KOPERASI SEBAGAI LEMBAGA EKONOMI RAKYAT
Koperasi sebagai sebuah lembaga ekonomi rakyat telah lama dikenal di
Indonesia, bahkan Dr. Muhammad Hatta, salah seorang Proklamator Republik
Indonesia yang dikenal sebagai Bapak Koperasi, mengatakan bahwa Koperasi adalah
Badan Usaha Bersama yang bergerak dalam bidang perekonomian, beranggotakan
mereka yang umumnya berekonomi lemah yang bergabung secara sukarela dan atas
dasar persamaan hak dan kewajiban melakukan suatu usaha yang bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan para anggotanya[1].
Menurut UU No. 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian, dalam Bab I, Pasal 1,
ayat 1 dinyatakan bahwa Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan
orang-seorang atau badan hukum Koperasi dengan melandaskan kegiatannya
berdasarkan prinsip Koperasi sekaligus gerakan ekonomi rakyat yang berdasar
atas asas kekeluargaan. Sedangkan tingkatan koperasi dalam UU tersebut dikenal
dua tingkatan, yakni Koperasi Primer dan Koperasi Sekunder. Koperasi Primer
adalah Koperasi yang didirikan oleh dan beranggotakan orang-seorang, dan
Koperasi Sekunder adalah Koperasi yang didirikan oleh dan beranggotakan
Koperasi.
Tujuan pendirian Koperasi, menurut UU Perkoperasian, adalah memajukan
kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya serta ikut
membangun tatanan perekonomian nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat yang
maju, adil, dan makmur berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Secara konsepsional, Koperasi sebagai Badan Usaha yang menampung pengusaha
ekonomi lemah, memiliki beberapa potensi keunggulan untuk ikut serta memecahkan
persoalan social-ekonomi masyarakat. Peran Koperasi sebagai upaya menuju
demokrasi ekonomi secara kontitusional tercantum dalam Pasal 33 UUD 1945. Namun
dalam perjalanannya, pengembangan koperasi dengan berbagai kebijakan yang telah
dicanangkan oleh Pemerintah Republik Indonesia, keberadaannya masih belum
memenuhi kondisi sebagaimana yang diharapkan masyarakat[2].
Secara kuantitatif jumlah koperasi di Indonesia cukup banyak, berdasarkan
data Departemen Koperasi & UKM pada tahun 2004 tercatat 130.730, tetapi yang
aktif mencapai 28,55%, sedangkan yang menjalan rapat tahunan anggota (RAT)
hanya 35,42% koperasi saja. Dengan demikian, dari segi kualitas, keberadaan
koperasi masih perlu upaya yang sungguh-sungguh untuk ditingkatkan mengikuti
tuntutan lingkungan dunia usaha dan lingkungan kehidupan dan kesejahteraan para
anggotanya. Pangsa koperasi dalam berbagai kegiatan ekonomi masih relatif
kecil, dan ketergantungan koperasi terhadap bantuan dan perkuatan dari pihak
luar, terutama Pemerintah, masih sangat besar.
Dalam teori strategi pembangunan ekonomi, kemajuan Koperasi dan usaha
kerakyatan harus berbasiskan kepada dua pilar:[3]
1. Tegaknya sistem dan mekanisme pasar yang sehat;
2. Berfungsinya aransmen kelembagaan atau regulasi pemerataan ekonomi
yang effektif.
Namun dalam kenyataan yang dirasakan hingga saat ini, seringkali terjadi
debat publik untuk menegakkan kedua pilar utama di atas hanya terjebak pada
pilihan kebijakan dan strategi pemihakan yang skeptis dan cenderung
mementingkan hasil daripada proses dan mekanisme yang harus dilalui untuk
mencapai hasil akhir tersebut.
Di samping lembaga Koperasi yang telah dikenal, saat ini juga berkembang
lembaga Baitul Maal wat Tamwil (BMT) yang merupakan lembaga pendukung kegiatan
ekonomi masyarakat kecil bawah (golongan ekonomi lemah) dengan berlandaskan
sistem ekonomi Syariah Islam. Badan Hukum dari BMT dapat berupa Koperasi untuk
BMT yang telah mempunyai kekayaan lebih dari Rp 40 juta dan telah siap secara
administrasi untuk menjadi koperasi yang sehat dilihat dari segi pengelolaan
koperasi dan baik (thayyiban) dianalisa dari segi ibadah, amalan shalihan
para pengurus yang telah mengelola BMT secara Syariah Islam. Sebelum berbadan
hukum koperasi, BMT dapat berbentuk sebagai KSM (Kelompok Swadaya Masyarakat)
yang dapat berfungsi sebagai Pra Koperasi.
Tujuan berdirinya BMT adalah guna meningkatkan kualitas usaha ekonomi bagi
kesejahteraan anggota, yang merupakan jamaah masjid lokasi BMT berada pada
khususnya dan masyarakat pada umumnya. Selanjutnya, dalam rangka meningkatkan
ekonomi umat sebagai bagian dari pembangunan ekonomi kerakyatan, maka sudah
seharusnya memanfaatkan dan memberdayakan Koperasi dan BMT sebagai lembaga yang
menghimpun masyarakat ekonomi lemah dengan mengembangkan iklim usaha dalam
lingkungan sosial ekonomi yang sehat dan menggandeng lembaga-lembaga
pemerintahan daerah, organisasi kemasyarakatan, dunia usaha, dan Lembaga
Perbankan Syariah , yang sedang berkembang saat ini di Indonesia, dalam sebuah
bentuk kemitraan berupa pembinaan manajerial koperasi, bantuan pengembangan
perangkat dan sistem keuangan mikro, serta kerjasama pendanaan dan pembiayaan .
Dengan membuat sebuah program kemitraan bagi BMT, maka diharapkan dapat
mengembangkan usaha-usaha mikro, sebagai pelaku utama ekonomi kerakyatan, yang
akan sulit jika dibiayai dengan menggunakan konsep perbankan murni, dan di sisi
lain kemitraan ini juga akan meningkatkan kemampuan Koperasi dan BMT sebagai
lembaga keuangan alternatif yang akhirnya program ekonomi Kerakyatan yang
didengung-dengungkan selama ini dalam mencapai visi mencapai kesejahteraan
lahir dan bathin, insya Allah akan dapat terwujud. Namun sebelum mewujudkan
visi masyarakat sejahtera lahir dan bathin, kita harus menyadari bahwa makna
kesejahteraan yang ingin dicapai bukan hanya dari sisi materi semata, tetapi
lebih dari itu yakni mempunyai ketersinggungan dengan apek ruhaniah yang juga
mencakup permasalahan persaudaraan manusia dan keadilan social ekonomi,
kesucian kehidupan, kehormatan individu, kebersihan harta, kedamaian jiwa dan
kebahagiaan, serta keharmonisan kehidupan keluarga dan masyarakat,
sehingga mendiskusikan konsep kesejahteraan tersebut tidak terbatas pada
variable-variabel ekonomi semata, melainkan juga menyangkut moral, adat, agama,
psikologi, sosial, politik, demografi, dan sejarah[4] .
Indonesia, bahkan Dr. Muhammad Hatta, salah seorang Proklamator Republik
Indonesia yang dikenal sebagai Bapak Koperasi, mengatakan bahwa Koperasi adalah
Badan Usaha Bersama yang bergerak dalam bidang perekonomian, beranggotakan
mereka yang umumnya berekonomi lemah yang bergabung secara sukarela dan atas
dasar persamaan hak dan kewajiban melakukan suatu usaha yang bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan para anggotanya[1].
Menurut UU No. 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian, dalam Bab I, Pasal 1,
ayat 1 dinyatakan bahwa Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan
orang-seorang atau badan hukum Koperasi dengan melandaskan kegiatannya
berdasarkan prinsip Koperasi sekaligus gerakan ekonomi rakyat yang berdasar
atas asas kekeluargaan. Sedangkan tingkatan koperasi dalam UU tersebut dikenal
dua tingkatan, yakni Koperasi Primer dan Koperasi Sekunder. Koperasi Primer
adalah Koperasi yang didirikan oleh dan beranggotakan orang-seorang, dan
Koperasi Sekunder adalah Koperasi yang didirikan oleh dan beranggotakan
Koperasi.
Tujuan pendirian Koperasi, menurut UU Perkoperasian, adalah memajukan
kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya serta ikut
membangun tatanan perekonomian nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat yang
maju, adil, dan makmur berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Secara konsepsional, Koperasi sebagai Badan Usaha yang menampung pengusaha
ekonomi lemah, memiliki beberapa potensi keunggulan untuk ikut serta memecahkan
persoalan social-ekonomi masyarakat. Peran Koperasi sebagai upaya menuju
demokrasi ekonomi secara kontitusional tercantum dalam Pasal 33 UUD 1945. Namun
dalam perjalanannya, pengembangan koperasi dengan berbagai kebijakan yang telah
dicanangkan oleh Pemerintah Republik Indonesia, keberadaannya masih belum
memenuhi kondisi sebagaimana yang diharapkan masyarakat[2].
Secara kuantitatif jumlah koperasi di Indonesia cukup banyak, berdasarkan
data Departemen Koperasi & UKM pada tahun 2004 tercatat 130.730, tetapi yang
aktif mencapai 28,55%, sedangkan yang menjalan rapat tahunan anggota (RAT)
hanya 35,42% koperasi saja. Dengan demikian, dari segi kualitas, keberadaan
koperasi masih perlu upaya yang sungguh-sungguh untuk ditingkatkan mengikuti
tuntutan lingkungan dunia usaha dan lingkungan kehidupan dan kesejahteraan para
anggotanya. Pangsa koperasi dalam berbagai kegiatan ekonomi masih relatif
kecil, dan ketergantungan koperasi terhadap bantuan dan perkuatan dari pihak
luar, terutama Pemerintah, masih sangat besar.
Dalam teori strategi pembangunan ekonomi, kemajuan Koperasi dan usaha
kerakyatan harus berbasiskan kepada dua pilar:[3]
1. Tegaknya sistem dan mekanisme pasar yang sehat;
2. Berfungsinya aransmen kelembagaan atau regulasi pemerataan ekonomi
yang effektif.
Namun dalam kenyataan yang dirasakan hingga saat ini, seringkali terjadi
debat publik untuk menegakkan kedua pilar utama di atas hanya terjebak pada
pilihan kebijakan dan strategi pemihakan yang skeptis dan cenderung
mementingkan hasil daripada proses dan mekanisme yang harus dilalui untuk
mencapai hasil akhir tersebut.
Di samping lembaga Koperasi yang telah dikenal, saat ini juga berkembang
lembaga Baitul Maal wat Tamwil (BMT) yang merupakan lembaga pendukung kegiatan
ekonomi masyarakat kecil bawah (golongan ekonomi lemah) dengan berlandaskan
sistem ekonomi Syariah Islam. Badan Hukum dari BMT dapat berupa Koperasi untuk
BMT yang telah mempunyai kekayaan lebih dari Rp 40 juta dan telah siap secara
administrasi untuk menjadi koperasi yang sehat dilihat dari segi pengelolaan
koperasi dan baik (thayyiban) dianalisa dari segi ibadah, amalan shalihan
para pengurus yang telah mengelola BMT secara Syariah Islam. Sebelum berbadan
hukum koperasi, BMT dapat berbentuk sebagai KSM (Kelompok Swadaya Masyarakat)
yang dapat berfungsi sebagai Pra Koperasi.
Tujuan berdirinya BMT adalah guna meningkatkan kualitas usaha ekonomi bagi
kesejahteraan anggota, yang merupakan jamaah masjid lokasi BMT berada pada
khususnya dan masyarakat pada umumnya. Selanjutnya, dalam rangka meningkatkan
ekonomi umat sebagai bagian dari pembangunan ekonomi kerakyatan, maka sudah
seharusnya memanfaatkan dan memberdayakan Koperasi dan BMT sebagai lembaga yang
menghimpun masyarakat ekonomi lemah dengan mengembangkan iklim usaha dalam
lingkungan sosial ekonomi yang sehat dan menggandeng lembaga-lembaga
pemerintahan daerah, organisasi kemasyarakatan, dunia usaha, dan Lembaga
Perbankan Syariah , yang sedang berkembang saat ini di Indonesia, dalam sebuah
bentuk kemitraan berupa pembinaan manajerial koperasi, bantuan pengembangan
perangkat dan sistem keuangan mikro, serta kerjasama pendanaan dan pembiayaan .
Dengan membuat sebuah program kemitraan bagi BMT, maka diharapkan dapat
mengembangkan usaha-usaha mikro, sebagai pelaku utama ekonomi kerakyatan, yang
akan sulit jika dibiayai dengan menggunakan konsep perbankan murni, dan di sisi
lain kemitraan ini juga akan meningkatkan kemampuan Koperasi dan BMT sebagai
lembaga keuangan alternatif yang akhirnya program ekonomi Kerakyatan yang
didengung-dengungkan selama ini dalam mencapai visi mencapai kesejahteraan
lahir dan bathin, insya Allah akan dapat terwujud. Namun sebelum mewujudkan
visi masyarakat sejahtera lahir dan bathin, kita harus menyadari bahwa makna
kesejahteraan yang ingin dicapai bukan hanya dari sisi materi semata, tetapi
lebih dari itu yakni mempunyai ketersinggungan dengan apek ruhaniah yang juga
mencakup permasalahan persaudaraan manusia dan keadilan social ekonomi,
kesucian kehidupan, kehormatan individu, kebersihan harta, kedamaian jiwa dan
kebahagiaan, serta keharmonisan kehidupan keluarga dan masyarakat,
sehingga mendiskusikan konsep kesejahteraan tersebut tidak terbatas pada
variable-variabel ekonomi semata, melainkan juga menyangkut moral, adat, agama,
psikologi, sosial, politik, demografi, dan sejarah[4] .
disunting dari
Merza Gamal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar