pada risk probability, untuk modal kerja bisa diberikan 100 % sedangkan untuk konsinyasi karena resikonya rendah bisa 15 %. Dalam perkembangannya, perum ini perlu untuk dioptimalisasi peranannya.
* Ø Komite Jasa Audit: Komite Jasa Audit ini berada di dalam jajaran Badan Pemeriksa yang semuanya adalah anggota KUD. Komite ini terlebih dahulu dilatih oleh Koperasi Jasa Audit yaitu koperasi yang melayani jasa berupa jasa auditing koperasi, jasa bimbingan dan Konsultasi serta Jasa Pendidikan dan Latihan yang akan menyebarluaskan gagasan organisasi audit koperasi dalam gerakan koperasi dalam bentuk akuntabilisasi keuangan koperasi, misalnya dengan penerapan perhitungan kinerja keuangan dengan ukuran likuiditas, solvabilitas, unqualified opinion (layak tanpa catatan) dalam laporan keuangan. Komite audit akan menyajikan laporan yang akan menjadi sumber informasi yang terpercaya untuk perbankan.

4) Dalam menunjang kegiatan KUD yang dapat mengoptimalkan kegiatan produksi, distribusi dan konsumsi pertanian beorientasi nasional, maka pemerintah dapat ’membagi’ INKUD dengan membuat konsep jangka panjang dengan bentuk Regional Agricultural Input Supply and Marketing Cooperatives. Di Amerika Serikat, koperasi ini terdiri dari CENEX (Farmers Union Central Exchange Inc.), Land O’Lakes dan Farm Land Industries. CENEX adalah koperasi pemasok yang melayani KUD-KUD lokal yang menjual bahan bakar, minyak pelumas, makanan ternak, bibit dan menjual jasa seperti jasa pengukuran kesuburan lahan pertanian milik anggota, kebutuhan berbagai jenis pupuk untuk tanah pertanian anggota dan melaksanakan pemupukannya. Sedangkan Land O’Lakes disini adalah koperasi yang serupa dengan jenis usaha pemasaran Koperasi Distribusi Indonesia, dimana akan memasarkan hasil-hasil pertanian, seperti susu, ternak, ayam, kedelai, dan sebagainya dari koperasi-koperasi lokal. Namun, Land O’Lakes disini mempunyai jenis usaha produksi juga, yaitu dengan memroses kembali hasil-hasil pertanian tersebut dalam bentuk packaged foods yang akan dipasarkan di supermarket, grosir dan rumah-rumah makan, yang nantinya akan lebih menjangkau masyarakat yang membutuhkan makanan pangan. Keuntungan bersih dari jenis-jenis usaha tersebut akan dibagikan kembali kepada anggota proporsional sesuai dengan transaksi yang dilakukan dengan Land O’Lakes. Sedangkan Farm Land Industries adalah koperasi yang melayani penyediaan sarana pertanian. Usulan ini diharapkan dapat membuat kinerja INKUD menjadi lebih praktis dalam mendukung kegiatan KUD.

5) Pemerintah melalui Depkop dapat melakukan pembinaan bagi petani (yang sekaligus pemilik lahan) untuk melakukan manajemen resiko gagal panen, dengan memperkenalkan petani ke dalam bisnis komoditas berjangka.

KESIMPULAN DAN SARAN

Revitalisasi KUD untuk meningkatkan ketahanan pangan nasional itu bentuknya dapat berupa revitalisasi secara lembaga internal KUD, pembinaan SDM dengan pelatihan dari pemerintah dan peningkatan pembiayaan KUD oleh pemerintah. Saran yang dapat diajukan kepada pemerintah pusat untuk mendukung sektor pembiayaan koperasi adalah: 1) Karena adanya kebijakan baru yang menyatakan bahwa pembiayaan KUT tidak lagi menggunakan BLBI, maka pemerintah desa diharapkan lebih proaktif dalam menggandeng Bank-bank, misalnya BRI unit desa. Karena terdapat sebuah kontradiksi yang banyak terjadi di pedesaan yaitu di satu sisi pembiayaan sektor pertanian mengalami kesulitan, di sisi lain BRI Unit Desa melalui Simpedes dan Simaskot berhasil mengumpulkan tabungan Rp 21 triliun. Namun, dari dana sebesar itu yang disalurkan kembali dalam bentuk kredit hanya Rp 11 triliun. Berdasarkan penelitian Prof. Dr. Mubyarto di Lamongan, Jawa Timur menyimpulkan suatu hipotesa bahwa ratio PDRB sektor keuangan bank dengan non bank 1 : 50. Dana yang beredar pada lembaga keuangan non bank lima puluh kali lebih besar dibandingkan yang beredar pada lembaga keuangan bank. 2) KUD bekerjasama dengan Departemen Pertanian dan BUMN pupuk terus memperluas program seleksi Koperasi Penyalur Pupuk Bersubsidi, bukan hanya ke 10 propinsi. Koperasi yang sudah memenuhi syarat kelembagaan dan kesediaan membayar pupuk secara kontan selanjutnya diminta menyerahkan rencana definitif kebutuhan kelompok (RDKK) ke Deptan atau dinas terkait setempat. Alokasi kebutuhan tersebut kemudian disahkan Deptan untuk diserahkan ke BUMN pupuk agar koperasi terkait dapat memperoleh fasilitas penyaluran pupuk secara langsung dengan harga sesuai ketentuan harga eceran tertinggi. Adi Sasono mengatakan penyaluran pupuk secara tertutup itu diinisiasi kembali agar peredaran pupuk bersubsidi lancar sehingga harga komoditas dapat terkendali menyusul spekulasi distributor disinyalir menyebabkan kelangkaan dan fluktuasi harga di tingkat petani.


SUMBER
Oleh: Ika Diyah Candra

Krisis Global dan Revitalisasi Koperasi

Krisis ekonomi global membawa dampak terhadap perekonomian nasional. Bahkan diberitakan, di sejumlah daerah sektor usaha mikro kecil dan menengah mengalami penurunan omzet ekspor akibat gejolak keuangan dunia.
Jika tidak diwaspadai, hal itu akan menggulung potensi ekonomi nasional, khususnya ekonomi rakyat.
Di tengah kekalutan perekonomian nasional, koperasi tetap diharapkan sebagai sokoguru perekonomian rakyat. Paradigma lama bahwa koperasi merupakan usaha kecil marjinal dan terpinggirkan saatnya diubah. Koperasi harus menjadi entity business yang mempunyai muatan sosial. Selain itu, harus mempunyai doktrin, yaitu ideologi koperasi. Koperasi harus menjadi centre of gravity ekonomi nasional yang berpangkal pada kedaulatan ekonomi rakyat.
Meningkatkan kekuatan koperasi diharapkan dapat menjadi mitra bagi kekuatan ekonomi lebih besar. Beberapa industri kecil yang tergabung dalam koperasi jika disatukan akan menjadi kekuatan untuk menunjang industri besar dan maju. Contoh, kegiatan kemitraan produsen KIA dan Hyundai di Korea tak lepas dari peran berbagai koperasi pembuat suku cadang dan komponen otomotif. Jadi, ketergantungan antara industri besar dan koperasi adalah hubungan kemitraan yang baik dan saling menunjang.
Intinya, meningkatkan ekonomi rakyat melalui koperasi adalah meningkatkan potensi industri kecil agar dapat menjadi mitra serasi industri besar yang berpengalaman. Pola inilah yang menjadi centre of gravity bagi perekonomian rakyat.
Namun, guna memperkuat kelembagaan dan meningkatkan kapasitas layanan, koperasi di Indonesia menghadapi tantangan. Maka, organisasi formal koperasi perlu mendapat dukungan, terutama dari pemerintah.
Terkait hal itu, program dan kegiatan penguatan kelembagaan koperasi perlu dilanjutkan dengan menekankan aspek kebutuhan nyata gerakan koperasi, seperti kegiatan pengembangan kesadaran berkoperasi bagi anggota dan masyarakat, implementasi prinsip koperasi pada berbagai sektor ekonomi, pengembangan kinerja bisnis melalui kerja sama antarkoperasi, serta antara koperasi dan badan usaha lain. Hal ini mendesak sebab kondisi eksternal dan lingkungan strategis yang berkembang begitu cepat belum mampu diimbangi secara optimal oleh gerakan koperasi.
Peran pemerintah
Liberalisasi dan privatisasi ekonomi merupakan inti ekonomi global. Dalam menghadapi ekonomi global, tak ada yang lebih fundamental kecuali upaya untuk mendorong berjalannya tata ekonomi yang menggunakan mekanisme pasar berkeadilan sebagai alat mendistribusikan sumber daya ekonomi secara efisien kepada masyarakat guna mencapai tingkat kemakmuran ekonomi yang tinggi.
Secara konsepsional, pasar yang dapat berjalan secara sempurna merupakan cara paling ideal untuk mencapai berbagai tujuan normatif, yaitu kemakmuran rakyat sebagaimana dicita-citakan. Meski demikian, pasar yang sempurna (perfect competition) jarang ditemukan. Yang terjadi justru ketidaksempurnaan pasar (imperfect competition). Akibatnya, konsentrasi ekonomi ada pada kelompok usaha besar, seperti akses terhadap teknologi, permodalan, informasi, dan SDM bermutu. Kondisi ini menyebabkan mekanisme pasar tidak berjalan sempurna, cenderung merugikan rakyat banyak.
Usaha besar terus menikmati berbagai kesempatan luks yang bersumber dari ketidaksempurnaan pasar maupun yang berasal dari aneka keunggulan dalam aspek penguasaan modal, teknologi, dan profesionalisme SDM. Karena itu, diperlukan koreksi terhadap berbagai kondisi agar mekanisme pasar dapat berjalan sempurna. Hal ini juga merupakan tujuan utama reformasi ekonomi. Pemerintah dalam hal ini wajib mengoreksi timbulnya berbagai ketidaksempurnaan pasar.
Koreksi yang dilakukan pemerintah bertujuan mendorong dan melindungi agar mekanisme pasar dapat berjalan secara sempurna dan sehat.
Langkahnya, melakukan koreksi terhadap bangunan struktur pasar tidak sempurna, seperti monopoli, monopsoni, oligopoli, oligopsoni, dan konsentrasi ekonomi di tangan sekelompok/segelintir pelaku ekonomi tertentu. Instrumennya antara lain peraturan perundang-undangan tentang persaingan sehat, kemitraan, atau bentuk lain, seperti penghapusan perlindungan dan subsidi bagi usaha besar, termasuk juga pembatasan lingkup usaha. Dengan demikian, perkembangan pasar yang tak sempurna dapat dibatasi sehingga tidak mengarah pada bentuk pasar distortif dan merugikan kepentingan rakyat banyak.
Kemudian, struktur pasar yang terkonsentrasi boleh jadi merupakan hasil proses sejarah yang tidak dapat dihindarkan. Karena itu, keberadaannya tidak dapat dihilangkan begitu saja. Dalam hal demikian, perlu dicari langkah alternatif guna menetralisasi sisi negatifnya. Bahkan perlu digali sisi positif yang menguntungkan kepentingan rakyat.
Akhirnya, yang harus dilakukan adalah membentuk aliansi strategis-taktis antara pelaku ekonomi; koperasi, swasta, dan BUMN agar cita-cita kesejahteraan masyarakat dan negara tercapai. Tanpa aliansi yang kuat, cita-cita itu bagai pungguk merindukan bulan. (Kompas)
Bambang W Soeharto (Kandidat Doktor Ilmu Politik UGM; Ketua Umum Induk Koperasi Pedagang Pasar

SUMBER : http://indonesian.irib.ir

KOPERASI INDONESIA: POTRET DAN TANTANGAN

I. Latar Belakang

1. Sejarah kelahiran dan berkembangnya koperasi di negara maju (barat) dan negara berkembang memang sangat diametral. Di barat koperasi lahir sebagai gerakan untuk melawan ketidakadilan pasar, oleh karena itu tumbuh dan berkembang dalam suasana persaingan pasar. Bahkan dengan kekuatannya itu koperasi meraih posisi tawar dan kedudukan penting dalam konstelasi kebijakan ekonomi termasuk dalam perundingan internasional. Peraturan perundangan yang mengatur koperasi tumbuh kemudian sebagai tuntutan masyarakat koperasi dalam rangka melindungi dirinya.

2. Di negara berkembang koperasi dirasa perlu dihadirkan dalam kerangka membangun institusi yang dapat menjadi mitra negara dalam menggerakkan pembangunan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu kesadaran antara kesamaan dan kemuliaan tujuan negara dan gerakan koperasi dalam memperjuangkan peningkatan kesejahteraan masyarakat ditonjolkan di negara berkembang, baik oleh pemerintah kolonial maupun pemerintahan bangsa sendiri setelah kemerdekaan, berbagai peraturan perundangan yang mengatur koperasi dilahirkan dengan maksud mempercepat pengenalan koperasi dan memberikan arah bagi pengembangan koperasi serta dukungan/perlindungan yang diperlukan.

3. Pengalaman di tanah air kita lebih unik karena koperasi yang pernah lahir dan telah tumbuh secara alami di jaman penjajahan, kemudian setelah kemerdekaan diperbaharui dan diberikan kedudukan yang sangat tinggi dalam penjelasan undang-undang dasar. Dan atas dasar itulah kemudian melahirkan berbagai penafsiran bagaimana harus mengembangkan koperasi. Paling tidak dengan dasar yang kuat tersebut sejarah perkembangan koperasi di Indonesia telah mencatat tiga pola pengembangan koperasi. Secara khusus pemerintah memerankan fungsi “regulatory” dan “development” secara sekaligus (Shankar 2002). Ciri utama perkembangan koperasi di Indonesia adalah dengan pola penitipan kepada program yaitu : (i) Program pembangunan secara sektoral; (ii) Lembaga-lembaga pemerintah; dan (iii) Perusahaan baik milik negara maupun swasta. Sebagai akibatnya prakarsa masyarakat luas kurang berkembang dan kalau ada tidak diberikan tempat semestinya.

4. Selama ini “koperasi” di­kem­bangkan dengan dukungan pemerintah dengan basis sektor-sektor primer yang memberikan lapangan kerja terbesar ba­gi penduduk Indonesia. KUD sebagai koperasi program yang didukung dengan program pem­bangunan untuk membangun KUD. Di sisi lain pemerintah memanfaatkan KUD untuk mendukung program pembangunan seperti yang se­lama PJP I, menjadi ciri yang menonjol dalam politik pem­bangunan koperasi. Bahkan koperasi secara eksplisit ditugasi melanjutkan program yang kurang berhasil ditangani langsung oleh pemerintah, seperti penyaluran kredit BIMAS menjadi KUT, pola pengadaan bea pemerintah, TRI dan lain-lain sampai pada penciptaan monopoli baru (cengkeh).

II. Potret Koperasi Indonesia

5. Sampai dengan bulan November 2001, jumlah koperasi di seluruh Indonesia tercatat sebanyak 103.000 unit lebih, dengan jumlah keanggota ada sebanyak 26.000.000 orang. Jumlah itu jika dibanding dengan jumlah koperasi per-Desember 1998 mengalami peningkatan sebanyak dua kali lipat. Jumlah koperasi aktif, juga mengalami perkembangan yang cukup menggembirakan. Jumlah koperasi aktif per-November 2001, sebanyak 96.180 unit (88,14 persen). Corak koperasi Indonesia adalah koperasi dengan skala sangat kecil.

6. Secara historis pengembangan koperasi di Indonesia yang telah digerakan melalui dukungan kuat program pemerintah yang telah dijalankan dalam waktu lama, dan tidak mudah ke luar dari kungkungan pengalaman ter­sebut. Jika semula ketergantungan terhadap captive market program menjadi sumber pertumbuhan, maka pergeseran ke arah peran swasta menjadi tantangan baru bagi lahirnya pesaing-pesaing usaha terutama KUD.

7. Jika melihat posisi koperasi pada hari ini sebenarnya masih cukup besar harapan kita kepada koperasi. Memasuki tahun 2000 posisi koperasi Indonesia pada dasarnya justru didominasi oleh koperasi kredit yang menguasai antara 55-60 persen dari keseluruhan aset koperasi dan dilihat dari populasi koperasi yang terkait dengan program pemerintah hanya sekitar 25% dari populasi koperasi atau sekitar 35% dari populasi koperasi aktif. Pada akhir-akhir ini posisi koperasi dalam pasar Perkreditan mikro menempati tempat kedua setelah BRI-unit desa dengan pangsa sekitar 31%. Dengan demikian walaupun program pemerintah cukup gencar dan menimbulkan distorsi pada pertumbuhan kemandirian koperasi, tetapi hanya menyentuh sebagian dari populasi koperasi yang ada. Sehingga pada dasarnya masih besar elemen untuk tumbuhnya kemandirian koperasi.

8. Mengenai jumlah koperasi yang meningkat dua kali lipat dalam waktu 3 tahun 1998 –2001, pada dasarnya tumbuh sebagai tanggapan terhadap dibukanya secara luas pendirian koperasi dengan pencabutan Inpres 4/1984 dan lahirnya Inpres 18/1998. Sehingga orang bebas mendirikan koperasi pada basis pengembangan dan pada saat ini sudah lebih dari 35 basis pengorganisasian koperasi. Kesulitannya pengorganisasian koperasi tidak lagi taat pada penjenisan koperasi sesuai prinsip dasar pendirian koperasi atau insentif terhadap koperasi. Keadaan ini menimbulkan kesulitan pada pengembangan aliansi bisnis maupun pengembangan usaha koperasi kearah penyatuan vertical maupun horizontal.

9. Struktur organisasi koperasi Indonesia mirip organisasi pemerintah/lembaga kemasyarakatan yang terstruktur dari primer sampai tingkat nasional. Hal ini telah menunjukkan kurang efektif nya peran organisasi sekunder dalam membantu koperasi primer. Tidak jarang menjadi instrumen eksploitasi sumberdaya dari daerah pengumpulan. Fenomena ini dimasa datang harus diubah karena adanya perubahan orientasi bisnis yang berkembang dengan globalisasi.


III. Kemanfaatan Koperasi

10. Secara teoritis sumber kekuatan koperasi sebagai badan usaha dalam konteks kehidupan perekonomian , dapat dilihat dari kemampuan untuk menciptakan kekuatan monopoli dengan derajat monopoli tertentu . Tetapi ini adalah kekuatan semu dan justru dapat menimbulkan kerugian bagi anggota masyarakat di luar koperasi. Sumber kekuatan lain adalah kemampuan memanfaatkan berbagai potensi external economies yang timbul di sekitar ke­giat­an ekonomi para anggotanya. Dan kehematan tersebut ha­nya dapat dinikmati secara bersama-sama, termasuk dalam hal menghindarkan diri dari adanya external diseconomies itu.

11. Kehematan-kehematan yang dapat menjadi sumber kekuatan ko­perasi memang tidak terbatas pada nilai ekonomis nya sema­ta. Kekuatan itu juga dapat bersumber dari faktor non-ekono­mis yang menjadi faktor berpengaruh secara tidak langsung ter­hadap kegiatan ekonomi anggota masyarakat dan badan usaha koperasi . Sehingga manfaat atau keuntungan koperasi pada dasarnya selalu ter­kait dengan dua jenis manfaat, yaitu yang nyata (tangible) dan yang tidak nyata (intangible). Kemanfaatan koperasi ini ju­ga selalu berkaitan dengan keuntungan yang bersifat eko­no­mi dan sosial. Karena koperasi selain memberikan keman­fa­atan ekonomi juga mempunyai perhatian dan kepedulian terhadap aspek so­sial seperti pendidikan, suasana sosial kemasyarakatan, ling­kungan hidup, dan lain-lain. Pembahasan ini difokuskan kepa­da manfaat yang mendasari digunakannya mekanisme koperasi .

12. Dalam hal ini koperasi mempunyai kekuatan yang lain kare­na koperasi dapat memberikan kemungkinan pengenalan teknologi baru melalui kehematan dengan mendapatkan infor­masi yang langsung dan tersedia bagi setiap anggota yang me­mer­lukannya. Kesemuanya itu dilihat dalam kerangka peran­­an koperasi secara otonom bagi setiap individu anggotanya yang te­lah memutuskan menjadi anggota koperasi. Dengan de­mi­kian sepanjang koperasi dapat menghasilkan kemanfaatan ter­sebut bagi anggotanya maka akan mendorong orang untuk ber­koperasi karena dinilai bermanfaat.

13. Dalam konteks yang lebih besar koperasi dapat dilihat se­ba­gai wahana koreksi oleh masyarakat pelaku ekonomi, ba­ik produsen maupun konsumen, dalam memecahkan kega­gal­an pasar dan mengatasi inefisiensi karena ketidaksempur­na­an pasar. Secara teoritis koperasi akan tetap hadir jika terjadi ke­gagalan pasar. Jika pasar berkembang semakin kompetitif se­cara alamiah koperasi akan menghadapi persaingan dari da­lam. Karena segala insentif ekonomi yang selama ini didapat ti­dak lagi bisa dimanfaatkan. Sehingga sumber kekuatan untuk tetap mempertahankan hadirnya koperasi terletak pada ke­mam­­puan untuk mewujudkan keuntungan tidak langsung atau intangible benefit yang disebutkan di muka.

14. Dalam kerangka yang lebih makro suatu perekonomian me­ru­pakan suatu bangunan yang terdiri dari berbagai pelaku yang dikenal dengan kelompok produsen dan kelompok kon­sumen. Di dalam suatu negara berkembang organisasi ekono­mi dari masing-masing pelaku tadi menjadi semakin kompleks. Ka­rena selain pemerintah dan swasta (perusahaan swasta) se­be­nar­nya masih ada dua kelompok lain yaitu koperasi dan sek­tor rumah tangga. Kelompok yang disebut terakhir, perlu men­dapatkan pencermatan tersendiri, karena mungkin ia dapat bera­da di dalam koperasi, atau menjadi suatu unit usaha sen­diri, atau merupakan pendukung usaha swasta yang ada. Inilah yang sebenarnya perlu kita lihat dalam kerangka yang lebih luas.

15. Secara konseptual dan empiris, mekanisme koperasi me­mang diperlukan dan tetap diperlukan oleh suatu perekonomi­an yang menganut sistem pasar. Besarnya peran tersebut akan sangat tergantung dari tingkat pendapatan masyarakat, tingkat pengetahuan dan kesadaran masyarakat serta struktur pasar dari berbagai kegiatan ekonomi dan sumber daya alam dari sua­tu negara. Contoh klasik dari pentingnya kondisi pasar yang kompatibel dengan kehadiran koperasi adalah pengalaman koperasi susu dimana-mana di dunia ini selalu menjadi contoh sukses (kasus bilateral monopoli). Padahal sukses ini tidak selalu dapat diikuti oleh jenis kegiatan produksi pertanian lainnya. Koperasi sebagai mekanisme kerjasama ekono­mi juga tidak mengungkung dalam sistemnya sendiri yang ter­ba­tas pada sistem dan struktur koperasi, tetapi dalam inte­rak­si dapat meminjam mekanisme bisnis yang lazim dipakai oleh badan usaha non-koperasi. Termasuk dalam hal ini pem­ben­tukan usaha yang berbentuk non koperasi untuk memper­ta­hankan kemampuan pelayanan dan menegakkan mekanisme koperasi yang dimiliki.



IV. Posisi Koperasi dalam Perdagangan Bebas

16. Esensi perdagangan bebas yang sedang diciptakan oleh ba­nyak negara yang ingin lebih maju ekonominya adalah meng­­hilangkan sebanyak mungkin hambatan perdagangan inter­nasional. Melihat arah tersebut maka untuk melihat dampak­nya terhadap perkembangan koperasi di tanah air dengan cara mengelompokkan koperasi ke dalam ketiga kelompok atas dasar jenis koperasi. Pengelompokan itu meliputi pembedaan atas dasar: (i) koperasi produsen atau koperasi yang bergerak di bidang produksi, (ii) koperasi konsumen atau koperasi kon­sumsi, dan (iii) koperasi kredit dan jasa keuangan. Dengan cara ini akan lebih mudah mengenali keuntungan yang bakal timbul dari adanya perdagangan bebas para anggota koperasi dan anggota koperasinya sendiri.

17. Koperasi produsen terutama koperasi pertanian memang meru­pa­kan koperasi yang paling sangat terkena pengaruh per­dagangan bebas dan berbagai liberalisasi. Koperasi pertanian di seluruh belahan dunia ini me­mang selama ini menikmati proteksi dan berbagai bentuk sub­sidi serta dukungan pemerintah. Dengan diadakannya pengaturan mengenai subsidi, tarif, dan akses pasar, maka produksi barang yang dihasilkan oleh ang­gota koperasi tidak lagi dapat menikmati perlindungan seper­ti semula, dan harus dibuka untuk pasaran impor dari ne­gara lain yang lebih efisien.

18. Untuk koperasi-koperasi yang menangani komoditi sebagai pengganti impor atau ditutup dari persaingan impor jelas hal ini akan merupakan pukulan be­rat dan akan menurunkan perannya di dalam percaturan pa­sar kecuali ada rasionalisasi produksi. Sementara untuk koperasi yang menghasilkan barang pertanian untuk ekspor seperti minyak sawit, kopi, dan rempah serta produksi pertanian dan perikanan maupun peternakan lainnya, jelas perdagangan bebas merupakan peluang emas. Karena berbagai kebebasan tersebut berarti membuka peluang pasar yang baru. Dengan demikian akan memperluas pasar yang pada gilirannya akan merupakan peluang untuk pening­katan produksi dan usaha bagi koperasi yang bersangkutan. Dalam konteks ini koperasi yang menangani produksi per­tanian, yang selama ini mendapat kemudahan dan per­lin­dungan pemerintah melalui proteksi harga dan pasar akan meng­hadapi masa-masa sulit. Karena itu koperasi produksi ha­rus merubah strategi kegiatannya. Bahkan mungkin harus me­reorganisasi kembali supaya kompatibel dengan tantangan yang dihadapi. Untuk koperasi produksi di luar pertanian memang cukup sulit untuk dilihat arah pengaruh dari liberalisasi perdagangan terha­dapnya. Karena segala sesuatunya akan sangat tergan­tung di posisi segmen mana kegiatan koperasi dibedakan dari para anggotanya. Industri kecil misalnya sebenarnya pada saat ini relatif berhadapan dengan pasar yang lebih terbuka. Artinya mereka terbiasa dengan persaingan dengan dunia luar untuk memenuhi pemintaan ekspor maupun berhadapan dengan ba­rang pengganti yang diimpor. Namun cara-cara koperasi juga dapat dikerjakan oleh perusahaan bukan koperasi.

19. Secara umum koperasi di dunia akan menikmati manfaat be­sar dari adanya perdagangan bebas, karena pada dasarnya per­dagangan bebas itu akan selalu membawa pada persaingan yang lebih baik dan membawa pada tingkat keseimbangan har­ga yang wajar serta efisien. Peniadaan hambatan per­da­gangan akan memperlancar arus perdagangan dan terbukanya pilih­an barang dari seluruh pelosok penjuru dunia secara be­bas. Dengan demikian konsumen akan menikmati kebebasan un­tuk memenuhi hasrat konsumsinya secara optimal . Meluas­nya konsumsi masyarakat dunia akan mendorong meluas dan mening­katnya usaha koperasi yang bergerak di bidang konsumsi. Selain itu dengan peniadaan hambatan perdagangan oleh pe­merintah melalui peniadaan non torif barier dan penurunan ta­rif akan menyerahkan mekanisme seleksi sepenuhnya kepada ma­syarakat. Koperasi sebenarnya menjadi wahana masyarakat un­tuk melindungi diri dari kemungkinan kerugian yang timbul aki­bat perdagangan bebas .

20. Kegiatan koperasi kredit, baik secara teoritis maupun em­pi­ris, terbukti mempunyai kemampuan untuk membangun seg­men­tasi pasar yang kuat sebagai akibat struktur pasar keuang­an yang sangat tidak sempurna, terutama jika menyangkut masa­lah informasi. Bagi koperasi kredit keterbukaan perda­gangan dan aliran modal yang keluar masuk akan meru­pakan kehadiran pesaing baru terhadap pasar keuangan, na­mun tetap tidak dapat menjangkau para anggota koperasi. Apa­bila koperasi kredit mempunyai jaringan yang luas dan me­nu­tup usahanya hanya untuk pelayanan anggota saja, maka seg­mentasi ini akan sulit untuk ditembus pesaing baru. Bagi koperasi-koperasi kredit di negara berkembang, ada­nya globalisasi ekonomi dunia akan merupakan peluang untuk menga­dakan kerjasama dengan koperasi kredit di negara maju dalam membangun sistem perkreditan melalui koperasi. Koperasi kredit atau simpan pinjam di masa mendatang akan menjadi pilar kekuatan sekitar koperasi yang perlu diikuti oleh dukungan lainnya seperti sistem pengawasan dan jaminan.



V. Koperasi Dalam Era Otonomi Daerah

21. Implementasi undang-undang otonomi daerah, akan mem­berikan dampak positif bagi koperasi dalam hal alokasi sum­ber daya alam dan pelayanan pembinaan lainnya. Namun kope­rasi akan semakin menghadapi masalah yang lebih intensif de­ngan pemerintah daerah dalam bentuk penempatan lokasi inves­tasi dan skala kegiatan koperasi . Karena azas efisiensi akan mendesak koperasi untuk membangun jaringan yang luas dan mungkin melampaui batas daerah otonom. Peranan advo­kasi oleh gerakan koperasi untuk memberikan orientasi kepa­da pemerintah di daerah semakin penting. Dengan demikian peranan pemerintah di tingkat propinsi yang diserahi tugas untuk pengembangan koperasi harus mampu menjalankan fung­si intermediasi semacam ini. Mungkin juga dalam hal lain yang berkaitan dengan pemanfaatan infrastruktur daerah yang semula menjadi kewenangan pusat.

22. Peranan pengembangan sistem lembaga keuangan koperasi di tingkat Kabupaten / Kota sebagai daerah otonomi menjadi sangat penting. Lembaga keuangan koperasi yang kokoh di daerah otonom akan dapat menjangkau lapisan bawah dari ekonomi rakyat. Disamping itu juga akan mampu berperan menahan arus keluar sumber keuangan daerah. Berbagai studi menunjukan bahwa lembaga keuangan yang berbasis daerah akan lebih mampu menahan arus kapital keluar.

23. Dukungan yang diperlukan bagi koperasi untuk mengha­dapi berbagai rasionalisasi adalah keberadaan lembaga jaminan kre­dit bagi koperasi dan usaha kecil di daerah. Dengan demi­kian kehadiran lembaga jaminan akan menjadi elemen terpenting untuk percepatan perkembangan koperasi di dae­rah. Lembaga jaminan kredit yang dapat dikembangkan Pemerintah Daerah akan dapat mendesentralisasi pengem­bangan ekonomi rakyat dan dalam jangka panjang akan me­num­buhkan kemandirian daerah untuk mengarahkan aliran uang di masing-masing daerah. Dalam jangka menengah kope­rasi juga perlu memikirkan asuransi bagi para penabung.

24. Potensi koperasi pada saat ini sudah mampu untuk memulai gerakan koperasi yang otonom, namun fokus bisnis koperasi harus diarahkan pada ciri universalitas kebutuhan yang tinggi seperti jasa keuangan, pelayanan infrastruktur serta pembelian bersama. Dengan otonomi selain peluang untuk memanfaatkan potensi setempat juga terdapat potensi benturan yang harus diselesaikan di tingkat daerah. Dalam hal ini konsolidasi potensi keuangan, pengem­bangan jaringan informasi serta pengembangan pusat inovasi dan teknologi merupakan kebutuhan pendukung untuk kuat­nya kehadiran koperasi. Pemerintah di daerah dapat mendo­rong pengem­bang­an lembaga penjamin kredit di daerah.



Oleh: Dr. Noer Soetrisno -- Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKM, Kantor Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia